Thursday, December 18, 2008

Jatinenjer?

Judul di atas itu dibaca dengan cara yang spesial, terutama pada pengucapan huruf e-nya. Huruf e pertama dibaca kayak baca "kecap", sementara e kedua dibaca kayak baca "kertas". Thanks to temen aku Mella yang udah memberi tahu pengucapan yang benar...

Yup, bener. Itu adalah inggris-isasi dari "Jatinangor".

Hwehehehe, garing yak?

Sebenarnya sih agak nggak tertarik juga bahas ini. Tapi, setelah baca blog seseorang, jadi deh tertarik.

Begini ceritanya. Aku kuliah di kampus yang letaknya di utara Bandung, tepatnya di Dago. Kalau dibandingin sama kampus lain, kampusku ini lahannya memang sempit. Kerasa banget kok, soalnya aku selalu kesulitan nemuin ruangan buat kuliah tiap awal semester pasca-TPB (halah, sok tua, padahal baru setahun lepas TPB). Lagian, memang sih kerasanya kampusku memang sempit. Mungkin dari situ terbit wacana untuk melebarkan kampus.

Masalahnya, letak kampusku di tengah kota. Diapit pemukiman, pasar, dan kawasan wisata belanja Dago. Kalau diperlebar lahannya, agak susah cz pemukimannya permanen semua. Kalau harus beli lahan... kayaknya kampusku nggak punya dana buat itu. Cara termudah memang nyari lahan lagi (atau sukur-sukur kalau ada kampus tua yang sudah nggak kepakai) lalu bikin gedung kampus baru di situ.

Itulah yang (kayaknya) dilakuin kampusku. Dan lahan yang bersangkutan ada di Jatinangor. Tepatnya di Unwim (Universitas Winaya Mukti).

Awal wacana ini aku tahu dari petugas perpustakaan yang setiap minggu ke rumah buat ngedata bukunya paman. Waktu lagi makan siang, tiba-tiba aja dia nanya kalau "Benarkah fakultas bisnis kampusku bakal dipindah ke Unwim?" Yah, aku jawab aja nggak tahu, karena itu memang hal baru. Lalu, pas malamnya (atau beberapa hari setelahnya), aku konfirm ke si paman (yang kebetulan dekan fakultas itu). Dan beliau bilang, "Baru wacana, kok."

That's why, after that, I haven't give it much thought.

Lalu, tiba-tiba aja buletin kampus mengangkat isu heboh: beberapa fakultas direncanakan dipindah ke Unwim. Dan, selain fakultas pamanku, fakultasku juga dipindah ke situ. Katanya sih bakal digabung sama salah satu fakultas di sana (referensi: ayzholic).

Wow. Kampusku jadi jauh. Jauh dari rumah. Jauh dari gramedia. jauh dari mana-mana. Dan yang terpenting, nggak bisa nebeng si paman untuk ke kampus.

Hehehe...

Jujur, aku sih berharap kabar burung ini nggak bener. Biarlah fakultasku tetap di Dago dan ungsikan fakultas lain ke sana. Walaupun okelah, pemindahan kampus ke jatinangor membuatku lebih mudah mengeceng anak-anak Psikologi Unpad (keukeuh) dan memang anak-anak kampusku cenderung mengeceng cewek-cewek Unpad. Tapi... aku kayaknya nggak mau tinggal di Jatinangor. Jatinangor kan jauh, panas, terisolir pula. Nggak ada gramedia, nggak ada palasari, nggak ada togamas... (yeah, what a geek I am).

Intinya, aku berharap nggak pindah kampus. Beneran dah, Dago is the best! Walaupun suka macet pas malam minggu, angkotnya nge-charge gila-gilaan, dan banyak pengamen yang nanyi "Seribu ajah", aku cinta Dago!

Hehehe, cheers!

Monday, December 15, 2008

Indonesiasi Inggis?

Waktu kemarin ke Sukabumi naik bis, iseng-iseng buka friendster dari HP (apa boleh buat, GPRS mania). Aneh memang, padahal akun FS-nya udah nggak ada. Yah, reminiscing old time waktu masih berlebih pulsa, hehehe...

Lalu, pas masuk halaman pertama FS, agak bingung juga karena semuanya jadi berbahasa Indonesia. Mungkin bagus tujuannya, supaya orang Indonesia lebih ngerasa "at home". Tapi tetep aja ngeganggu, terutama karena penerjemahan yang ngaco bin asal.

Dan yang paling ngganggu adalah ini:

"[Nama], [umur]
Ada Komplikasi
[Tempat, kota]"

Sumpah, itu bikin ngakak banget. "Ada komplikasi"? Memangnya diabetes? Kasihan amat! Kayaknya itu terjemahan dari "It's Complicated", tapi jadinya ngaco. JAdi inget masa lalu, pas praktikum identifikasi tumbuhan sekampus dan mentranslate asal buku Flora of Java yang tebelnya amit-amit itu.

Lalu mulai bertanya, "Terjemahan aslinya apa, kalau gitu?"

Dan... bengong. Yap, terjemahan yang tepat apa ya? Nggak mungkin "Ada Komplikasi", soalnya artinya jadi jauh banget. "Membingungkan"? Kayaknya kurang tepat juga. "Sulit diungkapkan"? Ini yang paling tepat kalau dilihat dari ruh kata, namun beda jauh dengan kata aslinya dalam bahasa inggris.

Kalau begitu, jadi bertanya-tanya, apakah sekuat itu pengaruh bahasa inggris sebagai bahasa global di Indonesia, ya? Apakah aku mulai tertular virus "Cinta Laura"?

Cheers!

Friday, December 12, 2008

Relativitas dan Relativisme

It's about absolute and relativism. I was just thinking recently, is absolutism exists in this world? Apakah di dunia ini ada yang namanya kebenaran sejati?

Karena, menurutku, dunia ini tidak memiliki itu. Kalaupun ada, dunia ini terlalu banyak dipenuhi hal-hal yang relatif sehingga keberadaannya tersamarkan.

Untuk jadi bahan renungan saja, pada tahu semut, kan? Binatang yang terkenal dengan kerja keras, kegesitan, dan kerjasama. Tentu binatang itu patut ditiru, kan? Nah, suatu ketika, Ayah berkata, "Kita hidup jangan menjadi seperti semut."

Aneh bukan? Ya, aku heran. Begitu juga bibiku, yang sangat memahami Al-Qur'an dan langsung berkata, "Tapi semut itu binatang yang patut ditiru, lho! Mereka kan gigih, kuat, kerja sama pula. Bahkan satu surat dalam Al-Qur'an didedikasikan untuk mereka."

Ayahku mengangguk waktu itu. Lalu dia menambahkan, "Iya sih. Tapi semut itu menimbun makanan tanpa habis-habisnya. Hampir setiap saat dia menimbun kekayaan. Padahal belum tentu habis dimakannya. Jadi manusia pun jangan seperti itu, selalu menimbun harta dan mengejar dunia."

Aku mengangguk paham. Okelah, aku sudah belajar sedikit biologi untuk tahu bagaimana sistem hirarki dalam kerajaan semut. Tapi, dilihat dari segi itu, ucapan ayah ada benarnya. Semut terkenal menimbun makanannya. Beberapa semut menimbun daun untuk tempat tumbuh jamur makanan mereka, namun aku tak yakin semua semut melakukan hal itu.

See? Just a simple opinion changed one's point of view. Yang tadinya semut adalah binatang yang baik dan patut ditiru, berubah menjadi semut adalah binatang yang kikir serta bakhil dan tak patut ditiru.

Betapa cepatnya citra dan persepsi berubah. Semua serba relatif.

Yang paling terasa adalah ketika terjadi sebuah peristiwa. Apabila setiap orang yang terlibat--baik itu saksi, korban, maupun pelaku--diminta bercerita tentang peristiwa itu, penceritaan mereka pasti beda. Mungkin sama dari segi "apa-sih-yang-terjadi" namun berbeda dari segi "mengapa-hal-itu-terjadi". I know, coz I've been there. And it somewhat funny if I recalled how the four of us end up blaming others, making the story seems weirder and weirder till I call it quit.

Yah... what do you think? Is it useless to search for absolute truth in this world? What is absolute, anyway?

Somehow, aku jadi salut sama polisi, jaksa, hakim, dan orang-orang semacam mereka yang bertugas menegakkan keadilan. It must be tough for them...

Monday, December 8, 2008

Kursi Neraka

Oke... sebelum gw mulai postingan kali ini, gw musti klarifikasi satu hal: gw bukan kursi-filik, apalagi fetishee kursi. Bagi gw, kursi adalah benda biasa yang diciptakan untuk kemaslahatan umat manusia.

Kecuali mungkin kursi yang menjadi bintang utama postingan ini.

Semua orang di dunia ini--paling nggak di Indonesia--pasti pernah pergi ke Mall, kan? Tentu tahu kursi pijat otomatis yang suka ada di tiap mall. Yang pramuniaganya suka ngasih kesempatan undian, terus mendadak ujiannya "kena" dan kita boleh bawa barang yang kita "kena" itu dengan seabrek persyaratan yang intinya nyuruh kita beli di situ. Biasanya ayah suka memanfaatkan kesempatan "trial" itu untuk dipijat gratis. Dan gw... jujur aja... menatap iri. Kayaknya enak deh dipijat kaya gitu.

Dan tadi, gw akhirnya mendapat kesempatan untuk mencoba si kursi itu...!

Ceritanya begini. Hari ini Idul Adha (sekalian mau ngucapin Selamat Idul Adha buat yang merayakan, hehehe), dan biasanya perayaan Idul Adha di keluarga gw lebih singkat ketimbang Idul Fitri. Karena acara kelar jam 3, orang tua ngajak jalan. Ya sudah, berangkatlah kami ke BSM tercinta karena paling dekat sama rumah...

Nah, di BSM, ayah yang lagi sakit punggung langsung mencari kursi pijat dengan harapan dikasih kesempatan trial (walaupun pasti akhirnya nggak beli). Gw, yang menganggur, akhirnya bersandar di palang pembatas sambil membaca bukunya Benny and Mice yang Jakarta Atas Bawah (gw rekomen banget deh!). Salah satu pramuniaganya nyadar, dan manggil gw supaya duduk di dalam tokonya. Lalu, karena nggak ada kursi di situ, si mbak menor berambut bob (halah) itu berkata, "Ya udah, duduk di sini aja, Mas," sambil menunjuk si kursi pijat.

Gw menatap si Mbak. Serius nih?

Tatapan si Mbak seolah berkata, "Iya. Ayo cepet, udah nggak tahan nih..." (Emangnya apaan?)

Ya sudah. Jangan salahkan gw kalau akhirnya kenapa-napa. Gw pun akhirnya duduk di kursi pijat. Si mbak itu mulai menekan-nekan tombol di pegangan kursi.

Dan siksaan itu pun dimulai.

Feeling gw mulai nggak enak pas sandaran kursi itu mendadak merebah dan muncul benda-benda gaib seukuran bola pingpong yang muncul dan bergerak-gerak mistis. Si Mbaknya dengan enteng berkata, "Nyantai aja, Mas. Kan lagi dipijet. Ayo, sandaran ke kursinya."

Gw ketawa getir. Bola-bola sialan itu bikin gw susah nyandar. Dan, entah karena gw yang terlalu tinggi atau kursinya didesain untuk orang yang pendek, tuh bola-bola akhirnya menggesek-gesek tulang belikat gw, bikin gw nggak nyaman. Seakan nggak cukup, kaki gw dibelit sesuatu yang bergerak-gerak kayak ular. Betis gw dipencet sampai keras banget, bikin kram. Gw punya dugaan, tuh alat harusnya nangkring di belakang lutut, bukan di betis gw.

Mungkin menyadari penderitaan gw, mbak-mbak itu berkata, "Merem aja, Mas. Biar rileks."

Oke, gw mencoba merem. Cukup membantu sih. Tapi... cobaan berikutnya datang... dalam bentuk si Mbak itu! Dia ngajak ngobrol gw, nanya-nanya hal penting yang seharusnya dia nggak usah tahu. Berikut petikan wawancara yang gw anggap paling dodol.

Mbak Pramuniaga (PR): Mas dari mana?
Gw: Sukabumi, tapi sekarang di Bandung.
MP: Oooh... kuliah di mana?
Gw: ITB.
MP: D3 apa S1?
Gw: (menatap pramuniaga dengan heran) S1.
*Selama gw kuliah di ITB, belum pernah gw denger kampus gw buka D3. Dan gw yakin itu udah common knowledge.
MP: Masih lama dong... Beasiswa ya?
Gw: Nggak kok. SPMB
*Oke, gw bohong. Soalnya kalau gw bilang gw dari USM, makin mungkinlah kita diporotin sama tuh pedagang.
MP: Wah, keren ya! Saya dulu ikut SPMB nggak masuk-masuk lho...
GW: . . . (silence)
MP: Oh iya, mas kok tinggi sih? Gen, ya?
Gw: Mmm... iya sih... (nggak tahu harus gimana)
MP: Oooh... mungkin karena itu saya pendek ya? Tapi... nggak ah. Kakak saya tinggi-tinggi kok...
Gw: (masih speechless)
MP: Nggak enak lho, punya tubuh pendek. Kan susah tuh kalau mau ambil-ambil barang. Kira-kira kenapa tuh ya, Mas?
Gw: Yaa... mungkin karena gen juga kali. Yang turun gen pendeknya...
MP: (Ketawa garing)

Dan, akhirnya, dia nyentuh gw! Okelah, dia udah kelihatan SKSD banget sama gw, tapi kali ini agak... wow. Dia megang-megang tangan gw, lho! Sampai hampir ngeremes segala. Seakan itu belum cukup, dia mulai megangin paha gw. Untung saja, di saat itu, waktu pijat gw habis dan perhatian si Mbak beralih ke kontrol si kursi.

Seharusnya gw nggak bersyukur. Ternyata kursi neraka itu dinyalain lagi sama si Mbak-nya. Dan gw harus "menikmati" pijat neraka itu lagi selama 15 menit ke depan.

Akhirnya, gw tahu, ternyata semua itu adalah akal-akalan pramuniaga di sana untuk menahan gw dan orangtua gw agar tidak pergi sebelum membeli. Kita sempat berdebat alot dulu sebelum akhirnya berhasil membebaskan diri. Habis itu, kita cepet-cepet keluar dari BSM karena mau pulang--dan akhirnya balik lagi karena mau makan.

Dan, in the end, gw bertanya-tanya, "Adakah orang yang mau membeli kursi neraka itu?"

"Atau gw-nya aja yang terlalu ndeso sehingga malah sakit badan setelah pake itu?"

Cheers!

Thursday, December 4, 2008

Kami Scientist Sejatiii

Seorang scientist diharapkan mampu menemukan hal-hal baru atau inovasi, kan? Kalau begitu, kami—para microsquad—sudah layak disebut scientist, dong? Simak saja percakapan di bawah ini, ok?

Setting: Di Lab Instruksional, lagi bosen ngedengerin presentasi penelitian entah kelompok berapa.

Pemeran: Gw, GA, AP (figuran)

AE (Atau entah siapa): Eh, produk kewanitaan artinya apa sih?

(Semua cowok di sana langsung mesem-mesem. Piktor tuh…)

GA: Produk buat wanita? Kayak kosmetik gitu…

Gw: (Mendapat wangsit) Atau… produk berjenis kelamin wanita!

(GA cengo, tampaknya mulai menyadari bakat alam gw sebagai scientist)

Gw: Iya! Tahu nggak, ada suatu hipotesis yang menyatakan bahwa seluruh makhluk di dunia ini, baik hidup maupun mati, memiliki jenis kelamin, lho… Makanya, produk kewanitaan adalah produk yang memiliki sifat wanita, bahkan berjenis kelamin wanita!

GA: Oh, iya ya Fer? (Matanya mulai jelalatan) Kalau begitu… (Matanya mulai menumbuk kursi lab—yang kayaknya mulai panas dingin coz ngerasa bakal dizalimi) kursi ini apa jenis kelaminnya?

Sekedar info, kursi di lab kami adalah kursi yang tersusun atas kayu bundar di atas rangka besi melingkar. Dudukan si kursi—which is kayu bundar—biasanya ada lubangnya. Sementara kaki kursi wujudnya ujung pipa besi yang ada karetnya. Kenapa juga gw ngasih tahu ini? Well, ntar lo bakal tahu sendiri lah.

Gw: (Mulai menatapi kursi) Hmm… kayaknya nih kursi jantan deh, GA…

GA: Kenapa jantan?

Gw: Lo liat bagian bawahnya deh. Itu kan bagian khas yang menunjukkan kejantanan. Wkwkwkwkwk…

GA: (sempat terpukau) Nggak juga kali, Fer. Lihat dudukannya deh. Itu kan ada lubang-lubangnya. Berarti kursi ini betina.

Gw: (Manggut-manggut) Hmmm… berarti ini makhluk jenis kelaminnya apa, dong? Masa biseksual?

AE: (nimbrung) Lagi ngapain sih kalian…

Gw: Ini, lagi menentukan jenis kelamin kursi. Dia tuh jantan tapi juga betina, soalnya punya dua kelamin berbeda…

AE: (Geleng-geleng )

GA: (Menemukan postulat baru) Atau mungkin… dia ini bersimbiosis!

Gw: Oooh, kayak Lichen? Nah, menurut saudara GA, yang mana dari dua organisme ini yang bertindak sebagai alga dan yang mana yang bertindak sebagai jamur?

GA: (sok serius mengamati kursi) Hmm… kayaknya yang bawah sebagai jamur, dan yang atas sebagai alga…

Gw: Tapi… makhluk ini tidak bisa berfotosintesis dong? Okelah. Sekarang… tipe simbiosis seperti ini namanya apa? Mutualisme? Komensalisme? Soalnya, gara-gara bersimbiosis, mereka malah nggak bisa kawin…

GA: Ooh… berarti ini bentuk simbiosis baru. Mereka berdua dirugikan dengan hubungan ini, tapi menguntungkan orang lain…

Gw: (menatap GA dengan haru) Oooh… luar biasa, Saudara GA! Anda telah menemukan simbiosis jenis baru. Mari kita namakan simbiosis GA-isme! Tapi… kalau begitu… gimana mereka bisa kawin ya?

Whehehehe… begitulah. Rekan sejawat gw di mikrobiologi telah menemukan simbiosis jenis baru. Hebat, kan? Hwehehehehehe…

Anyway, akhirnya gw berhasil menemukan jenis kelamin kursi. Kalau ditilik dalam bahasa arab, kursi termasuk dalam benda jantan. “Tapi… kalau gitu… gimana mereka bisa kawin ya?” (keukeuh)

Cheers!

Nomor Rumah

Kemarin, gw iseng-iseng mengingat-ingat kehidupan gw sejak pindah (baca: numpang) ke Bandung. Dan… baru sadar… selama di Bandung, gw memiliki sesuatu yang sangat berarti bagi gw.

Dan, sesuatu itu adalah... (Jengjengjengggg)

Nomor Rumah

Yup, gw serius. Nomor rumah adalah hal yang sangat berarti bagi gw. Bahkan, bisa dibilang, itu adalah kemewahan yang baru bisa gw kecap setelah gw pindah ke Bandung. There’s a story behind that, of course.

Awal-awal gw tinggal di Sukabumi, gw ngontrak di rumah Ibu Camat (entah nama aslinya siapa, pokoknya gw panggil beliau itu). Rumah kontrakan gw itu di belakang rumah besarnya Ibu Camat. Gw masih inget, gw sering main ke rumah besar itu, apalagi karena anaknya Ibu Camat punya banyak sekali majalah Bobo. Hwehehehe...

Terus, pas gw kelas 3 SD, gw pindah rumah. Yup, rumah yang fotonya ada di blog ini. Gw masih inget, gw resmi pindah ke rumah itu setelah keluarga besar mengadakan trip ke Ujung Genteng dan di sana gw sempat melihat jasad orang yang tenggelam. Waktu itu, kamar gw di atas, dan otomatis gw nggak bisa tidur semalaman.

Rumah baru gw benar-benar menyenangkan. Nggak terlalu besar tapi lapang. Arsitekturnya unik dan cenderung castle-like. Ada menara jam-nya segala, lagi. Ditambah lagi halamannya luas dan semi-hutan, cocok buat pecinta alam kayak gw dan dua adik gw. Yang kurang dari rumah gw cuma satu: nomor rumah.

Hal yang wajar, sebenarnya. Lahan tempat rumah gw didirikan tadinya adalah lahan kosong semi-hutan yang digunakan penduduk untuk buang sampah (saking banyaknya sampah, terpaksa seluruh lahan ditimbun tanah). Lalu, tiba-tiba ruamh gw berdiri di situ, mengakibatkan nomor rumah selanjutnya bergeser satu (kayak domino). Mungkin karena males ngurus atau apa, akhirnya rumah gw tetap tak bernomor.

Dan efeknya baru kerasa ketika gw mendaftar di SMP (atau SMA) atau berniat ikut lomba tertentu. Di setiap formulir pasti ada kolom alamat, kan? Kan nggak lucu kalau gw nulis nama jalan rumah gw (yang masih belum jelas hingga sekarang) di situ? Terpaksa gw akalin dengan nulis nomor RT dan RW-nya juga, membuat alamat rumah gw jadi panjang.

Ketika gw di Bandung, gw seneng banget. Pasalnya, rumah paman gw tentu ada nomornya, kan? Wuih, rasanya kayak apa aja. Setiap ada formulir atau pengumpulan data buat database angkatan, dengan bangga gw tulis nomor rumah paman gw. Ada kepuasan tersendiri waktu gw nulis angka belasan itu. Akhirnya gw punya nomor rumah jugaaa! batin gw dalam hati.

Norak ya? Hehe, biarin.

Akhirnya, beberapa bulan yang lalu, rumah gw dapat kehormatan dikasih nomor juga. Yup, akhirnya gw punya nomor rumah gw sendiri! Dan angkanya bagus, lagi (menurut gw). Hwehehehe... (mulai norak-norak nggak jelas)

Cheers!

Sunday, November 23, 2008

Eksekusi

Hari ini... gw memutuskan untuk eksekusi satu keputusan yang sudah lama ingin gw lakukan.

Dan keputusan itu adalah... menghapus akun Friendster gw.

Yup. Udah lama banget gw ingin menghapus akun di website pertemanan itu, karena gw ngerasa website itu lebih banyak nggak baiknya ketimbang baiknya. Di antaranya:

1. Pulsa gw jadi cepet abis gara-gara akses Friendster pas lagi nganggur via GPRS. Okelah murah, tapi kalau keseringan kan habis juga pulsanya.
2. Gw jadi kenal orang-orang aneh yang tiba-tiba suka sama gw. Heran gw juga, cuma gara-gara di-approve doang langsung bilang, "I love you." Trus pas gw bilang gw nggak mau dipacari dulu, dia langsung kesel dan nyumpah-nyumpah karma segala. Capek...
3. FS jadi sarana gw untuk jelalatan, padahal masa-masa sekarang adalah masa-masa dimana gw dituntut untuk fokus ke satu hal, bukannya membiarkan pikiran gw melayang nggak jelas.
4. FB (JAUH) lebih menarik ketimbang FS yang makin lama makin nggak jelas itu.

So, here I am, without my friendster account. I hope, with this execution, I can transform myself into a better person. Amin.

Thursday, November 20, 2008

Proyek Mikrobiologi: Penelitian Part 1

Udah lama nggak ber-jurnal ria di Blog. So... here it comes!

Mikrobiologi adalah sekolah buat calon peneliti (atau dosen). Face it, mahasiswanya pasti akan melakukan lebih banyak riset dan penelitian ketimbang mahasiswa jurusan teknik. Karena itu, di mata kuliah Proyek Mikrobiologi ada kegiatan namanya pencil, alias penelitian kecil. To put it simply, kegiatan ini adalah riset kecil-kecilan. Mini-TA gitulah kira-kira. Praktikan dikasih tema penelitian, didampingi satu asisten, dan melakukan penelitian sesuai tema. Seperti penelitian sungguhan, praktikan harus bikin proposal penelitian dan (tentu saja) melakukan penelitian. Dan semua itu dilakukan sendiri (caps: sendiri); asisten hanya bertugas mendampingi.

Begitulah kira-kira. Pengantarnya nggak kepanjangan, kan?

So, sebagai mahasiswa yang ngambil mata kuliah ini, tentu saja gw harus ikut si pencil ini, kan? Dan, mau tahu apa tema penelitian kita?

Inilah dia (jengjengjengggggg)....

"Meneliti Keanekaragaman Mikroba di Ruangan Indoor Mall Kota Bandung"

Huahahahahaha, gimana? Keren, kan?

You wish...

Judul ini, walaupun keren dan simpel, tapi tantangannya luar biasa. Dari judulnya saja sudah menekankan, kita harus meneliti keanekaragaman di mall. Artinya, kita harus ambil sampelnya di mall. Ambil sampelnya sih gampang: tinggal buka si cawan petri (search di google aja deh) berisi medium (search juga lah) selama 15 menit di lima titik di mall. Tapi... kebayang nggak sih gimana malunya kalau harus nenteng-nenteng tuh barang yang notabene jarang dilihat orang awam? Gimana kalau kita nanti diusir satpam? Belum lagi setiap titik dilakukan triplo (pengulangan tiga kali), berarti di setiap titik ada tiga capet yang masing-masing dibuka selama 15 menit. Ditambah lagi, medium untuk bakteri dan fungi berbeda (mikroba didefinisikan-dalam penelitian ini-sebagai bakteri dan fungi; sebenarnya banyak lagi) sehingga tambah tiga capet lagi. Berarti, di satu titik ada enam cawan petri yang harus dibuka, dan total waktunya adalah 15 x 6 = 1 jam! Bayangin, satu jam diem di satu spot buka-buka cawan petri! Kurang konyol apa lagi kami ini?

Hehehe, sori, jadi curcol...

Anyway, kita akhirnya memutuskan untuk pasrah dan mulai bekerja. Ke-hectic-an di lab pun dimulai. Dari bikin medium yang ternyata gampang-gampang susah karena gampang banget gosong, sterilisasi peralatan yang susah karena alatnya cuma satu (dan seringnya sih penuh sama yang mau sterilisasi juga), sampai ke masalah trivial seperti ada yang nggak dateng (gw banget), volume mediumnya nggak sama banyak, sumbat kapasnya kebuka pas disterilisasi, dan sebagainya. Apa boleh buat, namanya juga masih amatiran...

Jadi, setelah ke-hectic-an itu, lima anggota kelompok gw datang ke lab sambil menenteng tas belanja bertuliskan "ARCUS". Dengan gagah berani, kami memisah-misahkan medium ke lima tas itu. Lalu kami turun dengan gaya siap tempur. Anak-anak di selasar kebab menyambut kami; beberapa malah berniat turut terjun ke medan tempur.

Halah, lebay...

Lalu, seseorang bilang, "Coba dicek dulu deh mediumnya. Takutnya kena konta deh." Konta means kontaminan, dan kalau kena berarti mediumnya nggak bisa dipakai.

Dengan perasaan deg-deg-syur, satu demi satu cawan petri dibuka. Dan... ternyata...

Medium kita kena kontaminaaaan! Nggak tanggung-tanggung, 15 biji! Paraaah...!

Anggota kelompok kita udah speechless gitu deh. 15 biji, gitu! Kelompok lain mah cuma 2-3, kita 15. Wow banget, kan? Mana makin dilihat makin bikin gatal-gatal pula...

Akhirnya, diiringi tatap sedih dan menyemangati dari anggota kelompok lain, kita balik lagi ke lab mikro buat bikin medium. Sayang sekali, hari ini kita batal bergaya dengan cawan petri di mall. Nanti deh, kalau akhirnya sukses, di-post di sini...

Cheers!

Wednesday, November 19, 2008

Tell Me How to Thank You

"Thank You"

Sebuah kata yang sering banget keluar dari mulutku. Satu kata yang biasanya terucap begitu saja. Sebuah kata yang... apa ya... termasuk kata-kata emas yang melambangkan rasa syukur.

Kalau begitu, dengan sering mengucapkan kata itu, just like I do, apakah orang tersebut bisa dibilang orang yang selalu bersyukur?

Hmmm....

Sayangnya, belum tentu...

Look at me, for some example. I destroyed my whole life since last "Lebaran". Face it, I've become gloomier. Every sunday is depression day. "Disturbia" became my favorite song. Suicidal thoughts always crosses my mind. I even drag two people that I loved into despair, hurting them unknowingly.

Just because I don't know how to thank you.

How can I become this silly? I was surrounded by people who love and support me. Mom, dad, Yodi, Tisa, Hime, Niya, many more, they would love me and wished nothing except I loved them in return. They showed me that they'll accept me, support me, help me survive through this hard life.

But, I didn't see that. Because... My mind's already clouded. Because I put everything in one basket, and when that basket is gone, i thougght all my life was gone.

Because, once again, I don't know how to thank you. I don't know how to be thankful because I have those people. Because I'm too stupid to realize that those people worth MILLION TIMES that THAT GODDAMN BASTARD WHO SAID "I LOVE YOU" THEN LEAVE ME OUT OF THE BLUE.

Ooops, I did that to Niya, eh? That means I'm a bastard too...

Yeah. I hurt them in the end.

That shows the world how stupid I am. How immature I am. Last word that "that-goddamn-person" said is I was so immature. I hate it when he's right, especially because I think he said that coz he found "the weasel" (refer to Pangeran Tidur: Kota, Musang, dan Kekasih Hati). But yeah, I'm so immature because I don't know how to thank them. I don't know that I should be thankful because they were here with me.

But now, I have learned my lessons. I have received my punishment. I just wish I can mend Hime's and Niya's heart again...

To all people mentioned in this post, I'm sorry. I promise, I'll change. For myself. For the better me. So I can be happy and, in turn, bring happiness to all of you. To all people who have just know me, i just tell you my past, and I'll try not to repeat it again. I'm stronger now, so... feel free to know me better. Believe me, you won't be dissapointed. ;)

So, moral of the story, let's be thankful for all that we had. Let's not dwell in the past. And let's live our life to the fullest. Ok?

Cheers!

Thursday, October 23, 2008

Hari Ini Gw....

Tau deh hari ini kenapa...

Mungkin karena stres mau ujian, tapi bukannya ngapalin malah bikin puisi curhat (cenderung memaki) buat seseorang. Niatnya sih mau dikirim lewat message FS, tapi...

Dan gw pun asyik mengarang puisi (lebih mirip pantun sih jadinya) ketimbang menghitung berapa gram NaHCO3 dalam sampel (dan akhirnya juga nggak ketemu sih). Aaaargh, ujian yang paraaaah...

Lalu, seharian ini, setengah berharap bakal ketemu sama si objek puisi. Di perpustakaan, di koridor, di kelas (ini mah nggak mungkin ya) pasti celingukan, berharap ada dia di sana. Kenapa juga gw berlaku begitu ya? Toh sampai sekarang gw nggak bisa liat akun FS-nya (dan pacarnya).

Dan, gw malah papasan sama pacarnya di koridoooor! Untung kami nggak ketemu pandang, karena papasan aja udah bikin gw kayak dihantam palu tepat di dada. Dan imaji-imaji aneh itu pun mengalun kembali, membuat gw lagi-lagi sakit kepala.

Lemah banget gw yak?

Anyway, tadi gw udah buka FS dia. Gw udah kirim puisi itu ke dia. Dan sebodo amat. Mau dia ngajak berantem, kek. Mau dia bilang gw ngganggu, kek. Sebodo amat. Yang penting gw udah ungkapin semuanya ke dia tanpa main fisik (dan jujur aja gw pingin banget jadiin dia samsak sekarang).

Fuuh...

Wednesday, October 22, 2008

Tenar Banget Lo Ya?

Ceritanya ini mau dikirim ke bloh ngupingjakarta.blogspot.com, tapi nggak boleh coz ini kejadiannya di Bandung, bukannya di Jakarta. Jadi... silakan dinikmati. Maaf kalau nggak lucu...

Cowo#1: Eh, berarti lo belum liat rambut gw yang panjang, ya? Lo kan nggak ke klub kemaren-kemaren.
Cowo#2: Udah, kok. (menjawab dengan mantap)
Cowo#1: Di mana?
Cowo#2: Di TV (masih menjawab mantap). Eh, bukan deng. Di blog...
Reading Lights, didengar oleh ceweknya cowok#2 yang mengakak dengan mantap

Ceritanya Menertawakan Masa Depan... (Tertawa Getir)

Cerita ini terjadi tiga hari yang lalu, tepatnya di detik-detik menuju UTS Proyek Mikrobiologi. Para Mikro-Squad (sebagian dari sedikit cowok di Jurusan Mikrobiologi) lagi duduk-duduk di tangga tak berujung (tangga di labtek biru yang mengarah ke loteng labtek) dan berniat belajar. Sampai ketika AL, sang master microbiologist, mulai bercerita ke gua...

AL: Fer, tahu nggak? Kemarin tuh gw nganter temen gua anak Perminyakan ke Titian Karir di Sabuga.
Gw: (Manggut-manggut. Emang si AL dari kemarin ngegerecokin gw pengen dianterin ke Titian Karir. Sebagai informasi, Titian Karir adalah semacam career day yang diadakan kampus untuk (kayaknya sih) menyambut para wisudawan (akhir minggu ini memang ada acara wisuda, sih...))
AL: Iya. Si BG kan anak minyak tuh, dia baru lulus kemarin. Dan, tahu nggak, gw bete banget kemarin...
Gw: Oh, ya? (mulai tertarik)
AL: JAdi tuh, pas kita ke titian karir, si BG kan mampir dulu ke CHV (perusahaan minyam multinasional). Kita langsung disamperin sama orangnya, kan. Si BG kan anak minyak, dia langsung disamperin gitu sama orang penting entah dari mana.
Gw: Lalu?
AL: Terus, orangnya nanya gw, "Mas yang ini dari mana?" Ya gw jawab, "Biologi."
Gw: Terus?
AL: Terus, muka si mas-masnya langsung berubah gitu. Katanya, "Yah, maaf ya mas. Kalau biologi..." (dengan nada lembut-prihatin dan kalimat dibiarkan menggantung)
Gw: Ouch...
AL: Terus, pas gw liat lagi, ada tulisan besar-besar "Dicari: PETROELUM ENGINEERING, MINING, GEOLOGY". Nggak ada tulisan "Dicari: MICROBIOLOGIST". Apa perlu gw tulis terus tempel sendiri gitu ya?
Gw: Hahaha... (ketawa garing, mulai mikir) Mungkin...

Dari percakapan itu, gw menyadari (selain kenyataan bahwa si Al sangat loyal menyebut kata "terus") kalau jurusan yang gw pilih sangat kurang populer di Indonesia. Paling nggak, nggak laku di Career Day kampus...
Salah satu anggota Mikro-Squad lain, DM, mulai nimbrung.

DM: Owh, kok gw ngerasa masa depan gw suram gini yak?
Gw: Apa boleh buat? Indonesia memang belum masuk era bioteknologi, sih...
DM: Itulah masalahnya. Kita masuk jurusan yang lakunya justru di luar negeri. Ah, gw ikutin lo aja deh, Fer, ke luar negeri.
Gw: Atau jadi News Anchor-nya Metro TV. Lulusan segala jurusan, IP minimal 3. Gw mau banget tuh...
DM: Mau jadi jurnalis, Fer? Kita kan jurnalis yang handal. Tiap hari bikin jurnal. Hakhakhak...
Gw: Yuk mari... hahahahaha

Sekedar info, jurnal adalah semacam resume sebelum praktikum yang musti dibuat. Kalau nggak, nggak boleh ikut praktkum. Mengingat jurusan gw tuh praktikumnya tiga tiap minggu, bayangkan saja betapa hectic-nya hari-hari gw gara-gara tuh jurnal...

AL: Atau... jadi guru SMA aja deh kita. Kayaknya SMA-SMA di pedalaman sana sangat membutuhkan bantuan kita...
Gw dan DM: Oke banget tuh...

Jadi Ingat. AL pernah cerita, pas dia halal-bihlal, ada tentenya yang nanya dia, "Kuliah di mana sekarang?"

AL dengan bangga menjawab, "Mikrobiologi."

Si tante manggut-manggut. "Oooh... nanti lulus mau ngajar di mana?" Uh-oh, ternyata si tante ngira AL kuliah di universitas calon guru!

Tapi... dengan kondisi kayak gini, kok kayaknya itu karir yang paling "visible" ya? Selain jadi PNS, MLM-er, atau pegawai bank?

"Terus, kalau gitu, buat apa kita susah-susah kuliah dan bikin jurnal dan lapora setiap hari? Kalau gua sih nggak rido..." timpal DM.

Iya juga ya. Capek-capek bikin jurnal, ikut praktikum, bikin laporan, mengkontaminasi diri denga bakteri-bakteri lab. Dan pada akhirnya semua itu nggak gw sentuh pas kuliah nanti...

JAdi pengen jadi News Anchor-nya Metro TV (nggak nyambung, yak?)

Cheers!

Friday, September 5, 2008

Supir Angkot Unik

Walaupun berangkat naik angkot itu membosankan (dan mahal), kadang-kadang ada kejadian menarik. Kayak kejadian hari ini. Niatnya sih cuma ingin ganti suasana, jadinya duduk di samping sopir. Nggak tahunya... baca aja sendiri kisahnya deh... yang dikemas dalam format drama dengan ME adalah saya dan MA adalah Mang Angkot. (:P)

Setting: Di angkot, belokan Jalan Tamansari dan Jalan Wastukencana (pokoknya yang ada XL Ritel-nya).

Pemicu: Ada motor nabrak mobil, dan mereka lagi adu mulut di pinggir jalan.

MA: (Dalam Bahasa Sunda) Buruan beresin. Ntar kalau ada polisi, urusannya jadi ribet.

ME: (ketawa kikuk, pengen nanggepin tapi nggak bisa bahasa Sunda.)

MA: Iya, kalau ada polisi, kenanya jadi mahal ke mobilnya.

(Langsung inget ucapan dosen Fisika Dasar soal kalau mobil nabrak motor (atau kebalikannya), selalu mobilnya yang salah).

ME: Jadi, kalau gitu, si mobil yang salah?

MA: Iya. Mobil itu harus bayar dua kali. Udah mah ngegantiin si motor, dia harus bayar ke polisi buat nebus mobilnya. Mendingan diselesaikan dengan kekeluargaan aja deh.

ME: Oooh... (Dalam hati mikir, nggak adil!)

MA: Karena itu, A. Kejadian di lapangan selalu nggak sesuai sama teori, ini yang bikin—maaf, A—mahasiswa-mahasiswa perguruan tinggi kesulitan pas di lapangan. Misalnya aja nih, kalau konstruksi bangunan kan teorinya 1:3 (aku lupa perbandingan apa sama apa, pokoknya gitu deh), tapi di lapangannya tuh 1:10.

(Mulai bingung, kok obrolannya jadi ke arah sini? Tapi ya udahlah, ikutin dulu aja.)

ME: Masa? Kok jauh gitu?

MA: Iya. Karena itu ada gedung yang diketok-ketok sedikit langsung roboh. Teorinya memang 1:3, tapi di lapangan jadi 1:10

(Aku ngerti kok, maksudnya apa: polisi ngobyek. Dia tahu aku mahasiswa, dan kayaknya dia ngira aku anak Sipil. Pertanyaanku sekarang, siapa sih dia? Kuli bangunan-kah?)

ME: Ooh... Apa pengalaman sendiri, Mang?

MA: Mmm... Saya sih cuma pribadi aja, mengumpulkan pengalaman... (Nggak jelas amat sih ngomongnya?) Gitu, A. Kenyataan nggak sama dengan teori.

ME: (penasaran belum hilang) Udah berapa lama jadi supir angkot, Mang?

MA: (berubah sikap) Saya sih udah lama ya, A. Sejak 1990.

ME: (amazed) Wah, setahun setelah saya lahir, dong? Lama, ya...

MA: (senyum) Dulu saya pertama ke Bandung tahun ’82, waktu Galunggung meletus. Waktu itu saya masuk SPG. Dulu kan ada tuh SPG (Sekolah Pendidikan Guru).

ME: Mmm... (sambil ngangguk-ngangguk)

MA: Dulu tuh, STM sama SMA sering banget perang (mungkin maksudnya tawuran). Pokoknya, setiap kali ketemu pasti berantem. Makanya, pas baca di Tribun soal SMA 7 jarang terlibat tawuran... bohong, itu!

ME: Bohong?
MA: Iya. Justru provokatornya anak 7. Teman saya, malah. Sekarang dia di kepolisian, jadi penyidik.

ME: Ooh...

(Terus mendadak ingat kalau si MA sekolah di SPG)

ME: Kalau gitu, sempet ada cita-cita jadi guru dong, Mang?

MA: Alhamdulillah, udah 22 tahun saya jadi guru. Ini tuh cuma sampingan doang.

ME: Wow (truly amazed)

MA: Waktu itu tuh, yang gantungin kaos PGRI di Jakarta itu...

ME: Ya? (Udah bersiap kagum, cz ngira si MA yang ngegantungin)

MA: ...orang Banten. Nah, waktu itu saya duduk persis di bawahnya.

(Yee... cuma duduk di bawahnya, toh. Si MA tuh kayaknya guru bahasa, ya? Pinter banget nyusun kalimatnya.)

ME: (recovering) Kalau gitu, Mang guru apa? Di mana?

MA: Ah, saya mah guru SD. Ngajar kelas enam. Waktu PSB kemarin tuh saya nungguin di SMP XX sampai malam. Waktu demo itu, kalau nggak salah nuntut anggaran buat para guru.

ME: Dan anggarannya udah turun?

MA: Belum, A. Ntar tahun 2009.

ME: Kalau gitu, tinggal beberapa bulan lagi, dong. Insya Allah turun lah, Mang.

MA: Mudah-mudahan. Yang saya takutkan teh dua: anggarannya nggak turun atau disalah gunakan oleh sekolah.

ME: Sekolah suka menyalah gunakan ya, Mang? Kayak misalnya butuhnya sekian, mintanya lebih gede?

MA: Malah, kadang-kadang nggak ada perlu tuh minta dana.

ME: Fiktif? (memastikan)

MA: Iya. Saya tuh udah lama, tahu persis yang ginian. Saya juga tahu, di SMP XX ada anak yang sekarang kelas dua SMP tapi ijazah SD-nya ada di saya.

ME: Hah, kok bisa? Bukannya masuk SMP harus pake ijasah SD ya?

MA: Iya. Itu salah satu syaratnya. Nah, tahunya, bapaknya TU SMP XX.

ME: Oooh... pantesaaan...

Nggak kerasa, makin dekat saja aku dengan tujuanku. Aku juga makin kagum sama pahlawan tanpa tanda jasa yang rela menyambi jadi supir angkot demi bertahan hidup itu...

... hingga ia ngasih kembalian kurang gopek.

Ugh. Kadar simpati saya langsung agak merosot. Tapi nggak apalah. Mungkin dia emang nggak punya receh lima ratusan. Lagian, uang lima ratus tuh nggak sebanding dengan cerita-cerita yang barusan saya dengar, kan? Seperti yang teman saya bilang, “Anggap aja infak ke mang tukang angkot, Fer.”

Tapi, baru nyadar, ternyata KKN udah merajalela di mana-mana ya. Di sektor hukum, pembangunan, pendidikan. Bahkan transportasi rakyat kecil kayak aku juga sarat dengan KKN (apa itu preman penarik uang ngetem? Cih, mereka biking harga angkot naik). Gimana cara ngubahnya, ya? Masa sih harus sampai memusnahkan seluruh warganya baru Indonesia bisa becus?

Hii... jangan sampai, ah...

Wednesday, August 27, 2008

Morning Riweuhness

Pagi-pagi begini, nggak nyangka aja dapat bahan bagus buat diomongin. Tapi agak berbahaya juga sih ngomongin ginian. Ya sudah, lah. Nggak apa-apa. Risikonya aku yang tanggung deh…

Jadi begini. Pagi ini, seperti biasa, aku pergi ke kampus menumpang mobil paman. Biasalah, penghematan. Punya paman yang bekerja di kampus yang sama dengan tempatku kuliah itu keuntungan, bukan? Artinya, uang buat ongkos angkot pagi ini bisa dialokasikan untuk buku teks, misalnya. Betul, kan?

Seperti biasa juga, selama di mobil aku lebih banyak diam. Agak nggak biasa juga kalau si paman diam di mobil. Dasar kreatif, pasti saja ada yang dikomentarin. Mulai dari para AD yang nyapu jalanan sampai angkot yang suka motong jalan seenaknya. Jadi, agak serba salah juga, takutnya bikin salah apa gitu…

Dan, tiba-tiba saja, si paman nanya, “Fer, di kampus ada kumpulan gay gitu, ya?”

Langsung deh aku speechless.

Jadi, ternyata, si paman ikut rapat petinggi kampus gitu. Dan di sana dibahas kencang banget sama orang-penting-se-kampus. Dan, katanya lagi, banyak banget kasus kayak gitu di fakultasku. Kasus kayak dosen pacaran sama mahasiswa, mahasiswa sama mahasiswa, dan sebagainya. Jelas aja dekannya berang.

Tanggapan pamanku sih adem ayem aja. “Selama nggak mengganggu kepentingan umum, terserah mereka mau pacaran sama siapa dan kayak gimana.” Begitulah. Satu ideology sih denganku: selama nggak ngeganggu mah sah-sah aja.

Tapi yaa… serem juga kan? Masa di kampusku, fakultasku pula, banyak yang begituan? Ntar kalau ditaksir gimana? Ntar kalau akunya jatuh cinta gimana? Hii…

Tuesday, August 26, 2008

Kekompakan Berdasar Tradisi?

Hari ini, aku baru sampai di rumah pukul tujuh. Sebenarnya sih nggak terlalu masalah kalau aku pulang telat gara-gara kuliah. Toh, namanya juga mahasiswa, kewajibannya belajar. Tapi aku pulang malam gara-gara ada kumpul angkatan dulu.

Heugh. Kumpul angkatan. Dengarnya saja sudah malas. Yang terbayang di ingatan saat mendengar frasa “kumpul angkatan” adalah pertemuan yang mulainya pasti ngaret, yang diomongin nggak jelas, dan pertemuannya pasti lama tapi nggak berbobot.

Dan itu terjadi tadi sore (sampai malam), membuatku tergoda untuk mem-post-nya di sini.

Jadi, ceritanya, hari ini kumpul lagi untuk ngomongin hal yang (bagiku) nggak terlalu penting: identitas angkatan sebagai anggota himpunan. Aku termasuk orang yang nggak peduli dengan bagaimana jadinya identitas angkatan itu. Mau desainnya unik, warnanya ngejreng, selama nggak menyalahi aturan nggak masalah. Yang penting enak dipakai.

Hmm... buat yang nggak ngerti, gini aja deh analoginya. Kamu adalah orang yang baru masuk ke toko roti terkenal (berasa Yakitate Ja-Pan). Toko roti itu punya roti andalan yang super enak. Kalau orang mau mencari roti yang satu itu, mereka tahu harus mencari di tokomu. Nah, kamu menemukan resep roti itu dan memodifikasinya sehingga menjadi jauh lebih enak, namun mempertahankan ciri khas roti toko itu. Bukan hanya kamu yang bilang enak, teman-teman bahkan seniormu di toko itu pun bilang roti temuanmu enak. Lalu, tiba-tiba saja ada orang asing yang tiba-tiba bilang rotimu beda dan tidak enak, padahal dia belum pernah mencicipi baik rotimu maupun roti toko itu, apalagi membuatnya.

Seperti itulah kira-kira.

Nggak tahu kenapa, topik itu selalu diulang di setiap kumpul angkatan sampai hari ini. Semua sudah excited, merencanakan detil di sana-sini. Seorang yang berbakat merelakan diri bekerja demi mewujudkan impian anak-anak seangkatan. Semua sudah sempurna, anak-anak sudah setuju, kasarnya sudah tinggal di-“jadi”-in saja. Lalu sekumpulan orang nyeletuk, “Kok beda yah?” dan akhirnya terpaksa dirapatin lagi. Rancangan yang sudah jadi terpaksa divoting ulang dengan alasan tradisi dan kekompakan.

Tampak jelas dari kumpul angkatan kali ini kalau semua sudah bosan ngomongin itu. Yang datang hanya 43 dari 120-an anak. Sebagian besar nggak ngerti kenapa musti masalah ini yang diangkat, secara masih banyak hal lain yang lebih perlu dibicarakan, seperti expo himpunan nanti November. Diskusi pun berjalan alot sampai akhirnya seseorang cukup cerdas untuk menanyakan inti dari kumpul angkatan ini.

“Apakah kita harus seragam agar bisa kompak? Bisakah kita tetap kompak walaupun tampilan kita beragam?”

Mulai dari sini, kayaknya aku mau break dulu nyumpahin kumpul angkatan nggak guna tadi. Aku tertarik mengomentari pertanyaan “penting” tadi itu dulu.

Pertanyaan itu memang susah dijawab. Seperti menjawab pertanyaan, “Lebih dulu ayam apa telur”, kedua jawaban valid. Baik ayam maupun telur adalah jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu, bila dilihat dari sudut pandang tertentu.

Ya, keseragaman memang bisa membuat kita kompak. Karena kita merasa satu. Satu keluarga. Satu visi. Satu keinginan. Ekstremnya, satu tubuh. Mungkin itulah dasar pemikiran para penggiat komunis-sosialis di luar sana. Masuk akal sebenarnya, kalau ditilik lagi.

Sayangnya, itu nggak mungkin terjadi. Di Al-Qur’an disebutkan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Itu artinya kita memang diciptakan berbeda. Dan, menyeragamkan sesuatu yang dari lahirnya sudah berbeda itu nggak mungkin. Itu artinya mengubah aspek lahiriah maupun batiniah agar menjadi satu hal yang sama. Suatu hal yang kayaknya nggak mungkin dilakukan tanpa agresi atau tekanan, dan kedua hal itu menyalahi hak asasi manusia.

Pemecahannya simpel, sebenarnya. Manusia tinggal menerima fakta kalau masing-masing dari mereka itu berbeda. Dan mereka juga harus meyakini kalau perbedaan dibutuhkan agar semuanya bersatu dalam harmoni. Saling menyeimbangkan. Saling membantu. Saling melengkapi. Dengan begitu, bukan tak mungkin kekompakan yang solid dan hakiki akan tercapai.

Masalahnya sekarang, sulit sekali membuat manusia menyadari hal penting itu. Manusia punya ego, selalu merasa dirinya (atau sukunya, atau bangsanya, atau apapun yang ia banggakan dan kaitkan dengan dirinya) paling hebat, paling agung, atau semacamnya. Hal itu membuatnya kesulitan menerima pendapat dari sudut pandang lain mengenai masalah yang sama. Belum lagi penyakit xenofobia (takut sama orang asing) yang bikin kita berprasangka yang bukan-bukan terhadap orang asing (atau tepatnya orang yang tak terlalu kita kenal). Okelah, berhati-hati boleh, tapi tidak berlebihan, apalagi sampai menyakiti hati orang itu.

Balik lagi ke masalah kumpul angkatan, ada satu hal lagi hal yang ingin aku soroti di sini: tradisi. Yup, salah satu alasan mengapa rancangan itu di-voting ulang adalah karena tidak mengikuti tradisi yang berlaku sebelumnya. Dan hal itu berujung pada masalah “seragam-dan-kekompakan” tadi (tentu saja di sini konteksnya kekompakan antar-angkatan).

Aku sendiri bukannya tidak setuju dengan tradisi. Tradisi adalah kekayaan imateril, sesuatu yang harus dijaga dan diturunkan pada generasi penerus. Tapi, zaman sudah berubah sekarang. Kita sudah dituntut untuk memilih mana yang paling sesuai dengan tuntutan zaman. Dan, kalau inovasi menawarkan kelebihan-kelebihan sementara tradisi tidak memberi nilai tambah, kenapa juga maksa ikut tradisi? Seharusnya malah tradisi itu kita beri inovasi sehingga makin bisa bertahan melawan kerasnya zaman. Betul nggak?
Akhirnya kumpul angkatan berakhir dengan voting ulang (walaupun ketua angkatannya nggak setuju sama sekali). Dan hasil yang dituai sama dengan hasil voting sebelumnya, walaupun kali ini beda tipis. Syukurlah, akhirnya masalah ini selesai juga. Udah bosen nih tiap ngumpul ngomongin itu melulu.

Cheers!

Friday, August 22, 2008

Bandung, Truly a Creative City?

Ada yang berbeda di daerah Dago selama dua bulan terakhir ini. Empat huruf raksasa berwarna-warni didirikan di perempatan Dago-Tamansari, empat huruf yang kalau dibaca berbunyi “DAGO”. Bukan hanya itu. Terdapat juga instalasi-instalasi unik di berbagai sudut kota, seperti susunan pot dalam rak di bekas pasar balubur, atau susunan botol minuman bekas di kolong jembatan Pasupati. Lalu ada KickFest, yang sukses bikin saya diledek paman saya karena tak tahu apa yang bikin jalan dari Gasibu ke Talaga Bodas macet total (dan saya menyesal tak tahu ada KickFest karena saya ingin beli jaket distro).

Ternyata, semua itu adalah rangkaian dari Helarfest 2008, sebuah rangkaian festival (30+ festival, tepatnya) yang dijadwalkan akan berlangsung selama dua bulan (Juli-Agustus). Seperti dikutip dari situs www.helarfest.com, helarfest “aims to cultivate the emerging practice in contemporary creative culture both in local and global context”. Helarfest juga membawahi berbagai macam aspek kreatifitas, seperti musik (indie, jazz), seni rupa (instalasi, pameran lukisan), keilmuan (astronomi), desain (distro), film, dan kultur budaya. Seperti yang saya baca di perempatan jalan Dago tadi, helarfest seakan merupakan upaya Bandung untuk mendeklarasikan dirinya sebagai “Creative City”.

Dan, otak kreatif nan kritis saya mulai jalan, mempertanyakan pernyataan yang saya baca itu. Dengan atau tanpa adanya helarfest, benarkah Bandung adalah kota kreatif?

Untuk menjawab pertanyaan itu, saya bertanya pada empat responden yang tinggal di bandung sekaligus berkecimpung di (atau berkaitan dengan) industri kreatif. Sebut saja A, B, C, D. A adalah seorang mahasiswa pascasarjana di Fakultas Komunikasi sekaligus penyiar di salah satu radio Bandung. B adalah pengarang buku bestseller yang memenangi penghargaan literasi tertinggi di Indonesia. C adalah mantan dosen ilmu komunikasi sekaligus penyiar radio yang kini menjadi pembaca berita di salah satu TV kabel. D adalah lulusan sekolah tinggi seni yang kini menekuni berbagai workshop penulisan. Dan, keempatnya setuju kalau bandung adalah kota kreatif. Tapi, ketika saya bertanya “mengapa”, mereka memberikan alasan-alasan sebagai berikut:

A: “Yaa... kita lihat saja industri musik. Musisi-musisi terkenal seperti Trie Utami, T-Five,dan lainnya itu berasal dari Bandung.”

B: “Ya, Bandung itu kota kreatif. Karena saya melihat beberapa komunitas-komunitas di Bandung yang kreatif. Sebut saja Ranger Bastards, LFM.”

C: “Iya, Bandung gudangnya creative. Karena sejarah Bandung sebagai parijs van java lengkap dengan bukti otentik kawasan braga-asia afrika. Kedua, banyaknya creative talents dari Bandung seperti musisi, seniman, dan pekerja seni di layar kaca/lebar. Ketiga, ada institusi di bidang seni dan kreativitas seperti FSRD ITB, STSI, Enhai (kuliner), dan sekolah tinggi seni musik bandung (ada gitu?-pen).”

D: (tidak memberikan alasan yang jelas-pen)

Dari situ (dan dari pernyataan beberapa dari mereka), saya menyimpulkan kalau mereka mendefinisikan Kota Kreatif sebagai “Kota yang penduduknya orang-orang yang kreatif, yang dipenuhi ide-ide kreatif dan menghasilkan industri kreatif yang sukses.” Pernyataan terakhir itu saya tambahkan karena ada salah satu surat kabar menulis salah satu parameter ke-kreatif-an Bandung adalah banyaknya distro di dalamnya.

Yah... saya tak bisa bilang saya tak setuju. Karena, definisi saya mengenai kota kreatif agak berbeda dengan simpulan tersebut. Tepatnya, simpulan tersebut terasa kurang lengkap apabila saya bandingkan dengan simpulan versi saya.

Setiap kali saya mendengar frasa “Creative City”, saya membayangkan sebuah kota yang begitu uniknya sampai-sampai penduduknya terilhami dan menjadi kreatif. Saya membayangkan kota yang memiliki sentuhan kreatif kaum muda yang inovatif tapi tak mengganggu kultur tua yang tak kalah indahnya. Saya membayangkan kota yang mengakomodasi ke-kreatif-an penduduknya, walaupun tetap membatasinya dalam korodur-koridor tertentu.

Dan, tampaknya Bandung masih belum sampai ke tahap itu. Tepatnya, kaum-muda-kreatif Bandung sepertinya harus mengusahakan langkah ke sana sendirian, karena para petinggi Bandung terlihat lebih sibuk mengurusi hal lainnya. Persib, misalnya. Atau pembangunan mall yang mengorbankan tembok sepanjang Jalan Siliwangi (mudah-mudahan ini hanya isu yang takkan terealisasikan).

Mudah-mudahan, dengan adanya helarfest 2008 ini, Bandung bisa menjadi kota kreatif yang menelurkan banyak sekali industri kreatif. Kalau saja Bandung bisa menjadi kota kreatif bertaraf internasional, bukankah itu berarti ekstra devisa bagi negara? Karena itulah, mari galakkan energi dan karya kreatif dan buat Bandung semarak dengan kreativitas kita!

P.S.: Baru nyadar, bahasaku di posting ini baku banget ya? Well... kalau ada yang mau komentar soal Bandung adalah kota kreatif, silahkan tinggalkan komentar di postingan ini J

Sunday, August 17, 2008

Iseng... Dare To Try?

Eh, para orang Bandung, pada tahu iklan Axe segede-gede gaban di persimpangan Dago-Diponegoro, kan? Itu lho, yang sebelahan sama iklan Wall's Vienetta yang bikin ngiler itu tuh... Atau, kalau mau gampangnya, cari aja perempatan yang ada DSE Factory outlet, Plasa Dago, dan Kimia Farma.

Bukan mau ngomentarin bintang iklannya (yang nggak tahu kenapa bikin mata seger pas ngeliatnya), tapi nomor telepon yang ditunjuk si bintang iklan lewat kartu reminya.

Pertanyaannya adalah: ada yang udah pernah nelepon ke nomor itu?

Soalnya temenku pernah, dan ternyata nomornya nyambung, lho! Tentu saja dia langsung tutup karena takut.

Nah, tertarik mencoba? Siapa tahu ternyata si bintang iklan Axe sengaja mempromosikan nomor teleponnya. Siapa tahu saja cowok iseng yang berani akan mendapatkan hati si gadis cantik (atau dampratan sang bapak). (:P) Karena aku baik, aku kasih deh nomor teleponnya: 0818999293.

Dare to try? Hehehe...

Tujuh Belasan...

Di hari ini, ada yang berbeda. Hari ini adalah satu-satunya hari di mana aku dibangunkan oleh lagu keras yang diputar di jalan depan rumah. Bukan sembarang lagu, pula. Lagu itu adalah lagu Hari Merdeka.

Yup. Today is Indonesian Independence day, the day that Ir. Soekarno declares our independence from those who colonize us. Today is the day that we stand up for the first time as an independent country (and without the right regulation too at first).

Dan, hari seperti ini identik dengan tiga hal: libur, upacara bendera, dan lomba-lomba khas tujuh belasan. Iya, kan?

Kalau masalah libur, wajarlah. Hari ini kan hari sakral bagi warga Indonesia. Hari ini kan musti diperingati dengan penuh kesungguhan, dan nggak mungkin itu terjadi kalau warga Indonesia harus bekerja atau sekolah di hari ini, kan? (Backsound: bilang aja pengen liburan)

Upacara juga, standar lah. Toh, waktu sekolah berseragam tuh setiap hari Senin kita harus ikut upacara bendera, kan? Dan, di hari sakral ini, seluruh instansi seolah berlomba-lomba mengadakan upacara bendera. Bahkan warga RT 01 RW 02 (which is my home) pun mengadakan upacara bendera di jalan depan rumah. Sempat diajak ikut upacaranya, sih. Tapi… malas ah. (:P)

Nah, yang ketiga ini yang bikin penasaran: lomba-lomba tujuh belasan. Walaupun sekarang ada lomba-lomba yang lebih “wajar” seperti lomba futsal dan lomba bulu tangkis, tetap saja aku penasaran sama lomba-lomba yang unik-unik dan khas-tujuh-belasan macam panjat pinang dan makan kerupuk. Kenapa harus lomba-lomba itu? Apa maknanya? Kenapa tata caanya harus seperti itu? Sumpah, aku penasaran banget. (Biasa, otak kelebihan nutrisi akibat dipakai tidur melulu pas liburan. Pas kuliah nanti, pasti nggak akan kepikiran hal kayak gini)

Jadi, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, aku ingin membahas dan menelaah (cuih, bahasanya) satu persatu lomba-lomba yang diadakan itu. Tentu saja telaahnya akan dangkal, ngaco, dan kadang-kadang so-out-of-the-world. So, don’t take it seriously, ok?

(Catatan: karena nggak terlalu up-to-date soal lomba-lomba tujuh belasan, mungkin ada beberapa lomba yang tertulis di sini namun tak lagi dilakukan di dunia nyata. Maklum, otak angkatan tua. Hehehe…)

Panjat Pinang

Ini adalah lomba paling standar yang muncul di acara tujuh belasan. Pasti tahu dong mekanismenya gimana? Sebuah batang bambu diberdirikan, di atasnya diberi lingkaran dari bambu juga. Di lingkaran itu digantungkan bermacam-macam hadiah, tergantung dana yang dialokasikan pemrakarsa lomba. Paling banter sabun, kaos, atau mi instan karton, tapi aku pernah melihat mini compo ditaruh di situ juga (atau dusnya aja kali ya? Mini compo kan lumayan berat). Dan, batang bambu itu diolesi oli agar licin setengah mati. Intinya adalah, bagaimana caranya mengambil hadiah di atas bambu tersebut.

Kayaknya, dari sekian banyak lomba tujuh belasan, lomba ini yang paling jelas maknanya. Makna utama tentu saja gotong royong, karena batang bambu itu nggak mungkin dipanjat saking licinnya. Panjat pinang juga mengajarkan untuk tahu diri dan posisi; orang berbadan gempal musti tahu diri dan bersedia merelakan bahunya dipijak orang lain, nggak peduli misalnya dia juragan sapi atau ketua RT, misalnya. Panjat pinang juga mengajarkan untuk berpikir cepat dan tahu skala prioritas, karena orang yang sudah di puncak pinang bisa jatuh kapan saja; orang itu nggak boleh ragu-ragu atau dia akan terjatuh dan tidak mendapat apa-apa. Satu makna lagi, yakni melatih kesabaran sang istri, karena celana pendek suami mereka pasti penuh dengan oli yang (kayaknya) susah dicuci. (:P)

Yang bikin aku penasaran, kenapa namanya “Panjat Pinang”? Kenapa nggak “Panjat Bambu”, secara yang dipanjat bukan pinang tapi bambu? Gara-gara itu, saya jadi sempat berpikir kalau pinang adalah sinonim dari bambu sebelum mata pelajaran biologi membukakan mata saya kalau pinang masuk famili kelapa-kelapaan sementara bambu masuk famili rumput-rumputan. (iya, tahu. Emang nggak penting dibahas, sih.)

Balap Makan Kerupuk

Lomba ini adalah lomba yang dulu sering diadakan oleh mama di halaman rumah, dan diadakan bukan pada hari tujuh belasan. Pesertanya tentu saja aku, adik-adikku, dan anak-anak tetangga. Dari segi finansial, lomba ini juga cukup murah. Beli saja seutas rapia dan beberapa kerupuk. Ikat dan gantungkan kerupuk setinggi mulut peserta, dan biarkan mereka berusaha memakannya tanpa menggunakan tangan. Tentu saja semua sudah tahu, kan?

Mengenai maknanya, seorang teman telah menyumbangkan pemikirannya yang berharga pada kita (kita? Lo aja sendiri kaleee). Seperti yang kukutip dari beliau, lomba ini “Mengajarkan para anak-anak untuk hidup sengsara. Kerupuk kan murah, nggak enak, udah gitu dimakannya susah lagi. Intinya, kita harus mau hidup prihatin agar bisa hidup.” (lho?)

Jujur, aku agak kurang setuju akan pendapatnya mengenai kerupuk. Okelah, memang kerupuk kampung itu murah, tapi siapa bilang nggak enak? Kerupuk kampung yang putih berulir dan bahannya dari tapioka itu enak banget kali. Apalagi kalau kecoklatan karena gosong. Pas digigit, hmm... langsung melting gitu deh di lidah! Sensasinya itu lho, nggak ada yang ngalahin, deh!

Kok jadi ngomongin kerupuk, ya? Maaf, maaf, keburu nafsu. (:P)

Saya sendiri punya teori yang sedikit berbeda: lomba ini mengajarkan senam mulut yang berguna bagi para pembicara. Siapa pun yang pernah melakukannya pasti tahu kalau koordinasi bibir, gigi, dan lidah sangat dibutuhkan untuk menarik kerupuk agar mendekat ke mulut peserta. Orang yang sering mempraktikannya dijamin tidak akan keseleo karena kebanyakan ngomong (karena giginya sering mengatup padahal nggak kena kerupuk) dan memiliki lidah yang lentur untuk artikulasi sempurna (karena lidahnya sering liuk-liuk demi mengenai kerupuk yang langsung melting itu). No wonder orang Indonesia jago ngomong, pas kecilnya ikut lomba makan kerupuk, sih.

Balap Karung

Lomba ini juga tipikal lomba yang sering diperlombakan di mana saja kapan saja, nggak harus di acara tujuh belasan. Beberapa orang berusaha paling duluan sampai ke garis finis sementara kakinya (seringnya sih sampai leher) terbungkus karung goni. Tentu saja yang terjadi adalah peserta melompat-lompat lucu dan beberapa kali terjatuh (dan tentu saja ditertawakan penonton).

Aku punya teori tersendiri mengenai asal mula lomba balap karung ini. Ada kemungkinan, lomba ini diprakarsai oleh seorang produsen karung goni terkenal untuk mengiklankan betapa karung goninya kuat dan tahan banting. Yah, lebih kurang kayak Levi Strauss yang mengikatkan celana jeans produksinya ke dua kuda yang dipacu ke arah yang berlawanan. Aku malah bisa memikirkan kalimat iklannya sekarang: “Karung Goni cap Pak Goni! Kuat, bandel, dan serba guna! Bukan sekedar karung beras, tetapi juga cukup kuat untuk jadi kendaraan, bahkan sleeping bag!”

Oke. Aku ngaco.

Lomba ini, kayaknya, memiliki esensi penting di dalamnya: teruslah maju walaupun kakimu terbungkus karung goni. Teruslah bangkit walaupun mukamu terjatuh di kubangan lumpur. Teruslah melompat walaupun sainganmu terpelanting karenanya. Pokoknya, apapun yang terjadi, melajulah ke garis finis!

Satu lagi, lomba ini harusnya diadopsi Rinso karena sejalan dengan tagline iklannya: kalau nggak noda ya nggak belajar. Seringnya sih malah bajunya yang sobek karena terjatuh di aspal. (:P)

Lomba Memindahkan Belut

Dari namanya saja sudah ketebak, kan? Peserta disuruh memindahkan belut dari satu baskom ke baskom lain. Pada tahu belut, kan? Itu lho, ikan yang panjang berlendir kayak ular yang bisa bikin cewek-cewek menjerit-jerit jijik.

Salah satu esensi lomba ini, kayaknya sih, adalah untuk mengingatkan kalau Indonesia adalah negara agraris. Seperti yang (sebagian dari) kita tahu, belut biasa tinggal di sawah dan biasa didapatkan dengan cara ngurek (coba cari di wikipedia atau google kalau nggak tahu apa artinya). Seperti yang kita tahu juga, saat ini jumlah sawah mulai berkurang karena tanahnya dipakai untuk membangun industri. Dan, pembangunan industri berujung pada perubahan kultur budaya desa dan penurunan standar sanitasi lingkungan. Karena itu, stop industrialisasi!

Oke. Aku ngaco lagi.

Ada kemungkinan lomba ini menginspirasi orang-orang barat sana untuk membuat acara Fear Factor. Memegang makhluk licin berlendir yang tak hentinya menggeliat tentu saja menimbulkan sensasi tersendiri, bukan? Dan tampaknya mereka cukup pintar untuk membawa sensasi itu ke tingkat yang lebih tinggi, which is Fear Factor. Karena itu, mari kita perjuangkan hak kita sebagai inspirator utama Fear Factor! (Sori-sori, nggak bermaksud apa-apa, cuma lagi trance aja)

Esensi lain lomba ini adalah untuk mengetahui bagaimana cara memegang belut yang baik yang benar. FYI, belut adalah makanan berprotein tinggi dan bisa diubah menjadi dendeng, abon, atau keripik yang rasanya lezat. Jadi, siapa saja yang berminat menjadi juragan belut bisa menggunakan lomba ini sebagai sarana untuk melatih karyawannya—atau malah menjadikannya tes masuk. Bagaimana, tertarik?

Memasukkan Pensil (atau Paku) ke Botol

Dari namanya saja, lomba ini terdengar begitu mudah. Apa sih susahnya memasukkan paku ke botol? Nah, coba bayangkan bagaimana kalau paku itu diikatkan pada seutas tali, terus talinya diikatkan ke perut sehingga si paku menggantung melewati (maaf) bokong, lalu dimasukkan tanpa bantuan tangan ke mulut botol yang menganga. Masih berpikir lomba ini gampang?

Kalau ditilik, lomba ini memiliki pesan moral yang hampir sama dengan lomba makan kerupuk: belajarlah hidup prihatin. Seperti kita tahu, pada zaman (sebelum sampai) kemerdekaan, keberadaan kloset duduk bisa dihitung dengan jari (atau mungkin malah nggak ada). Orang-orang dulu biasa buang air di jamban berupa lubang di lantai atau bilik bambu di atas kolam kian (mereka jijik nggak ya kalau tahu ikan emas yang mereka makan tuh ternyata makan “kotoran” mereka?).

Karena itulah, lomba itu sengaja dirancang agar orang-orang masa kini mengerti bagaimana rasanya menggunakan kloset jongkok sekaligus melatih mereka agar menemukan posisi yang bagus untuk jongkok dan (maaf) BAB. Sebuah majalah kesehatan pria bahkan mengetengahkan gerakan itu sebagai cara ampuh mengetes kekuatan paha. Tentu saja, mereka tidak menganjurkan kita untuk mengikatkan paku ke perut seperti saat lomba. (:P)

Sebenarnya sih ada lagi lomba-lomba lainnya, namun aku terlalu malas untuk mengulasnya di sini (dasar orang Indonesia). Satu hal yang bisa kutarik dari ulasan ini adalah orang Indonesia suka sekali mempersulit sesuatu. (:P)

Hehe, nggak ding. Piss ah... dan MERDEKA!

Friday, August 15, 2008

(Clueless But Lovable) New Kid on the Gym

Jadi, ceritanya, kemaren tuh minjem majalah fitness tua dari si Bayu. Edisi lama sih, tahun 2003 kalau nggak salah. Tapi di situ ada artikel menarik: “Jadilah Personal Trainer bagi Anda Sendiri!” (or something like that). Ternyata artikel itu berisi panduan latihan yang diambil untuk empat minggu pertama bagi pemula (seperti aku). Jadi, dengan dibakar semangat membara (biasalah, awal-awal gitu), aku memutuskan untuk pergi ke sabuga buat nge-gym (sebodo amat si Iman nggak bisa ikut).

Seperti biasa, kebangun jam enam. Bangun, mandi, dan nyeduh energen. Sengaja nggak sarapan soalnya takut sakit perut (sarapannya dijadikan bekal, sih). Berangkat dari rumah, jalan dulu sampai Jalan Sunda (kayak biasa), itung-itung pemanasan. Naik angkot, turun di Ganeca, dan jalan lintas kampus sampai Sabuga (sempat ketemu anak-anak panitia INKM yang lagi sibuk-sibuknya). Sepanjang jalan, si majalah itu sama sekali nggak masuk tas.

Kenapa aku rela meganging majalah itu sampai gym? Karena ada yang mau aku tanyakan. Salah satu item latihan itu memakai mesin calf-raise. Dan aku nggak tahu mesin calf-raise itu yang mana. Secara emang nggak pernah nge-gym sebelumnya. Jadi, aku mau langsung nanya ke instrukturnya sambil bayar biaya nge-gym (biar nggak diliatin orang gym lain dan akhirnya tengsin).

Niatnya sih gitu. Makanya, sambil nyodorin duit buat bayar, aku langsung todong si instrukturnya. Berikut petikannya (dengan format meniru para blogger profesional macam Mbak Miund dan Mas Radith):

Aku: Mas, kalau latihan yang ini pake alat yang mana ya? (sambil nunjuk latihan yang dimaksud sembari tengsin-tengsin malu-maluin)

Instruktur: (cuek. Nerima duit, trus ambil pulpen) Iya, tunggu ya. Namanya siapa?

Aku: (nutup majalahnya) Ferdy...

Si mas-mas itu pun menulis namaku dengan ekspresi datar dingin tanpa ekspresi (lho?). Aku jadi kikuk, secara aku bingung mau terus SKSD atau nggak. Si mas instruktur nyerahin kunci loker, terus ujug-ujug nanya, “Yang mana latihannya?”

Aku langsung nyodorin. “Yang ini, Mas.” Terus baru nyadar kalau aku nyodorinnya kebalik. Sumpah deh, selama ngbolak-balik halaman majalah itu, aku berdoa semoga nggak ada orang yang datang dan bayar. Untung inget halamannya di mana.

Si mas instruktur ngeliatin latihan yang kumaksud, terus manggut-manggut. “Oh, yang ini. Bisa kok pake mesin yang itu.” Dan dia menunjuk ke suatu arah yang tampak abstrak.

Berhubung kalau aku tanya juga aku nggak akan tahu yang mana mesinnya (secara mesin-mesin di situ two-in-one semua), aku langsung bilang, “Ya udah. Ntar tolong tunjukin aja yang mana, ya? Makasih!” dengan senyum-innocent-anak-19-tahun-yang-bisa-menjinakkan-bapak-bapak-ganas-sekalipun. (:P)

Time is money (or, in this case, health), so I got changed, put my belonging into locker, and stepped into my first training machine: leg press. Masih mengingat prinsip-prinsip yang ditulis di artikel itu: satu set lima belas repetisi, tiap repetisi enam detik, gunakan beban awal yang PALING ringan kalau tidak tahu beban awalnya berapa.

Nah, di sini mulai bingung. Secara di sesi workout-ku yang sebelumnya, aku pake beban yang beratnya dua puluh kilo (sepuluh kiri, sepuluh kanan). Yasud, kadung gengsi, berlatihlah aku pake beban segitu. Kelar dari leg press, sambil ngitung sampai 90 dalam hati (karena di sana ditulis isirahat antar latihan 90 detik), aku pergi ke latihan berikutnya: lat pulldown. Di sini sih nggak ada masalah. Palingan salah ngeset beban sehingga latihan yang niatnya satu set terpaksa dinaikkan menjadi tiga set.

Sembari ngumpulin napas sehabis narik-narik beban dua puluh kilo, si mas instruktur manggil. Dia nunjuk mesin leg press yang (lagi-lagi) ternyata two-in-one.

Instruktur: Pake aja mesin yang ini. Coba lepas joknya (sembari nunjukin bantalan jok yang terpasang di kaki mesin).

Aku: (mulai berjongkok, mencari kenop buat dilepas) Mmm... gimana? Nggak ngerti, mas...

Instruktur: (berjongkok, mencabut jok (gampang banget ternyata!), terus ngotak-ngatik mesinnya. Mendadak mesinnya jadi mirip sama yang di majalah, walaupun nggak tegak) Nah, gini doang, kok.

Aku: (nahan malu) Oke. Makasih! (Sambil mempertontonkan senyum pamungkas)

Oke. Aku ngaku. Aku emang nggak pakar soal ngotak-ngatik gituan. Bahkan (mau ngaku nih) pake treadmil aja nggak bisa karena nggak ngerti komputerisasinya. Kurang clueless apa aku ini, coba?

(Backsound: bilang aja udik)

Habis itu, langsung melesat ke pojok barbel. Jadi, barbel itu adalah batang besi yang di ujungnya dikasih pemberat mirip donat dan ditahan pake baut. Biasanya suka ada orang yang make sebelum aku, jadinya aku tinggal buka dan ganti bebannya. Tapi, kali ini, barbel itu masih teronggok manis di depan cermin. Masih belum dirakit.

Diiringi insting, aku ambil satu batang besi yang paling nggak karatan dan ada ulirnya (logikanya, si baut harus bisa nahan si beban, dan itu nggak mungkin kalau batangnya nggak berulir). Aku seret benda itu ke deket dumbel, tempat beban-beban tiga kilo-an terpasang di dumbel (mirip kayak barbel, tapi lebih pendek). Insting bekerja lagi, dan aku membuka baut di dumbel buat ngambil bebannya. Satu keambil.

Karena aku bekerja dengan prinsip satu-satu, aku pasang dulu si beban itu ke batang barbel. Kan di sana tuh ada cincin besi di ujung ulirannya, aku anggap itu bautnya. Dan, dengan lugunya, aku berusaha membuka cincin besi itu sampai akhirnya nyadar kalau cincin itu dipaten ke batang barbel! Sampai-sampai orang yang lagi bench press di sebelah kasihan melihat aku. Dan, bodornya, dia berusaha membantu dengan melakukan sesuatu yang lain dari niatku semula: ngebuka cincin besi yang (ternyata) dipaten.

Bench-presser: (naro barbelnya) mau dibuka yah mas?

Aku: (gugup) i-iya (masih belum nyadar cincin besi itu dipaten)

Bench-presser: (ngambil dumbel yang bautnya kayak kembang itu. Dia ngambil sesuatu yang keras, terus dipukulin ke bautnya) Nih, mas (sambil buka tuh baut yang curiganya udah bisa dibuka sejak awal)

Aku: Makasih (tengsin, tapi tetap tersenyum. Baru nyadar kalau itu dipaten)

Yah, mas... maaf deh kalau aku mengganggu latihanmu yang berharga. Maklum, anak baru. (:P) Seolah belum cukup, aku nekad masukin mur buat dumbel ke batang barbel. Ya jelas nggak akan masuk, dodol! Si mas bench-presser kali ini nggak ngebantuin. Mungkin dia sibuk bench press kali ya. Dan akhinya si aku menyadari kalau baut buat barbel ada di keranjang merah di bawah rak. Yaelah... ngomong dong dari tadi!

Rasa malu pun ditimpakan pada barbel yang tak berdosa: dipake barbel curl setengah nafsu. Habis itu bench press (sempet nunggu lama karena ngeliat cowok yang malu-malu kucing gitu pakenya; dua repetisi, menghela napas lelah, taro barbel, duduk, celingukan, latihan lagi. Jangan ge-er lah, yang gua lihat tuh mesinnya, kok. Bukan situ) dan dikoreksi pelatihnya (“Batang besinya sejajar dada. Mundur lagi.”). Sembari nunggu bench press, aku sempet-sempetin nyoba sit-up negatif yang pelan tapi melelahkan. Cobain, deh. Habis itu, ada dua item lainnya sampai akhirnya tiba ke item yang ditunggu-tunggu: heel raise!

Dan di sini, aku kembali menjadi si tampan yang clueless. (:P)

Jadi, ceritanya, mesin buat heel raise itu tuh mesin yang sama dengan leg press. Dan mesin itu baru aja dipake ibu-ibu bertato kaki. Aku tahu kalau sandaran kaki buat leg press harus dibuat lurus, tapi nggak tahu caranya karena tadi lebih mikirin cara nyopot jok. Dan, lagi-lagi, aku menjadi objek yang patut dikasihani saat mencoba mencopot baut yang (lagi-lagi) ternyata dipaten ke mesinnya.

Ibu kaki bertato: mau diapain, mas? (tampang prihatin)

Aku: (nggak yakin bisa nerangin) mau dilurusin, Bu.

Ibu kaki bertato: (mulai ngotak-ngatik batang penopang sandaran) mau dimiringin yah, mas?

Aku: (mulai bingung neranginnya gimana) dilurusin, bu. Biar sejajar. (tangan mulai main, meliuk-liuk nggak informatif)

Ibu kaki bertato: begini? (sambil ngotak-atik mesin. Tiba-tiba sandaran kakinya udah lurus)

Aku: Iya, bu (tengsin lagi) Makasih (senyum marketing profesional pun keluar)

Aaaarrrghhh! Aku memalukaaaaan!

Akhirnya workout itu pun diakhiri dengan knee raise dan back up masing-masing empat puluh repetisi (saking kesalnya). Habis itu chit-chat sama mas instruktur. Kita ngomongin banyak hal. Tapi, yang paling nanjleb pas dia bilang, “Crunch aja yang banyak. Yang normal aja.” Buset, jadi dia tahu aku pake sit-up negatif dari tadi! Aku diperhatikan olehnya! (mata mulai berkaca-kaca) Akhirnya SKSD-ku berhasil! Horeee!

Kesimpulannya, workoutku hari ini berantakan banget. Yaiyalah, nggak ngurut soalnya. Harusnya kan dari ujung kaki ke bahu, ini malah loncat-loncat. Mana bingung pula mau nerusin program dari majalah atau program di dinding gym. Tapi, ya sudah. Toh, sekarang aku tahu kalau aku bisa chit-chat sama mas instruktur dan pelanggan tetap gym sabuga. Hehehe...

Yah, seperti janjiku sama mas instruktur: kalau jadwal memungkinkan, aku mau jadi member dan workout tiga kali seminggu. Pokoknya, satu tahun dari sekarang, aku harus punya tubuh bagus!

Semangat!