Friday, August 22, 2008

Bandung, Truly a Creative City?

Ada yang berbeda di daerah Dago selama dua bulan terakhir ini. Empat huruf raksasa berwarna-warni didirikan di perempatan Dago-Tamansari, empat huruf yang kalau dibaca berbunyi “DAGO”. Bukan hanya itu. Terdapat juga instalasi-instalasi unik di berbagai sudut kota, seperti susunan pot dalam rak di bekas pasar balubur, atau susunan botol minuman bekas di kolong jembatan Pasupati. Lalu ada KickFest, yang sukses bikin saya diledek paman saya karena tak tahu apa yang bikin jalan dari Gasibu ke Talaga Bodas macet total (dan saya menyesal tak tahu ada KickFest karena saya ingin beli jaket distro).

Ternyata, semua itu adalah rangkaian dari Helarfest 2008, sebuah rangkaian festival (30+ festival, tepatnya) yang dijadwalkan akan berlangsung selama dua bulan (Juli-Agustus). Seperti dikutip dari situs www.helarfest.com, helarfest “aims to cultivate the emerging practice in contemporary creative culture both in local and global context”. Helarfest juga membawahi berbagai macam aspek kreatifitas, seperti musik (indie, jazz), seni rupa (instalasi, pameran lukisan), keilmuan (astronomi), desain (distro), film, dan kultur budaya. Seperti yang saya baca di perempatan jalan Dago tadi, helarfest seakan merupakan upaya Bandung untuk mendeklarasikan dirinya sebagai “Creative City”.

Dan, otak kreatif nan kritis saya mulai jalan, mempertanyakan pernyataan yang saya baca itu. Dengan atau tanpa adanya helarfest, benarkah Bandung adalah kota kreatif?

Untuk menjawab pertanyaan itu, saya bertanya pada empat responden yang tinggal di bandung sekaligus berkecimpung di (atau berkaitan dengan) industri kreatif. Sebut saja A, B, C, D. A adalah seorang mahasiswa pascasarjana di Fakultas Komunikasi sekaligus penyiar di salah satu radio Bandung. B adalah pengarang buku bestseller yang memenangi penghargaan literasi tertinggi di Indonesia. C adalah mantan dosen ilmu komunikasi sekaligus penyiar radio yang kini menjadi pembaca berita di salah satu TV kabel. D adalah lulusan sekolah tinggi seni yang kini menekuni berbagai workshop penulisan. Dan, keempatnya setuju kalau bandung adalah kota kreatif. Tapi, ketika saya bertanya “mengapa”, mereka memberikan alasan-alasan sebagai berikut:

A: “Yaa... kita lihat saja industri musik. Musisi-musisi terkenal seperti Trie Utami, T-Five,dan lainnya itu berasal dari Bandung.”

B: “Ya, Bandung itu kota kreatif. Karena saya melihat beberapa komunitas-komunitas di Bandung yang kreatif. Sebut saja Ranger Bastards, LFM.”

C: “Iya, Bandung gudangnya creative. Karena sejarah Bandung sebagai parijs van java lengkap dengan bukti otentik kawasan braga-asia afrika. Kedua, banyaknya creative talents dari Bandung seperti musisi, seniman, dan pekerja seni di layar kaca/lebar. Ketiga, ada institusi di bidang seni dan kreativitas seperti FSRD ITB, STSI, Enhai (kuliner), dan sekolah tinggi seni musik bandung (ada gitu?-pen).”

D: (tidak memberikan alasan yang jelas-pen)

Dari situ (dan dari pernyataan beberapa dari mereka), saya menyimpulkan kalau mereka mendefinisikan Kota Kreatif sebagai “Kota yang penduduknya orang-orang yang kreatif, yang dipenuhi ide-ide kreatif dan menghasilkan industri kreatif yang sukses.” Pernyataan terakhir itu saya tambahkan karena ada salah satu surat kabar menulis salah satu parameter ke-kreatif-an Bandung adalah banyaknya distro di dalamnya.

Yah... saya tak bisa bilang saya tak setuju. Karena, definisi saya mengenai kota kreatif agak berbeda dengan simpulan tersebut. Tepatnya, simpulan tersebut terasa kurang lengkap apabila saya bandingkan dengan simpulan versi saya.

Setiap kali saya mendengar frasa “Creative City”, saya membayangkan sebuah kota yang begitu uniknya sampai-sampai penduduknya terilhami dan menjadi kreatif. Saya membayangkan kota yang memiliki sentuhan kreatif kaum muda yang inovatif tapi tak mengganggu kultur tua yang tak kalah indahnya. Saya membayangkan kota yang mengakomodasi ke-kreatif-an penduduknya, walaupun tetap membatasinya dalam korodur-koridor tertentu.

Dan, tampaknya Bandung masih belum sampai ke tahap itu. Tepatnya, kaum-muda-kreatif Bandung sepertinya harus mengusahakan langkah ke sana sendirian, karena para petinggi Bandung terlihat lebih sibuk mengurusi hal lainnya. Persib, misalnya. Atau pembangunan mall yang mengorbankan tembok sepanjang Jalan Siliwangi (mudah-mudahan ini hanya isu yang takkan terealisasikan).

Mudah-mudahan, dengan adanya helarfest 2008 ini, Bandung bisa menjadi kota kreatif yang menelurkan banyak sekali industri kreatif. Kalau saja Bandung bisa menjadi kota kreatif bertaraf internasional, bukankah itu berarti ekstra devisa bagi negara? Karena itulah, mari galakkan energi dan karya kreatif dan buat Bandung semarak dengan kreativitas kita!

P.S.: Baru nyadar, bahasaku di posting ini baku banget ya? Well... kalau ada yang mau komentar soal Bandung adalah kota kreatif, silahkan tinggalkan komentar di postingan ini J

1 comment:

Ficky said...

Salut euh...ternyata bakat juga jadi kritikus sosial, kenapa tidak terjun sekali ke jurnalistik Fer..?