Showing posts with label Jurnal. Show all posts
Showing posts with label Jurnal. Show all posts

Tuesday, April 28, 2009

Littel Devil Named Ciko

Haa... udah lama yah nggak nulis di Blog. Bukannya malas, tapi nggak sempat. Minggu-minggu kemarin memang badai UTS-UTS dan laporan-laporan. Kalau tulisan gw makin lama makin rapi dan halus, berarti memang wajar, wong ujian dan laporannya tulis tangan semua. Hehehe...

Anyway, who is this little devil named Ciko? He's a little prince from hell (namanya juga devil). Nggak deng. Ciko is a kitten, my household-assistant's (a.k.a. asisten rumah tangga). Ceritanya, setelah kematian Komeng, dia merindukan kehangatan seekor kucing (lho?). Kebetulan ada anak kucing--entah ngebrojol dari mana--yang akhirnya diadposi oleh dia, which is ciko. Ciko ini cukup lucu untuk ukuran anak kucing (emangnya ada anak kucing yang nggak lucu?). Warnanya abu-abu lumut, bulunya lumayan mengembang (kayaknya induknya kucing ras), dan matanya belo (yang bikin dia makin lucu). Sayangnya, mungkin karena masih anak kucing, Ciko ini lumayan sangat hiperaktif. Kalau dikurung, menjerit-jerit minta keluar. Sekalinya keluar, lari sana-sini sampai-sampai potensial-ketendangnya sangat tinggi.

FYI ajah, Komeng itu adalah kucing (kampung juga) yang kerjaannya hamil. Dan, kalau udah hamil, hobinya loncat lewat jendela kamar gw (yang memang menghadap ke jalan) dan masuk seenaknya ke lemari pakaian gw, mungkin nyari tempat buat melahirkan. Yah, agak nyebelin juga sih,memangnya ada apa dengan lemari gw?!

Oke, balik lagi ke Ciko. Hari ini, asisten rumah tangga yang merangkap tuannya Ciko lagi pulang kampung (dia memang pulang kampung setiap dua minggu sekali). Berhubung tuannya nggak ada, Ciko dikurung di kandang, dan dia nggak henti-hentinya mengeong. Mungkin karena kasihan, Bibi gw pun menyuruh gw untuk melepaskan si Ciko di taman tengah rumah. "Bisi pamali," kata beliau.

Ya sudah, sebagai keponakan yang berbakti, gw pun naik dan mengeluarkan Ciko dari kurungan. Sebenarnya sih, gw juga pengen megang-megang Ciko. Lagian, ada riset yang menunjukkan kalau mengelus hewan peliharaan dapat menurunkan tingkat stres, dan gw merasa stressful akhir-akhir ini. Gw pun dengan santainya menurunkan si Ciko di taman tengah rumah gw. Lucu juga lihat dia ngendus-ngendus daun atau ngintip isi tempat sampah. Kemudian panggilan alam menerpa gw; gw pun pergi ke kamar mandi.

Dan, pas gw balik lagi, SI CIKO ILANG!

Degg, mampus gw. Gimana juga, si Ciko dititipin ke gw. Kalau sampai si Ciko kenapa-napa, bisa-bisa asisten rumah tangga gw nangis bombay lagi. Bibi gw juga sama hebohnya waktu tahu si Ciko ilang. Kita berdua pun kompakan nyari si Ciko; gw nyari di taman, dan si Bibi nyari di bawah tangga.

"Coki, coki, coki!" panggil Bibi sambil ngdek-ngudek kotak sepatu.

"Namanya Ciko, wa," koreksi gw.

Arrghh... kenapa harus ada anak kucing yang main petak umpet dan bikin sport jantung sekarang? Sementara ada slide presentasi fismik setengah jadi yang terus memanggil-manggil gw untuk membereskannya, dan laporan-laporan terakhir yang deadlinenya udah mepet. Huff, gw menyibak rumput-rumput hias dengan kaki, kalau-kalau si ciko ada di sana. Gw negbungkuk-bungkuk ngintip di bawah kursi. Gw bahkan keluar dan mondar-mandir di teras kalau-kalau tuh anak kucing keluar.

Dan ternyata si anak kucing ada di lantai 2, dong! Kok bisa, ya? Padahal tangga di rumah gw adalah tangga kayu yang mirip-mirip grafik fungsi distribusi (halah). Belum lagi jarak antar anak tangga itu lumayan tinggi. Hebat juga dia bisa naik tangga itu dan nyampe ke atas.

Akhirnya, karena semua orang udah kapok ngelepasin dia (dan sport jantung lagi), si Ciko pun dikurung lagi di atas (Dan meong-meongan lagi samapi sekarang). Oh ya, bagi yang penasaran sama si Ciko, ini dia nih fotonya:

Sunday, March 8, 2009

Opera Ganesha: Klimaks Kedigjayaan Civitas ITB

Ini Dia nih, tiket yang cuma dilepas 400 biji ke Mahasiswa... Unfair!

Opera Ganesha. Sebuah acara yang membuat penasaran civitas kampus selama seminggu lebih rangkaian Dies Emas ITB. Sebuah even klimaks dari perayaan kedigjayaan kampus ganesha. Sebuah opera luar biasa ber-tagline “Napak Tilas Gajah Kencana Meniti Kala”.

Saat balihonya pertama dipasang di depan gerbang ganesha, saya sudah kebelet ingin nonton. Pasti rame banget, nih. Apalagi setelah mendengar desas-desus dari teman-teman yang bermain peran di sana. Untungnya saya berhasil mencomot satu dari lima tiket yang dikirim ke rumah—walaupun akhirnya yang dipakai cuma tiga tiket (keluh).

Waktu sampai di Sabuga Minggu malam (8/3), saya benar-benar kagum. Disambut oleh resepsionis yang rapi-rapi dalam dandanan serbahitam, saya—dan paman serta bibi saya—digiring menuju lorong berisikan foto-foto. Ada foto kampus masa kini, foto hitam putih yang mungkin diambil saat pemerintahan Soekarno, foto berwarna berisikan orang-orang dengan dandanan eighties… saya ingin melihat-lihat, namun juga tak sabar ingin menonton operanya.

Kami dapat bangku di jajaran tengah, dereta paling depan. Entah beruntung entah sial. Namun aku nggak bisa protes, karena bangku lain yang tak terisi hanya di jajaran samping. Aku jadi ingat akan keluhan temanku yang menyayangkan dirinya tak dapat tiket masuk padahal dia penari.

Pukul tujuh lebih—hampir setengah delapan—acara dibuka. Panggung dipenuhi hiruk pikuk layaknya di peron, didukung oleh layar yang menayangkan gambar kereta api. Ada penjaga peron yang berdiri di tengah, ekspat yang menggandeng istrinya, none belanda yang belanja gulali, tukang sapu, pengemis. Seorang ibu hamil yang ditinggal suaminya hilir mudik di depan bangku penonton, begitu pula seorang penjual balon. Aku kenal ibu hamil dan penjual balon itu, namun sayang aku nggak dapat balon (wkwkwkwkwk).

Narator mengumumkan keberangkatan kereta. Layar menjadi redup, dan menayangkan gambar gajah-gajah tengah berlari. Tampaknya gajah menjadi simbolisme civitas ganesha, atau bahkan ITB itu sendiri, karena sesaat kemudian rombongan penari berkostum kuning dan bertopeng gajah mulai memasuki panggung. Sang konduktor, Purwacaraka, mengangkat batonnya, dan lagu khas orkestra yang membahana pun mengalun memenuhi jagat Sabuga.

Keluhan teman saya pun terjawab. Para penari tidak memerlukan undangan, karena mereka menari sepanjang pertunjukan. Tarian mereka seirama dengan lagu, sesuai dengan tema yang ingin disampaikan konduktor dan narator. Mereka terus menari, kadang lincah, kadang ceria, kadang menghentakkan kakinya penuh amarah. Bagai dikomando oleh lagu, mereka terus bergerak selama scene-scene perlambang perjalanan ITB tersebut.

Berbagai macam musik mengalun, sesuai dengan tema bagian itu. Saat peresmian ITB untuk pertama kalinya, lagu yang dimainkan adalah lagu di panggung broadway yang ceria. Tari kecak dijadikan perlambang masa kelam G30S(PKI), dan para penari menghentakkan kakinya seolah sedang berperang. Ketika datang masa tenang, PSM ITB menyanyikan lagu “Naik Delman” yang diaransemen ulang dan para penari bertingkah bagai anak kecil menari riang. Lagu menegangkan kembali mengalun saat bagian “Menjatuhkan Rezim Soeharto” dan dua barongsai-berkepala-gajah dengan lincahnya berusaha saling menjatuhkan (salah satu gajah berwarna kuning dan lainnya merah, simbolisme?). Dan, untuk melambangkan masa kini yang penuh kreasi, lagu-lagu ceria kembali mengudara dan para penari kembali melakukan tarian-tarian sederhana dan modern. Ada breakdance segala, lho! Dan sumpah, itu keren banget!

Acara akhirnya ditutup dengan gegap gempita. Seluruh pihak yang menjadi tulang punggung acara ini mendapat karangan bunga dari orang-orang penting civitas ganesha. Tampak kepuasan dari mata setiap partisipan, terutama para penari. “Kita latihannya udah lama banget, nggak ada yang mau turun dari panggung,” ujar seorang teman, Inta, yang tampak begitu bahagia. Bravo civitas ganesha! Bravo opera ganesha! Bravo untuk kita semua!

Monday, December 8, 2008

Kursi Neraka

Oke... sebelum gw mulai postingan kali ini, gw musti klarifikasi satu hal: gw bukan kursi-filik, apalagi fetishee kursi. Bagi gw, kursi adalah benda biasa yang diciptakan untuk kemaslahatan umat manusia.

Kecuali mungkin kursi yang menjadi bintang utama postingan ini.

Semua orang di dunia ini--paling nggak di Indonesia--pasti pernah pergi ke Mall, kan? Tentu tahu kursi pijat otomatis yang suka ada di tiap mall. Yang pramuniaganya suka ngasih kesempatan undian, terus mendadak ujiannya "kena" dan kita boleh bawa barang yang kita "kena" itu dengan seabrek persyaratan yang intinya nyuruh kita beli di situ. Biasanya ayah suka memanfaatkan kesempatan "trial" itu untuk dipijat gratis. Dan gw... jujur aja... menatap iri. Kayaknya enak deh dipijat kaya gitu.

Dan tadi, gw akhirnya mendapat kesempatan untuk mencoba si kursi itu...!

Ceritanya begini. Hari ini Idul Adha (sekalian mau ngucapin Selamat Idul Adha buat yang merayakan, hehehe), dan biasanya perayaan Idul Adha di keluarga gw lebih singkat ketimbang Idul Fitri. Karena acara kelar jam 3, orang tua ngajak jalan. Ya sudah, berangkatlah kami ke BSM tercinta karena paling dekat sama rumah...

Nah, di BSM, ayah yang lagi sakit punggung langsung mencari kursi pijat dengan harapan dikasih kesempatan trial (walaupun pasti akhirnya nggak beli). Gw, yang menganggur, akhirnya bersandar di palang pembatas sambil membaca bukunya Benny and Mice yang Jakarta Atas Bawah (gw rekomen banget deh!). Salah satu pramuniaganya nyadar, dan manggil gw supaya duduk di dalam tokonya. Lalu, karena nggak ada kursi di situ, si mbak menor berambut bob (halah) itu berkata, "Ya udah, duduk di sini aja, Mas," sambil menunjuk si kursi pijat.

Gw menatap si Mbak. Serius nih?

Tatapan si Mbak seolah berkata, "Iya. Ayo cepet, udah nggak tahan nih..." (Emangnya apaan?)

Ya sudah. Jangan salahkan gw kalau akhirnya kenapa-napa. Gw pun akhirnya duduk di kursi pijat. Si mbak itu mulai menekan-nekan tombol di pegangan kursi.

Dan siksaan itu pun dimulai.

Feeling gw mulai nggak enak pas sandaran kursi itu mendadak merebah dan muncul benda-benda gaib seukuran bola pingpong yang muncul dan bergerak-gerak mistis. Si Mbaknya dengan enteng berkata, "Nyantai aja, Mas. Kan lagi dipijet. Ayo, sandaran ke kursinya."

Gw ketawa getir. Bola-bola sialan itu bikin gw susah nyandar. Dan, entah karena gw yang terlalu tinggi atau kursinya didesain untuk orang yang pendek, tuh bola-bola akhirnya menggesek-gesek tulang belikat gw, bikin gw nggak nyaman. Seakan nggak cukup, kaki gw dibelit sesuatu yang bergerak-gerak kayak ular. Betis gw dipencet sampai keras banget, bikin kram. Gw punya dugaan, tuh alat harusnya nangkring di belakang lutut, bukan di betis gw.

Mungkin menyadari penderitaan gw, mbak-mbak itu berkata, "Merem aja, Mas. Biar rileks."

Oke, gw mencoba merem. Cukup membantu sih. Tapi... cobaan berikutnya datang... dalam bentuk si Mbak itu! Dia ngajak ngobrol gw, nanya-nanya hal penting yang seharusnya dia nggak usah tahu. Berikut petikan wawancara yang gw anggap paling dodol.

Mbak Pramuniaga (PR): Mas dari mana?
Gw: Sukabumi, tapi sekarang di Bandung.
MP: Oooh... kuliah di mana?
Gw: ITB.
MP: D3 apa S1?
Gw: (menatap pramuniaga dengan heran) S1.
*Selama gw kuliah di ITB, belum pernah gw denger kampus gw buka D3. Dan gw yakin itu udah common knowledge.
MP: Masih lama dong... Beasiswa ya?
Gw: Nggak kok. SPMB
*Oke, gw bohong. Soalnya kalau gw bilang gw dari USM, makin mungkinlah kita diporotin sama tuh pedagang.
MP: Wah, keren ya! Saya dulu ikut SPMB nggak masuk-masuk lho...
GW: . . . (silence)
MP: Oh iya, mas kok tinggi sih? Gen, ya?
Gw: Mmm... iya sih... (nggak tahu harus gimana)
MP: Oooh... mungkin karena itu saya pendek ya? Tapi... nggak ah. Kakak saya tinggi-tinggi kok...
Gw: (masih speechless)
MP: Nggak enak lho, punya tubuh pendek. Kan susah tuh kalau mau ambil-ambil barang. Kira-kira kenapa tuh ya, Mas?
Gw: Yaa... mungkin karena gen juga kali. Yang turun gen pendeknya...
MP: (Ketawa garing)

Dan, akhirnya, dia nyentuh gw! Okelah, dia udah kelihatan SKSD banget sama gw, tapi kali ini agak... wow. Dia megang-megang tangan gw, lho! Sampai hampir ngeremes segala. Seakan itu belum cukup, dia mulai megangin paha gw. Untung saja, di saat itu, waktu pijat gw habis dan perhatian si Mbak beralih ke kontrol si kursi.

Seharusnya gw nggak bersyukur. Ternyata kursi neraka itu dinyalain lagi sama si Mbak-nya. Dan gw harus "menikmati" pijat neraka itu lagi selama 15 menit ke depan.

Akhirnya, gw tahu, ternyata semua itu adalah akal-akalan pramuniaga di sana untuk menahan gw dan orangtua gw agar tidak pergi sebelum membeli. Kita sempat berdebat alot dulu sebelum akhirnya berhasil membebaskan diri. Habis itu, kita cepet-cepet keluar dari BSM karena mau pulang--dan akhirnya balik lagi karena mau makan.

Dan, in the end, gw bertanya-tanya, "Adakah orang yang mau membeli kursi neraka itu?"

"Atau gw-nya aja yang terlalu ndeso sehingga malah sakit badan setelah pake itu?"

Cheers!

Wednesday, October 22, 2008

Ceritanya Menertawakan Masa Depan... (Tertawa Getir)

Cerita ini terjadi tiga hari yang lalu, tepatnya di detik-detik menuju UTS Proyek Mikrobiologi. Para Mikro-Squad (sebagian dari sedikit cowok di Jurusan Mikrobiologi) lagi duduk-duduk di tangga tak berujung (tangga di labtek biru yang mengarah ke loteng labtek) dan berniat belajar. Sampai ketika AL, sang master microbiologist, mulai bercerita ke gua...

AL: Fer, tahu nggak? Kemarin tuh gw nganter temen gua anak Perminyakan ke Titian Karir di Sabuga.
Gw: (Manggut-manggut. Emang si AL dari kemarin ngegerecokin gw pengen dianterin ke Titian Karir. Sebagai informasi, Titian Karir adalah semacam career day yang diadakan kampus untuk (kayaknya sih) menyambut para wisudawan (akhir minggu ini memang ada acara wisuda, sih...))
AL: Iya. Si BG kan anak minyak tuh, dia baru lulus kemarin. Dan, tahu nggak, gw bete banget kemarin...
Gw: Oh, ya? (mulai tertarik)
AL: JAdi tuh, pas kita ke titian karir, si BG kan mampir dulu ke CHV (perusahaan minyam multinasional). Kita langsung disamperin sama orangnya, kan. Si BG kan anak minyak, dia langsung disamperin gitu sama orang penting entah dari mana.
Gw: Lalu?
AL: Terus, orangnya nanya gw, "Mas yang ini dari mana?" Ya gw jawab, "Biologi."
Gw: Terus?
AL: Terus, muka si mas-masnya langsung berubah gitu. Katanya, "Yah, maaf ya mas. Kalau biologi..." (dengan nada lembut-prihatin dan kalimat dibiarkan menggantung)
Gw: Ouch...
AL: Terus, pas gw liat lagi, ada tulisan besar-besar "Dicari: PETROELUM ENGINEERING, MINING, GEOLOGY". Nggak ada tulisan "Dicari: MICROBIOLOGIST". Apa perlu gw tulis terus tempel sendiri gitu ya?
Gw: Hahaha... (ketawa garing, mulai mikir) Mungkin...

Dari percakapan itu, gw menyadari (selain kenyataan bahwa si Al sangat loyal menyebut kata "terus") kalau jurusan yang gw pilih sangat kurang populer di Indonesia. Paling nggak, nggak laku di Career Day kampus...
Salah satu anggota Mikro-Squad lain, DM, mulai nimbrung.

DM: Owh, kok gw ngerasa masa depan gw suram gini yak?
Gw: Apa boleh buat? Indonesia memang belum masuk era bioteknologi, sih...
DM: Itulah masalahnya. Kita masuk jurusan yang lakunya justru di luar negeri. Ah, gw ikutin lo aja deh, Fer, ke luar negeri.
Gw: Atau jadi News Anchor-nya Metro TV. Lulusan segala jurusan, IP minimal 3. Gw mau banget tuh...
DM: Mau jadi jurnalis, Fer? Kita kan jurnalis yang handal. Tiap hari bikin jurnal. Hakhakhak...
Gw: Yuk mari... hahahahaha

Sekedar info, jurnal adalah semacam resume sebelum praktikum yang musti dibuat. Kalau nggak, nggak boleh ikut praktkum. Mengingat jurusan gw tuh praktikumnya tiga tiap minggu, bayangkan saja betapa hectic-nya hari-hari gw gara-gara tuh jurnal...

AL: Atau... jadi guru SMA aja deh kita. Kayaknya SMA-SMA di pedalaman sana sangat membutuhkan bantuan kita...
Gw dan DM: Oke banget tuh...

Jadi Ingat. AL pernah cerita, pas dia halal-bihlal, ada tentenya yang nanya dia, "Kuliah di mana sekarang?"

AL dengan bangga menjawab, "Mikrobiologi."

Si tante manggut-manggut. "Oooh... nanti lulus mau ngajar di mana?" Uh-oh, ternyata si tante ngira AL kuliah di universitas calon guru!

Tapi... dengan kondisi kayak gini, kok kayaknya itu karir yang paling "visible" ya? Selain jadi PNS, MLM-er, atau pegawai bank?

"Terus, kalau gitu, buat apa kita susah-susah kuliah dan bikin jurnal dan lapora setiap hari? Kalau gua sih nggak rido..." timpal DM.

Iya juga ya. Capek-capek bikin jurnal, ikut praktikum, bikin laporan, mengkontaminasi diri denga bakteri-bakteri lab. Dan pada akhirnya semua itu nggak gw sentuh pas kuliah nanti...

JAdi pengen jadi News Anchor-nya Metro TV (nggak nyambung, yak?)

Cheers!

Friday, September 5, 2008

Supir Angkot Unik

Walaupun berangkat naik angkot itu membosankan (dan mahal), kadang-kadang ada kejadian menarik. Kayak kejadian hari ini. Niatnya sih cuma ingin ganti suasana, jadinya duduk di samping sopir. Nggak tahunya... baca aja sendiri kisahnya deh... yang dikemas dalam format drama dengan ME adalah saya dan MA adalah Mang Angkot. (:P)

Setting: Di angkot, belokan Jalan Tamansari dan Jalan Wastukencana (pokoknya yang ada XL Ritel-nya).

Pemicu: Ada motor nabrak mobil, dan mereka lagi adu mulut di pinggir jalan.

MA: (Dalam Bahasa Sunda) Buruan beresin. Ntar kalau ada polisi, urusannya jadi ribet.

ME: (ketawa kikuk, pengen nanggepin tapi nggak bisa bahasa Sunda.)

MA: Iya, kalau ada polisi, kenanya jadi mahal ke mobilnya.

(Langsung inget ucapan dosen Fisika Dasar soal kalau mobil nabrak motor (atau kebalikannya), selalu mobilnya yang salah).

ME: Jadi, kalau gitu, si mobil yang salah?

MA: Iya. Mobil itu harus bayar dua kali. Udah mah ngegantiin si motor, dia harus bayar ke polisi buat nebus mobilnya. Mendingan diselesaikan dengan kekeluargaan aja deh.

ME: Oooh... (Dalam hati mikir, nggak adil!)

MA: Karena itu, A. Kejadian di lapangan selalu nggak sesuai sama teori, ini yang bikin—maaf, A—mahasiswa-mahasiswa perguruan tinggi kesulitan pas di lapangan. Misalnya aja nih, kalau konstruksi bangunan kan teorinya 1:3 (aku lupa perbandingan apa sama apa, pokoknya gitu deh), tapi di lapangannya tuh 1:10.

(Mulai bingung, kok obrolannya jadi ke arah sini? Tapi ya udahlah, ikutin dulu aja.)

ME: Masa? Kok jauh gitu?

MA: Iya. Karena itu ada gedung yang diketok-ketok sedikit langsung roboh. Teorinya memang 1:3, tapi di lapangan jadi 1:10

(Aku ngerti kok, maksudnya apa: polisi ngobyek. Dia tahu aku mahasiswa, dan kayaknya dia ngira aku anak Sipil. Pertanyaanku sekarang, siapa sih dia? Kuli bangunan-kah?)

ME: Ooh... Apa pengalaman sendiri, Mang?

MA: Mmm... Saya sih cuma pribadi aja, mengumpulkan pengalaman... (Nggak jelas amat sih ngomongnya?) Gitu, A. Kenyataan nggak sama dengan teori.

ME: (penasaran belum hilang) Udah berapa lama jadi supir angkot, Mang?

MA: (berubah sikap) Saya sih udah lama ya, A. Sejak 1990.

ME: (amazed) Wah, setahun setelah saya lahir, dong? Lama, ya...

MA: (senyum) Dulu saya pertama ke Bandung tahun ’82, waktu Galunggung meletus. Waktu itu saya masuk SPG. Dulu kan ada tuh SPG (Sekolah Pendidikan Guru).

ME: Mmm... (sambil ngangguk-ngangguk)

MA: Dulu tuh, STM sama SMA sering banget perang (mungkin maksudnya tawuran). Pokoknya, setiap kali ketemu pasti berantem. Makanya, pas baca di Tribun soal SMA 7 jarang terlibat tawuran... bohong, itu!

ME: Bohong?
MA: Iya. Justru provokatornya anak 7. Teman saya, malah. Sekarang dia di kepolisian, jadi penyidik.

ME: Ooh...

(Terus mendadak ingat kalau si MA sekolah di SPG)

ME: Kalau gitu, sempet ada cita-cita jadi guru dong, Mang?

MA: Alhamdulillah, udah 22 tahun saya jadi guru. Ini tuh cuma sampingan doang.

ME: Wow (truly amazed)

MA: Waktu itu tuh, yang gantungin kaos PGRI di Jakarta itu...

ME: Ya? (Udah bersiap kagum, cz ngira si MA yang ngegantungin)

MA: ...orang Banten. Nah, waktu itu saya duduk persis di bawahnya.

(Yee... cuma duduk di bawahnya, toh. Si MA tuh kayaknya guru bahasa, ya? Pinter banget nyusun kalimatnya.)

ME: (recovering) Kalau gitu, Mang guru apa? Di mana?

MA: Ah, saya mah guru SD. Ngajar kelas enam. Waktu PSB kemarin tuh saya nungguin di SMP XX sampai malam. Waktu demo itu, kalau nggak salah nuntut anggaran buat para guru.

ME: Dan anggarannya udah turun?

MA: Belum, A. Ntar tahun 2009.

ME: Kalau gitu, tinggal beberapa bulan lagi, dong. Insya Allah turun lah, Mang.

MA: Mudah-mudahan. Yang saya takutkan teh dua: anggarannya nggak turun atau disalah gunakan oleh sekolah.

ME: Sekolah suka menyalah gunakan ya, Mang? Kayak misalnya butuhnya sekian, mintanya lebih gede?

MA: Malah, kadang-kadang nggak ada perlu tuh minta dana.

ME: Fiktif? (memastikan)

MA: Iya. Saya tuh udah lama, tahu persis yang ginian. Saya juga tahu, di SMP XX ada anak yang sekarang kelas dua SMP tapi ijazah SD-nya ada di saya.

ME: Hah, kok bisa? Bukannya masuk SMP harus pake ijasah SD ya?

MA: Iya. Itu salah satu syaratnya. Nah, tahunya, bapaknya TU SMP XX.

ME: Oooh... pantesaaan...

Nggak kerasa, makin dekat saja aku dengan tujuanku. Aku juga makin kagum sama pahlawan tanpa tanda jasa yang rela menyambi jadi supir angkot demi bertahan hidup itu...

... hingga ia ngasih kembalian kurang gopek.

Ugh. Kadar simpati saya langsung agak merosot. Tapi nggak apalah. Mungkin dia emang nggak punya receh lima ratusan. Lagian, uang lima ratus tuh nggak sebanding dengan cerita-cerita yang barusan saya dengar, kan? Seperti yang teman saya bilang, “Anggap aja infak ke mang tukang angkot, Fer.”

Tapi, baru nyadar, ternyata KKN udah merajalela di mana-mana ya. Di sektor hukum, pembangunan, pendidikan. Bahkan transportasi rakyat kecil kayak aku juga sarat dengan KKN (apa itu preman penarik uang ngetem? Cih, mereka biking harga angkot naik). Gimana cara ngubahnya, ya? Masa sih harus sampai memusnahkan seluruh warganya baru Indonesia bisa becus?

Hii... jangan sampai, ah...

Friday, July 18, 2008

Liburanku yang campur aduk...

Salam,

Hahaha... sudah lama nggak posting blog. Sekalinya posting, isinya nggak penting.

Anyway, ternyata komen paling banyak ada pada posting "Curhat Penyakit"-ku ya... Hahaha, ternyata... Untung saja aku pakai bahasa kiasan di sana. Kalau nggak--dan penyakitku ketahuan--bisa dirajam aku sama dunia :P

Ga ding. Nggak seheboh itu juga sebenarnya. Lagian tugas novelis itu bikin orang penasaran sekaligus mendramatisir suasana kan? Hehehe, berhasil nggak aku?

Jadi, ceritanya, libur dua bulan itu nggak selama kedengarannya. Dua bulan itu pendek banget, apalagi kalau dilalui tanpa planning yang jelas. Buktinya dari sekian banyak rencana yang udah kususun rapi bahkan sejak minggu UAS, beberapa harus di-out gara-gara nggak ada space waktu.

Misalnya saja belajar mobil. Sebelum ini kan pake mobil Ayah. Tahunya pas sebelum liburan mobil itu nabrak (bukan aku yang nabrakin!). Depannya penyok parah sampai harus ke bengkel. Walaupun emang beruntung karena nabrak tembok dan bukannya orang, tetep aja akhirnya aku nggak bisa belajar nyetir. Dan ketika si mobil kelar diperbaiki, ortu sibuk ngurus pendaftaran kedua adikku yang mau masuk SMA dan SMP. Yap, seperti bisa diduga, mobil pun dipegang penuh oleh sang Ayah yang gagah berani dan aku pun tak mengalami kemajuan dalam hal setir-menyetir.

Kedua, belajar gitar. Asalnya semangat coz inget ada gitar tua di gudang. Bodo amat dicoret-coret orang kandang, yang penting masih bunyi. Tapi... harapan tinggal harapan. Pas ditanya ke ortu, mereka bilang tuh gitar tahu udah di mana (kayaknya diambil orang kandang, deh (hus, jangan suudzan ah)). Maksa nyari di gudang saung pun tetap saja nggak ketemu. Malah sempat bertarung hidup dan mati dengan gerombolan semut hitam. Hii...

Hehe... itu mah akunya aja yang males ya? Nggak tahu deh...

Tapi untungnya aku bisa melakukan apa yang sudah kupersiapkan sejak empat tahun yang lalu: SPMB! Walaupun namanya berubah jadi SNMPTN (dan jadi susah ngejanya), teknisnya toh sama aja. Sumpah, perjuangan pisan untuk mendapatkan formulirnya; aku musti ngantri di Mandiri Siliwangi, terus rela nangkring di Mandiri Cihampelas sampai jam dua lebih, habis itu langsung ngacir ke Aula Unpad buat nukerin resi sama formulir. Wuih, pas dapet tuh form, lega banget deh rasanya!

Pasti pada penasaran, ngapain aku ikut SNMPTN segala? Kan aku udah keterima di ITB, yang namanya udah tenar ke lingkup Internasional, dengan IP lumayan pula? YAh, jawabannya simpel sebenarnya: aku nggak mau menyerah sebelum berusaha. Selama tiga tahun di SMA, aku sudah dipersiapkan untuk ikut SNMPTN; guru-guru SMA-ku menyiratkan begitu soalnya. Aku ikut remedial itu, bayar les itu, dipaksa beli diktat matematika dan fisika gara-gara nilai rata-rata melulu. Dan, setelah semua itu tiba-tiba saja aku nggak harus ikut SNMPTN? Emang sih harusnya lega tapi kok kayaknya nggak rela ya?

Hahaha, aneh ya?

Hal lain yang terjadi adalah aku ikut casting! Yups, audisi Ketika Cinta Bertasbih yang santer itu. Awalnya gara-gara si Ayah yang dorong-dorong aku supaya ikut. Yasud, aku beli bukunya supaya tahu seperti apa tokohnya. Menurutku, bukunya kalah bagus ketimbang Ayat-Ayat Cinta; ceritanya kepanjangan, kebanyakan tokoh, dan muter-muter. Tapi... kok... mendadak ingin ikut yah? Sampai-sampai bela-belain ke studio foto buat foto studio (hehehe). Tapi apa boleh dikata, gagal jua. Ternyata bernama-belakang sama dengan aktris serbabisa nggak serta merta bikin aku jadi aktor juga ya? Hehehe... Tapi tetep fun! Apalagi karena aku ketemu teman-teman baru di sana.

Terus, yang menarik lainnya adalah aku ke pantai! Bukan Bali atau Pangandaran sih, yang deket aja: Pelabuhan Ratu dan Ujung Genteng. Ke Pelabuhan Ratu tuh mendadak banget. Tiba-tiba si ayah ngajakin, dan kita pun berangkat naik mobil Kijang pengap tapi lovable itu. Sampai di sana, aku padok kamera HP si adik (2 MP dan jauh lebih bagus dari HP-ku) untuk candid tiap orang dan narsis-narsisan. Asalnya mau nginep di sana (aku rela ditinggal sendiri padahal toh bisa pulang naik bis), tapi ayah dan mama nggak tega. Jadi... pulanglah aku hari itu juga, berbekal kepiting pertama (or kumang) yang diambilin Tisa (dan besoknya mati) dan sekantung pasir hitam etnah buat apa dan akhirnya disapuin dari lantai mobil :P

Yang ke Ujung Genteng lebih gila lagi: tiga hari dua malam! Mana pantainya menggugah naluri biologi-ku pula. Bayangin, pantai berkarang yang penuh makhluk nggak jelas! Ada bulu babi, ikan, dan makhluk-makhluk lainnya yang kayaknya nggak akan ketemu kalau nggak ke situ. Ada lintah laut, cacing panjang, kepiting (hiii). Yodi (adikku yang cowok dan jago menangkap ular) langsung beli serokan dan menangkapi ikan-ikan yang terperangkap di kolam air pasang. Dia dapat banyak ikan: belut laut segede telunjuk, ikan buntal yang menggembung pas ditangkap, ikan scorpio yang cantik tapi beracun (dan siripnya itu utuh lho!), udang karang tanpa capit (ini mah bukan ikan, ya?), bahkan gurita mungil yang warnanya ganti-ganti. Spesial buat gurita, dia harus rela pergi ke pantai malam-malam hanya ditemani lampu blitz HP-ku (dan bikin aku, Ayah, dan Mama deg-degan di cottage).

Karang di Ujung Genteng. Indah kan? Airnya jernih pula...

(Almost) sunset di Ujung Genteng

Hari kedua di sana, aku belajar rule of thumb kalau pergi ke pantai berkarang: flip-flop is a must! Aku memang bawa sendal dari rumah, tapi Tisa (adikku yang bungsu dan perempuan sendiri) meminjamnya tanpa permisi. Aku terpaksa pake sendal Yodi untuk menyusul Tisa di bibir pantai. Saat di sana, Yodi mau pakai sendalnya lagi karena dia lagi-lagi menginjak bulu babi (salah sendiri nggak pakai sendal). Sebagai kakak yang baik, aku memberi sendalku pada Yodi.

Masalahnya, pantai itu makin dekat ke pantai makin banyak bulu babi-nya. Dan mereka cukup cerdas untuk ukuran invertebrata: mereka diam di balik batu karang dan di sela-sela rumput laut. Tersembunyi cukup rapi seandainya nggak diperhatikan. Dan aku harus melalui itu semua tanpa sendal dan tongkat kayu untuk meminggirkan bulu babi. Jadi aku harus jalan super hati-hati. Aku selalu memilih jalan yang tak tergenang air; sekalipun harus, aku memilih jalan yang paling jelas dan bahkan memelototi jalan itu untuk memastikan (dan tetap saja melihat benda kecil berduri di sela-sela karang, hiii...).

Bayangkan berjalan tanpa sandal di tengah makhluk-makhluk itu. Hiii...

Sampai di pantai (yang adalah karang yang tergerus hingga kecil sehingga sakit kalau kena kaki), aku digonggongin anjing. Aku ambil saja karang besar, dan aku lempar-tangkap. Untung saja dia takut.

Aftermath? Jangan tanya. Kaki gua sakiiiit!!!! Walaupun untungnya aku nggak nginjek bulu babi. Yay!

Hari ketiga? Nggak ngapa-ngapain. Cuma packing, check out, membungkusi ikan yang ditangkap Yodi (karena dia nggak rela melepaskan hasil tangkapannya. Terpaksa di rumah harus ada akuarium air asin), dan perjalanan pulang selama lima jam karena harus detour ke Pelabuhan Ratu dulu (sebenarnya ada jalan yang bisa 3 jam sampai, tapi jalannya rusak jadi harus pelan-pelan—dan ujung-ujungnya tetap lima jam sampai Sukabumi). Sepanjang jalan, scene-nya ganti-ganti: kebun kelapa, sawah pinggir pantai, kebun teh, gunung batu yang tandus (yang ditumbuhi bambu kering kerontang), hutan pinus (aneh ya? Hutan pinus pinggir pantai...), kebun coklat, perkotaan. Aku malah sempat lihat jembatan gantung raksasa warna kuning yang (konon katanya) insinyurnya langsung bunuh diri setelah jembatannya jadi (Hiii). Sayang nggak sempat difoto, coz harus sampai ke Sukabumi sore itu juga.


Mau tahu kenapa? Karena Yodi harus masuk boarding school hari itu juga. Dan, percaya tak percaya, semua barangnya belum ada yang siap! Ya baju, ya kemeja, ya sprei, ya tetek bengek lainnya. Dokumen-dokumen macam ijasah dan lainnya malah belum masuk pihak sekolah (karena si Ayah keukeuh persyaratannya harus lengkap dulu baru diserahkan. Padahal, apa sih ruginya nyicil dulu?). Terpaksa si Yodi masuk dengan perlengkapan seadanya (sprei dan bed-cover beda motif, sepatu olahraga butut bekas tanah, dan lainnya) dan ditengok tiga hari kemudian sampai barang-barangnya lengkap. Mudah-mudahan saja dia betah di situ. Berjuang yah, Yod!


Hari-hari berikutnya tak ada yang bisa diceritakan. Just plain, ordinary days. Cuci piring, jemur baju, antar Tisa beli seragam, mengusir kucing tisa dari meja makan (kucingnya lucu lho, heterochromatic: matanya satu kuning satu biru), cari cara supaya si gurita mau makan, menangkap belalang buat kadal si Yodi, menyapu rumah, dan... pulang ke Bandung!


Begitulah. Rasanya liburan kali ini lebih melelahkan. Ya iya lah, kan liburan sebelumnya cuma mondok depan PS2. Tapi liburan yang sekarang lebih menyenangkan! Banyak hal baru yang dilihat dan dirasakan. Mudah-mudahan liburan antar-semester 3&4 bisa meneruskan menyetir, dan liburan kenaikan tingkat bisa dipakai ke Bali (lagipula peliharan Yodi toh sudah entah di mana sekarang :P)...


Cheers!

Saturday, May 31, 2008

Osjur, The Apprentice, dan Roti Goreng Kornet

Hari ini hari Sabtu. Hari Osjur. Dan aku males banget ikut osjur. Udah kebayang kakak angkatan yang sok judes, PBB yang bikin tepar, dan tugas-tugas konyol yang bikin pingin nimpuk.

Tapi, aku harus datang. Aku udah keseringan bolos. Lagian, toh cuma tiga hari lagi ini. Kalau ada PBB, aku tinggal bilang bronkhitisku kambuh lagi :P

Jadi, hari ini bangun pagi (sepagi hari kuliah biasa), terus mandi, pake baju, dan masukin lagu kampus ke MP3 player cz harus hapal pagi itu juga (mana lagunya bikin ngantuk, lagi)...

Sampai di kampus (yang agak bikin capek cz jalan Dago macet total pagi itu), sempet bengong pas liat banyak banget anak SMA berseliweran. Oh iya, hari ini kan USM! Mana labtek biru dipake tempat ujian, pula (aku ngintip peta USM orang di angkot). Mau osjur di mana?

Jawaban datang setelah aku bertemu Jamjam; dalam bentuk kakak berjahim kuning yang datang mendekat. Ternyata kumpulnya dipindah ke Taman Ganesha! Gila aja, kita baru tahu pas tiga menit sebelum masuk! Udah aja itu mah lari-larian sampai keluar kampus (dan agak susah coz aku kedorong-dorong tas beratku).

Permulaan osjur... standar lah. Cek barang, seru-seruan standar (“Siapa kalian?!” “Teratai Mudaaa...!”). Yang berbeda, hari itu nggak ada PBB! Aku cuma bisa nahan ketawa (coz kayaknya kita nggak boleh ketawa) pas Kak Maulina dan kakak entah siapa bergaya mirip presenter acara TV.

“Kalian tahu siapa kami? Kalian nggak usah tahu siapa kami. Yang jelas, kami punya duit!” ujar Kak Maulina mengawali acara.

Intinya, anak-anak teratai muda diberi modal dua puluh lima ribu untuk bikin usaha yang balik modal dan (syukur-syukur kalau) menghasilkan untung dalam empat jam. Aku masuk kelompok lima, yang beranggotakan aku, Oji, Ochad, Hadian, Boru, Ela, Mirna, Ochie, Finda, Arni, Rynda, Oya, ma seorang lagi. Kita dikasih waktu setengah jam buat ngonsep sebelum akhirnya kita presentasi dan realisasi konsep tersebut.

Pas ngonsep, jelas terlihat kalau kita nggak ngerti kita tuh disuruh apa. Kita mau jualan barang, itu pasti. Masalahnya, barang apa? Makanan? Kita mau jualan minuman di Saraga ketika si kakak bilang tempat jualan ditentukan panitia.

Akhirnya diputuskan: kita bikin dan jual roti kornet. Yup, kita masak makanan yang akan kita jual. Anak-anak bilang, roti kornet buatan Boru enak. Yaudah, kita pikir itu aja.

Ngonsep selesai, terus presentasi. Jujur, agak keder pas denger presentasi kelompok lain. Mereka semua mau jualan donat, snek macam momogi, dan minuman botol. Barang dagangan mereka udah jadi semua (donat mesen dari relasi); cuma kelompok lima yang pake acara masak sendiri! Kakak-kakak penguji udah nanya-nanya aja sama kita (“Masaknya di mana?” “Berapa lama waktunya?”) dan dijawab dengan diplomatis oleh sang ketua kelompok: Oji (Bravo!).

Beres presentasi, kita bikin yel-yel (“LIMA ROTI KORNET! HAP!”). Empat orang beli bahan di Balubur, sisanya bantuin Rynda siap-siap (kita masak di kosan Rynda). Sempet capek juga coz kosan Rynda cukup jauh. Sempet ada masalah sama harga roti dan kompor butana, namun semua selesai begitu cepat. :P

Ternyata, estimasi kita salah. Kita kira, kita bisa bikin empat puluh potong roti kornet, Nggak tahunya, harga roti naik sehingga kita cuma bisa bikin 32 potong. Harga satu potong roti kira-kira dua ribu. Kalau aku di posisi konsumen, kayaknya nggak mau aku beli roti seharga segitu :P

Anak-anak cewek mulai masak dengan riuhnya. Seksi adonan sibuk dengan adonan yang keasinan dan kurang asin. (“Cobain dulu, deh.” “Keasinan! Lo masukin segimana sih garamnya?” “Masa? Rasa tepung doang, kok.”) Seksi kornet mulai menumis bawang bombai dan bawang putih. (“Wangi banget. Apa aja tu?” “Bawang doang, Fer.” “Anu... itu kornetnya baik-baik saja? Kok ngegumpal gitu?” “Ini kornet bagus, nggak? Kata Mama, kalau kornetnya nggak bagus, jadinya nggak enak.” “Hmm... sedeng, lah...”) Boru sibuk menelepon sang Mama untuk konsultasi resep. Aku menemani Oji balik ke kosannya untuk pinjam wadah Tupperware. Cowok yang lain? Bobo, dong! Dasar...

Keadaan dapur yang super hectic :P

Jualan kita nih... Rasanya nggak kalah lho!

Akhirnya, setelah beberapa kakak angkatan menerobos ingin tahu, enam belas potong roti kornet siap dijajakan. Kloter pertama penjual pun terbentuk: saya, Oji, Finda, Ochie, Mirna. Diiringi empat kakak angkatan, kami pun berangkat jualan.

Perjalanan menuju borromeus menjadi perjalanan penuh tawa (ada yang ngumpet di balik tiang listrik karena malu ngejualin; ada mang-mang yang ngegodain kita dengan bilang mau beli semuanya kalau harganya seribuan). Aku sempat bertanya pada mereka pas sampai di jalan Dago karena terinspirasi sama Yakitate! Ja-pan, “Ada yang udah nyobain dagangan kita?”

Dan, jawaban mereka mudah ditebak. “Nggak.” Aiiih...

Yaudah, satu orang ngasih seribu (ceritanya kita beli dagangan kita sendiri). Kita sengaja pilih yang bentuknya paling abnormal (yang kayak bumerang Australia), trus kita bagi empat (Asalnya sempet lempar tanggung jawab siapa yang mau jadi tester; kakak mentor kita nggak mau, lho! Apa masakan kita se-beracun itu?). Rasanya? Entah, coz aku langsung telen sehabis dikunyah dua kali (“Yah, si Ferdi mah udah dimakan duluan!” seru Oji), tapi rasanya lumayan sih.

Sekali lirik sudah cukup membuktikan kalau Borromeus bukan lahan pasar yang bagus. Kita memutuskan untuk belok ke Jalan Ganeca. Di sana, Ibu-ibu berbaju pink menjadi pembeli pertama kita. Dia beli tiga langsung, dong! Kita langsung mendoakan, semoga anak si Ibu diterima USM-nya. AMIN!

Pembeli kedua kita adalah Bapak-bapak bertampang streng yang kita juga nggak nyangka bakal beli makanan kita. Dia langsung beli lima, katanya anaknya belum sarapan. Dan, kita sempet berheboh ria pas bapak itu minta keresek; nampannya bahkan hampir jatuh, lho! Aku nemu keresek di tas, dan agak malu ngasihinnya ke si bapak karena ada print-an Point Samudra di kresek itu.

Berbekal pengalaman, kita memajang antis sebagai bukti kalau kita sanitasinya terjamin (nggak nyambung :P).

Sepanjang perjalanan, Finda membuktikan diri sebagai SPG terbaik yang pernah kami punya (:P). Dia selalu menawarkan roti goreng kita pada siapapun yang berminat (bahkan pada pak polisi yang lagi parkir). Pernah suatu ketika, kita papasan sama empat orang cowok. Pas kami dan mereka mulai kepisah, Finda mendadak teriak, “Hei! Mau jual... sori, maksudnya beli...”

Kita semua kaget, jelas. Empat cowok itu apalagi. “Eh... enggak...” jawab salah satu dari mereka.

Abis itu, kita semua ngakak abis :P

Pembeli ketiga—dan terakhir kami dapatkan setelah jalan memutar Ganeca-Taman sari (bonbin)-Saraga. Buset, niat banget kita. Kakak mentor kita aja udah meninggalkan kita (dan misuh-misuh pas akhirnya sampai ke spot terakhir kita. “Kalian bikin saya tepar, tahu nggak!”). Pembeli itu langsung memborong roti kami sampai habis! Alhamdulillah! Memang, orang tua yang anaknya ikut USM memang paling loyal! Semoga putranya keterima di SBM ya, Bu!

Ceritanya, dagangan kita habis, jadinya kita meet up sama kloter dua penjual (lewat kampus lah, nggak mau gua muter balik kayak tadi :P). Ternyata, mereka jual rotinya seribu lima ratus each! Yaudahlah, yang penting balik modal :P

Habis ishoma, ada presentasi lagi. Sempet minder pas tahu kelompok lain sukses-sukses. Bahkan ada yang keuntungannya sampai 82.000! Tapi... ternyata aku nggak perlu minder, coz kelompok lima jadi juara satu, lho! Kita menang jauh di hasil akhir (poin kita 89, sementara klompok lain paling tinggi 83-an). Heran, kok bisa? Padahal profit kita paling kecil, lho. Tapi biarlah. Yang penting juara!

Tropi juara :P

So, untuk mengakhiri posting ini, mari kita tampilkan yel-yel tercinta:

“LIMA ROTI KORNET! HAP!”

Moral of the story: relasi dan teamwork penting banget dalam per-wirausaha-an. Dan, nge-danus-lah saat USM diadakan :P

P.S.: Lagi suka lagunya Andra and The BackBone: Main Hati. Lagunya bagus, tapi miskin lirik (urgh). Gila... kapan ya gua bisa kayak di lagu itu...?