Sunday, February 15, 2009

Alay

Tadi pagi, ketika baru bangun tidur dan buka Facebook (kebiasaan yang mulai mengakar akhir-akhir ini), ada notification yang "nyentil" banget. Notification itu berbunyi, "[Nama teman saya] has joined group Fight Indonesian Alay".

"Indoesian Alay". Sungguh frasa yang menggelitik. Soalnya, kata "alay" adalah kata yang baru dipopulerkan akhir-akhir ini dan--sayangnya--semua orang yang saya tanyakan nggak tahu artinya apa. bahkan saya sendiri suka menggunakan frasa "band alay" (tahu lah merujuk ke mana) dan kebingungan kalau ditanya apa arti alay itu. Karena itulah saya meng-klik halaman group itu dan menemukan bahwa alay itu... klik sendiri di sini deh.

Heugh, mau tak mau saya merasa (agak) tersindir. Soalnya poin nomor 3 itu "gw banget". Yang kenal saya pasti tahu kalau saya tak lepas dari headset (halah, yang di Facebook itu nulisnya salah) Philips atau SE yang selalu saya gantung di leher saya. Dan, lebih parahnya lagi, kadang saya suka over-menjiwai kalau denger musik pakai headset (terutama Rihanna-Disturbia). Tapi, kalau ada yang iseng lirik playlist saya, maaf saja, tidak ada Kangen Band atau ST12 di situ (meng-counter poin 19). In facts, saya sangat sedikit menyimpan lagu Indonesia di HP/MP3 player (dan seringnya sih nggak saya dengar) dan kebanyakan lagu-lagu keluaran 2000-an. Jadul nggak sih itu?

Anyway, mengenai arti kata alay sendiri, saya punya teori tersendiri. Alay asalnya cuma suatu kumpulan huruf yang nggak punya arti. Mungkin itu cuma celetukan orang iseng yang jago menciptakan istilah baru yang kemudian menyebar dan memopuler. Kenapa Alay? Mungkin karena berrima dengan "jijay" dan "lebay", seperti karakteristik orang-orang yang dicap alay.

Seperti yang harus saya lakukan ketika bikin laporan, saya tentu harus meng-kroscek hipotesis saya dengan literatur (halah). Karena di kamus terbitan tahun 90-an tidak mungkin ada kata ini, satu-satunya sarana yang mungkin adalah internet. Dan saya menemukan list arti kata alay di sini, yang simpulannya adalah alay = kampungan dan norak.

Dan saya ngakak mampus sekaligus kasihan sama orang-orang alay. Kasihan, mereka jadi stranger dan outsider masa kini, terlepas dari niat mereka yang mungkin mulia sepereti pengen eksis. Hakhakhakhak...

Sedikit intermezzo, ketika saya pertama kali mendengar lagunya Kangen Band, saya kira boyband malaysia (yang dulu populer dengan lagu Gerimis Mengundang) mulai menginvasi Indonesia dengan konsep baru. Betapa tidak, lagu yang nggak jelas genrenya (pop-rock tapi bercengkok dangdut), syair yang miskin dan sering diulang, petikan gitar efek yang kadang fals, semua itu bikin saya berharap punya headset baru (headset saya rusak waktu itu) dan menduga bahwa tukang angkot berkomplot menguasai dunia lewat lagu-lagunya Kangen Band (yang kalau didengarkan oleh orang seperti saya lima menit saja bisa bikin kejang-kejang).

What's wrong with those alays? Well, believe it or not, they're just different.

And annoying. Bagi beberapa orang.

In the beginning, maybe they're just a bunch of people, normal people, who think that they're unacknowledged. Mereka merasa, kalau mereka normal, mereka nggak akan dapat perhatian yang mereka inginkan. Sehingga mereka mengubah citra dirinya untuk berbeda dan (sukur-sukur kalau) stand out. Yang cowok menjadi agak emo (seperti yang memenuhi Jalan Dago dekat Aquarius kalau malam minggu) dan yang cewek mengira kalau mereka menjadi lebih "kanak-kanak" (tercermin dari cara bicara mereka yang mirip balita), mereka akan tampak lebih cute. Tentu saja hukum kebalikan berlaku di sini (dan pelakunya bakal mendapat tatapan dan cap aneh dari masyarakat).

Sayang sekali, penampilan saja ternyata nggak cukup. Menyitir salah satu Aesop's Fables, Outer beauty is a poor substitute for inner worth, mereka mungkin nggak cukup knowledgeable untuk menjadi masyarakat normal. Karena itu, mereka melakukan segala cara untuk menarik perhatian, dan buta akan kenorakan yang timbul akibat perbuatan mereka. Misalnya meng-add atau memaksa orang meng-add mereka di friendster--yang memang gudangnya alay dan ketidak jelasan, memajang "teman-keren" dan memperbanyak comment di (lagi-lagi) FS, dan bahkan tindakan negatif seperti cari ribut. Kalau itu tidak cukup juga, mereka akhirnya bikin komunitas sendiri dan me-reject orang-orang yang berbeda dengan mereka.

Tindakan "cari-perhatian" itulah yang membuat kesal orang-orang non-alay. Siapa yang nggak kesal kalau tiba-tiba ada orang asing meng-add akun FS-nya padahal dia sudah bertekad akan memasukkan hanya kenalannya ke dalam friend list-nya? Belum lagi kalau orang asing itu berkali-kali mengirimkan komen bertuliskan, "uiyyyy, kOq cMa pHiIiew? aDd dUnkzz" yang selain bikin sakit mata juga menuh-menuhin comment saja.

Sebenarnya, secara garis besar, ini hubungan timbal balik. Orang-orang yang terganggu me-reject alay, dan alay balik me-reject mereka. Seperti group yang dimasuki teman saya dan tandingannya di sini. Ini nggak akan selesai kalau tidak ada saling pengertian dari kedua pihak.

Atau mungkin ini sudah di-plot untuk tidak akan selesai? Hmm... interesting. I smelled something in here...

Yeah, I smelled something. My own body odor. Ketahuan deh belum mandi. Wuekekekek...

In the end, bagi yang nggak suka alay, bersiaplah untuk menahan diri. Karena virus alay sudah mulai bermultiplikasi dan bahkan menginfeksi Facebook. Bagi para alay, tolong yah, mental Friendster-nya jangan dibawa ke Facebook. Ngeganggu soalnya.

Cheers.

PS: One question remains. Apakah saya alay? (berharap bukan)




Friday, February 13, 2009

Color Checking Result

Iseng-iseng nyoba ini karena banyak banget notes berseliweran tentang ini. Jadi penasaran, dong aku? Hehehehe....

Oia, kalau mau juga, bisa klik di sini

Entry: Muhammad Ferdyansyah Sechan, Male, 13-10-1989

Dan inilah hasilnya (jengjengjengggggg):

Muhammad Ferdyansyah Sechan

13/10/1989

You are Red Tiger, who is not shy, and are able to keep rock-steady stance to whoever approaches you.

(Haha, bener nih? Memang aku menyikapi orang dengan cara yang berbeda-beda sih)

Your looks represent your characteristic, and you look good natured.

(Berarti characteristic aku pun good natured dong? Memang sering divonis orang baik sih)

Nevertheless, there are delicate, sensitive and intelligent sides to you.

(Delicate? Sensitive? Wah, bener gak sih? Yang jelas emosiku memang nggak stabil sih)

And you sometimes give an impression of being difficult to get to know.

(Hahaha, iya ya. Mungkin itulah sebab aku jarang disapa orang. Heuheu...)

You have high self esteem and you carry out thing on your own pace.

(Salah satu aplikasinya adalah nggak suka diatur. Bener nggak?)

You have strong will power and are a person of mettle.

(Strong Will? Amin... BTW, What does mettle mean?)

You can finish fatigue duties like putting together a plastic model, even if takes ages.

(Haha, beneran nih?)

But you demand the same effort from those around you.

(Nggak juga ah. Emang sih agak bete sama orang-orang yang lelet)

You tend to be too critical, and may be seen as a nagging person.

(Pantesan tukang jualan rada-rada ilfil, soalnya nanya-nanya mulu sih...)

You think high of your points of view.

(Hahaha, egois banget yak?)

You only judge others with your scale.

(Memang sih)

You can be hard minded and obstinate person, as you tend to stick to your opinion and not change it easily.

(Haha, my mama told me that)

But really, you are able to look at situation as a whole, and are a well-balanced person.

(Well-balanced? Librans?)

You tend to be good at putting together the plans and ideas of your fellow workers.

(Yep. Harus ada ide awal yang bisa aku kembangkan)

You are not very good at planning from the beginning and coming up with ideas.

(TEPAT SEKALI! Aku suka bingung kalau disuruh ngasih ide awal)

You wish to succeed and carry out things all by yourself.

(I'm almost a perfectionist when I have to)

You dislike being told what to do, and get help from others.

(Being told sih bener. Get help?)

You will have hard time as a fresh recruit.

(WADUH?!)

You tend to be not good at reading other peoples minds.

(Hahaha, BENER! Makanya aku nggak cocok dimintai nasihat)

Well, itulah hasil ramalan si doubutsu uranai. It's Scarily accurate! Hehehe...

Wednesday, February 11, 2009

Ospek: Rumput Liar Akademisi ITB

Sudah beberapa hari ini ITB mendadak tenar. Namanya—yang memang sudah besar—disebut-sebut di TV dan koran. Namun sayang, bukan karena ITB baru saja mengirimkan kontingen untuk lomba skala internasional atau menjadi tuan rumah suatu seminar bergengsi, melainkan karena kematian salah satu mahasiswanya. Dan ironisnya, kematian mahasiswa itu terkait erat dengan satu kata yang—saya yakin ini benar—menjadi momok bagi para mahasiswa (dan calon-calonnya): Ospek.

Yup. Kegiatan yang telah dinyatakan dilarang diadakan sejak tahun 2005 ini kembali memakan korban. Korbannya adalah mahasiswa dari jurusan berinisial GD. Penyebab kematian diduga akibat turunnya daya tahan karena kelelahan fisik dan lingkungan yang kurang bersahabat. Padahal, mungkin saja dia ada di antara orang-orang berkostum kotak-kotak yang menenteng carrier besar yang kulihat hari Sabtu lalu.

Dan, mirisnya, pemberitaan media massa membuat seolah-olah ITB-lah penyebab kematian korban. Seolah ITB menjadi IPDN masa kini yang melegalkan ospek berbahaya. Padahal saya tahu persis bahwa setiap mahasiswa angkatan 2007—termasuk saya—menandatangani surat perjanjian di atas materai—yang berarti surat tersebut mengandung kekuatan hukum. Surat tersebut menyatakan bahwa siapa pun yang mengikuti ospek—atau kaderisasi atau apa pun namanya—akan mendapat sanksi dikeluarkan dari ITB. Itu berarti, ITB telah melakukan tindakan preventif sebisanya, sehingga agak tidak bijak kalau ITB-lah yang didiskreditkan.

Ospek memang dilematis. Ospek lekat dengan image perpeloncoan, tekanan mental, push-up, marah-marah, luka, dan seabrek hal negatif lainnya. Bahkan kini ospek terkesan sebagai sarana pamer otoritas dan penyiksaan senior pada junior yang dilatarbelakangi balas dendam karena dulu senior juga diperlakukan begitu. Banyak sekali nada miring mengenai keberadaan ospek, mulai dari celetukan kalau ospek harusnya dihapus, keengganan orangtua mengizinkan anaknya ikut ospek, sampai tindakan kampus yang men-DO semua peserta dan panitia ospek.

Namun, di balik semua nada miring itu, mengapa ospek—yang telah berganti nama menjadi kaderisasi—tetap saja muncul bagai rumput liar? Mengapa ketua himpunan dan seluruh perangkat ospek—mulai dari ketua panitia hingga tim pelaksana—rela mempertaruhkan riwayat akademisnya demi acara ini padahal diskors atau DO membayangi mereka? Mengapa tertanam doktrin bahwa mahasiswa harus ikut ospek?

Saya pernah menanyakan hal ini pada senior saya yang angkatan 2003, dan ia menjawab, “Untuk solidaritas.”

Dan, saya setuju dengan jawaban itu.

Saya sudah pernah ikut ospek beberapa kali, dan memang betul apa yang senior saya katakan. Terlepas dari apakah orang Indonesia memang bermental kuda (dipecut baru jalan), masalah dalam ospek telah diset untuk tak bisa dipecahkan sendiri. Di bawah tekanan, para peserta ospek terpaksa bersatu untuk memenuhi tuntutan senior mereka. Dan, tak bisa dipungkiri, setelah dimarahi semalaman pada malam puncak dan akhirnya dinyatakan resmi masuk himpunan/unit, sense of belonging terhadap himpunan/unit itu pun makin tinggi. Peserta merasa, “Oh, inilah rumah gw, yang udah nerima gw apa adanya, bersama teman-teman dan senior yang sevisi dan senada. Gw akan berusaha keras memajukan ini.”

Selain itu, ospek juga menjadi sarana senior untuk mengajarkan skill yang (dianggapnya) berguna untuk kuliah nanti. Hal ini tampak pada ospek jurusan yang terkait langsung dengan alam, seperti Biologi, Tambang, GD, dan jurusan berprefix geo lainnya. Saya sudah mengalami, ketika diospek, saya harus membangun bivak (tenda darurat dari ponco tentara) dan pada akhirnya harus tidur di dalamnya (percayalah, dingin sekali di sana). Dengar-dengar juga, ospek GD mengharuskan pesertanya membawa makanan untuk seminggu, seolah-olah mereka akan bertahan hidup di hutan sana. Latihan fisik dalam bentuk push-up juga secara tak langsung membentuk tubuh pesertanya agar lebih kuat dan tahan banting saat nantinya terjun ke lapangan.

Namun, ospek tetaplah ospek. Yang ditonjolkan adalah senioritas dan pamer kekuasaan. Beberapa jurusan yang tak terjun ke lapangan latah menerapkan kekerasan yang berlebihan. Dengan dalih penurunan nilai dan menjaga solidaritas, kekerasan seolah dilegalkan. Juga prinsip lama yang menyatakan cowok harus tegar dan tahan banting, tak peduli apa pun yang ditimpakan padanya—hal ini tampak di jurusan surplus cowok yang notabene mayoritas di ITB. Tak heran, beberapa jurusan memiliki junior yang labil emosinya, seperti dikeluhkan beberapa teman saya. Atau kasus kematian yang menggegerkan bumi ganesha ini.

Saya bukan orang yang pro-ospek dengan membeberkan hal-hal di atas. Saya hanya membeberkan nilai plus ospek yang, saya pikir, bisa didapat dari kegiatan lain yang lebih manusiawi. Kalau hanya menurunkan nilai dan menciptakan solidaritas, kerja amal atau semacamnya lebih baik ketimbang tindakan absurd yang berisiko tinggi. Dan lagi, orang tua tentu memasukkan anaknya ke ITB dengan harapan anaknya menjadi akademisi, bukan preman. Oleh karena itu, untuk kakak-kakak senior yang berencana mengadakan ospek—atau apapun namanya—saya harap kakak-kakak mau mempertimbangkan tujuan awal diadakannya ospek. Saya harap ospek diadakan murni untuk mempersiapkan adik-adik juniornya menghadapi hidup yang memang keras, bukan menimpakan dendam masa lalu.

Cheers!