Thursday, November 26, 2009

Reborn

Huff... udah lama banget ya nggak nulis blog lagi... Hampir satu dekade mungkin blog ini ditelantarkan. Bahkan sempat melarikan diri ke tumblr (yang ujung-ujungnya juga ditelantarkan). Fuuuuh...

Anyway, aku di sini mau nulis unek-unek. Bukan keluh-kesah juga sih... cuma bingung aja mau dituangin di mana...

Intinya sih mengenai masa depan. Tadi pagi, waktu pulang dari mesjid habis salat subuh (yeah, akhirnya bisa salat subuh di masjid lagi), tiba-tiba datang sebaris pikiran untuk direnungi. Tiba-tiba aja aku sadar kalau aku kuliah tinggal 3 semester lagi. Wisuda bentar lagi (kalau lulus tepat waktu). Waktu-waktu untuk bersekolah dan bersenang-senang udah mau habis, dan mendadak aku harus--kasarnya--"balikin modal".

Dan, dengan cara apa aku bakal "balikin modal"? Apa yang harus aku lakukan untuk menghidupi diri sendiri dan keluargaku kelak?

Pertanyaanku itu membuatku sadar kalau aku bener-bener nggak punya persiapan pascalulus. Apakah itu kuliah lagi (dengan beasiswa tentunya), cari kerja, atau apa pun lah. Semua opsi itu tetap menjadi opsi, dan sampai saat ini pun aku masih diombang-ambing arus kehidupan.

Bukan tipikal orang yang sukses, eh? hehehe...

Anyway, aku pengen cerita sedikit mengenai back-up planku. Kemarin aku sudah mengambil satu langkah ke arah realisasi "rencana-masa-depan"-ku yang ini. Sekarang sih tinggal nunggu hasilnya. Cuma... kata-kata seseorang membuatku mikir-mikir lagi mengenai planku yang ini.

Dia (D): Fer, kamu ntar mau main sinetron?
Aku (A): Nggak lah. Ngapain? Nggak ada sinetron yang bermutu, kan?
D: Kalau gitu, kamu masih berpikiran pendek.
A: Eh?
D: Kalau kamu berpikiran panjang, kamu pasti ngejar di sinetron dulu. Dengan bermain di sinetron, apalagi yang stripping, kamu bakal dapat duit dan tenar.
A: Stripping? Lah, ntar kuliahku gimana?
D: Kalau kamu pengen serius terjun ke dunia entertainment, kamu harus rela ngorbanin semua yang kamu punya.

And he left me speechless...

Memang bener sih apa kata dia. Nggak cuma dunia entertainment, segala hal pun harus dilakukan penuh pengorbanan agar bisa sukses.

Masalahnya sekarang, apa sih yang ingin aku lakukan sampai-sampai aku rela mengorbankan semuanya demi itu?

Untuk sementara ini, rencanaku masih berusaha apply Journalist Development Program di Metro TV segera setelah wisuda, lalu kerja di sana selama, let's say, lima tahun. Setelah itu, aku akan kembali jadi scholar. Aku bakal cari kuliah, apply S2, jadi dosen, mungkin.

Tapi, untuk melepas kesempatan diwisuda dengan gelar sarjana cap gajah duduk sementara kuliahku tinggal 3 semester lagi? No, sir. Aku nggak siap untuk itu.

Hmm... mungkin udah waktunya aku introspeksi diri. Mencari tahu apa sih yang sebenarnya aku inginkan, apa cita-cita dan tujuan hidupku sebenarnya. Moga2 saat-saat ini belum terlalu terlambat untuk memikirkan hal itu...

Cheers.

Thursday, September 24, 2009

iPersonic

Take the free personality test!

Myself: a Harmony-seeking Idealist

So, another self discovery test. It's pretty accurate too. Here is mine.

Harmony-seeking Idealists are characterised by a complex personality and an abundance of thoughts and feelings. They are warm-hearted persons by nature. They are sympathetic and understanding. Harmony-seeking Idealists expect a lot of themselves and of others. They have a strong understanding of human nature and are often very good judges of character. But they are mostly reserved and confide their thoughts and feelings to very few people they trust. They are deeply hurt by rejection or criticism. Harmony-seeking Idealists find conflict situations unpleasant and prefer harmonious relationships. However, if reaching a certain target is very important to them they can assert themselves with a doggedness bordering on obstinacy.

Harmony-seeking Idealists have a lively fantasy, often an almost clairvoyant intuition and are often very creative. Once they have tackled a project, they do everything in their power to achieve their goals. In everyday life, they often prove to be excellent problem solvers. They like to get to the root of things and have a natural curiosity and a thirst for knowledge. At the same time, they are practically oriented, well organised and in a position to tackle complex situations in a structured and carefully considered manner. When they concentrate on something, they do so one hundred percent - they often become so immersed in a task that they forget everything else around them. That is the secret of their often very large professional success.
Get career advice for the Harmony-seeking Idealist

As partners, harmony-seeking idealists are loyal and reliable; a permanent relationship is very important to them. They seldom fall in love head over heels nor do they like quick affairs. They sometimes find it very difficult to clearly show their affection although their feelings are deep and sincere. In as far as their circle of friends is concerned, their motto is: less is more! As far as new contacts are concerned, they are approachable to only a limited extent; they prefer to put their energy into just a few, close friendships. Their demands on friends and partners are very high. As they do not like conflicts, they hesitate for some time before raising unsatisfactory issues and, when they do, they make every effort not to hurt anyone as a result.
Get relationship advice for the Harmony-seeking Idealist

Adjectives which describe your type: introverted, theoretical, emotional, planning, idealistic, harmony-seeking, understanding, peace-loving, sensitive, quiet, sympathetic, conscientious, dogged, complicated, inconspicuous, warm-hearted, complex, imaginative, inspiring, helpful, demanding, communicative, reserved, vulnerable

Wanna try? It's here
.

Wishlist Mark: 2

Hehehe, gara-gara liat blog sebelah pasang wishlist, jadi pengen nih bikin wishlist juga...

1. Acer Aspire Timeline yang 13 inch. Pertama liat aja udah jatuh hati. Kesannya stylish banget. Poin pentingnya adalah, beratnya ringan (cuma 1 kilogram) dan bisa tahan sampai 8 jam! Cocok banget lah kalau dibawa kuliah tiap hari, hehehehe.

2. IPod Touch 16 GB atau IPod Nano yang 16 GB. Well, I always wanted an IPod since Ellen died (hikshiks). The plan is, if I don't get laptop, I'll buy IPod Touch first, cz the gadget has the ability to use Wi-Fi connection. But if i get laptop, i''l buy IPon Nano and save the rest of my money for something else. Oh, iya, dua-duanya dipilih yang warna hitam.

3. Sennheiser stereo earphone, Bass. Siapa sih yang nggak kenal Sennheiser? Produsen earphone TOP. Makanya, untuk mesin sekelas IPod, pasangannya nggak usah tanggung-tanggung. Hehehe...

4. DVD External biat si Timeline. Iya nih, kelemahan si Timeline adalah nggak ada DVD-nya. Cuma, kalau dipikir-pikir, sekarang kan jarang banget pake media DVD. Biasanya juga download langsung. Jadi, tetep sih jatuh hati sama si Timeline.

5. Swiss Ball. Untuk mencetak perut flat bak papan cuci, wkwkwkw. Kayaknya sih kalau yang ini akan terwujud dalam waktu dekat ini. Walaupun bingung juga mau disimpen di mana sih, hehehe...

6. Esia Ngoceh. Sebenarnya barang ini nggak perlu masuk wishlist, seandainya nggak hilang waktu jalan-jalan ke Toko Tiga di Kosambi. Keluh...

Hmm... apa lagi ya? Udah mungkin segitu dulu. Cheers!

Wednesday, August 12, 2009

Resah

Ketika terucap kata berpisah dari bibirnya,

Haruskah kuyakinkan dia untuk mencintaiku sekali lagi?

Atau lebih baik kulepas dirinya dan mencari hati yang lain?


Bila memang bukan kita yang tentukan

Ke mana arah cinta ini kan membawa

Berikanlah aku satu jalanmu Tuhan

Agar aku mengerti... apa yang kita jalani...

(Maliq n d'Essentials--Dan Ketika)






Tuesday, August 4, 2009

Roadtrip! Psikologi Unpad Jatinangor

Hari ini, ceritanya gw masih dalam masa geje-geje nganggur. Biasalah, liburan. Saking nganggurnya, gw bahkan memutuskan untuk bermain ke tempat yang sebenarnya bukan tempat bermain. Di mana itu? Yap, Unpad Jatinangor, specifically Fakultas Psikologi.

Kenapa Psikologi?

Soalnya, gw memang punya affinity tertentu dengan jurusan ini. In fact, ini adalah jurusan yang tadinya mau gw masukin ke pilihan SNMPTN 2008 setelah FK (dan sampai sekarang gw nyesel kenapa gw nggak milih ini waktu itu). Selain itu, melihat adanya hubungan antara keponakan gw yang (seringkali) baik adatnya dengan fakta bahwa ibunya psikolog, gw jadi bertekad untuk—paling nggak—punya istri dari jurusan psikologi. Daaaan... thanks to keikutsertaan gw dalam program magang Kokesma, gw jadi punya kenalan seorang alumnus Psikologi yang cerdas, rame, baik hati, dan bersedia ngajak gw ke jurusan Psikologi hari ini. Thank you very much, Mbak Putri!

Setelah tadi pagi pergi ke kampus dan gagal mulu membuka situs perwalian online ITB (yang sempet bikin gw deg-degan, kok kayaknya gw nggak dilulusin ya? Soalnya halaman web gw bahkan nggak kebuka, sementara orang2 di sekeliling gw semuanya bisa ngebuka), gw pun beranjak menuju kampus Unpad Dipatiukur. Ada apa di sana? Bis Damri tentu saja, kendaraan yang bisa mengantarkan gw ke Kampus Jatinangor. Di bis, gw sempet SKSD sama cewek yang duduknya di sebelah gw. Namanya Syifa, Fisip Unpad angkatan 2005. She’s nice and cheerful, cuma sayang umurnya di atas gw. Kalau di bawah gw, naksir banget deh. Walaupun akhirnya gw nggak ngobrol banyak sama dia karena ketiduran, sih.

Sampai di Jatinangor, gw sempet bertindak memalukan dengan minta nungguin di Gerbang Unpad yang biasa jadi pasar kaget tiap hari Minggu. Pasalnya, terakhir kali gw ke Jatinangor (Semester 3, sehari sebelum UAS Kimia Organik, inget banget dah), yang gw inget adalah gw turun dari bis di gerbang itu. Nggak tahunya, berhubung proyek jalan tol dan gerbang samping Unpad udah selesai, pangkalan Damri yang dimaksud Mbak Putri berada tepat di samping gerbang Unpad (dan bukan terletak nun jauh di sana seperti yang gw takutkan).

Mbak Putri mengajak gw sedikit memutar karena pintu gerbang untuk kendaraan ada di belakang kampus. Dari situ, gw bisa melihat komplek Unwim yang mungkin akan menjadi kampus gw selanjutnya. Ternyata nggak kalah besar dengan Unpad. Tapi... suasananya agak horor di sana, lengkap dengan gedung-gedung bergaya kuno yang agak tak terawat dan fakta kalau di sana nggak ada siapa-siapa. Perjalanan memutar itu menyadarkan gw kalau mungkin ada baiknya juga kalau ITB pindah ke Jatinangor. Soalnya, suasananya adem, tenang, sejuk, cocok banget deh buat belajar. Walaupun iya juga sih, jadinya jauh dari mana-mana. Tapi kan, walaupun kampus ITB ada di Dago, toh ujung-ujungnya tetep nggak bisa ke mana-mana gara-gara sibuk, kan?

Di dalam kampus, gw diajak muret-muter sama Mbak Putri. Untung Mbak Putri bawa motor, kalau nggak mungkin gw bisa mendadak kurus saking gedenya itu kampus. Unpad Jatinangor itu ternyata dibagi dua, sayap kiri untuk jurusan IPA, dan sayap kanan untuk jurusan IPS. Kalau begitu, kenapa asrama buat anak FK ditaruh di sayap kanan, ya? Gw pun melihat GKU mereka yang nyentrik dan nemplok di sebelah “helipad-look-alike”. Lalu, gw dan Mbak Putri menyudahi tur dan parkir di Fakultas Psikologi.

Kejutan menanti gw ketika sampai di fakultas. Gw disambut oleh BEM-nya doong! Ternyata, Mbak Putri ini orang yang cukup disegani di kampus dan dia ngabarin ke BEM kalau gw mau datang berkunjung. Halah, malu-maluin banget, dikirain perwakilan dari kampus manaaaaa gitu mau studi banding, padahal kan niatnya juga cuma iseng-iseng cari kenalan.

Berhubung sekarang lagi SP, Fakultas Psikologi saat ini sepi banget. Tapi, kurang personel bukan berarti garing, dong. Selama gw di sana, gw ketawa-ketawa terus sampai-sampai kawat gigi gw nyangkut-nyangkut di bibir. Habis, anak-anaknya ngocol banget sih. Ada Kak Rey, satu-satunya cowok dan yang paling tua di situ, bersama pacarnya yang namanya gw lupa. Pacarnya itu tipe gw banget, sayang udah ada yang punya. Terus ada orang Jakarta berambut bob, Evita, yang nggak kalah ngocol. Dan terakhir, ada Nita, yang kayaknya hari itu ditakdirkan jadi objek derita. Kayaknya, ketika Mbak Putri ngabarin kalau gw mau datang, dia yang reaksinya paling heboh sampai-sampai digodain habis-habisan. Quotes of the day, by Kak Rey, “Proyekan kalau jadian lima ratus ribu, kalau nikah lima juta.”

Kita sempet ngobrol-ngobrol lumayan lama di sekre BEM-nya. Gw menjelaskan sistem organisasi di kampus (secara seadanya, mengingat gw nggak pernah aktif di yang gituan. Duh, tengsin banget deh). Nita curhat kalau dia nggak dapet jodoh anak FK padahal kampusnya seberangan. Terus kita diskusi mengenai biaya pendidikan yang makin mahal, dan kenyataan kalau SPP di ITB JAUH LEBIH BESAR ketimbang Unpad. Conclusion of the day: cepat-cepatlah menikah dan punya anak, sebelum biaya sekolah jadi mahal. Hehehe.

Obrolan berlanjut ke kantin di sebelah sekre BEM. Di sana, gw berdiskusi (tepatnya menanyakan arti) mengenai penyimpangan-penyimpangan kejiwaan yang gw kenal, kayak MPD, Skizofrenia, dll, dkk. Akhirnya Mbak Putri membuka kuliah singkat mengenai topik TA-nya, yaitu Resiliensi Mahasiswa yang Menghadapi Ujian Akhir. Resiliensi adalah kemampuan seseorang dalam hal mengembalikan dirinya ke keadaan semula setelah menghadapi masalah. Dan menurut Mbak Putri, resiliensi seseorang bisa ditingkatkan. Wow, apa nggak menarik, tuh?

Akhir kata, kelas pun dimulai dan gw serta Mbak Putri mengakhiri hari dengan duduk-duduk di masjid. Saat itulah Mbak Putri bilang, “Baru kali ini saya ketemu orang kayak kamu.”

Gw menoleh heran. “Eh?”

“Baru kali ini ada orang yang beneran mau ketika saya ajak ke sini, ke lingkungan yang notabene baru banget buat orang itu. Langkah awal yang kamu ambil udah tepat. Sekarang tinggal mencari apa yang kamu inginkan dan buktikan kalau kamu bahagia dengan itu.”

Kata-kata itu bikin gw merenung. Ya. Gw sudah hampir kepala dua, sudah sampai fasa “dewasa” secara psikologis dan gw bahkan belum menemukan apa yang gw inginkan. Gw udah sampai pada fase “butuh-bantuan-pihak-luar-untuk-mengenali-siapa-diri-gw-sendiri”. Dan, Mbak Putri pun menawarkan gw untuk jadi OP (Objek Penderita. Bukan deng, Objek Penelitian). Wow, konseling dan psikotes gratis? Siapa yang nggak ingin? Hehehe...

Akhir kata, gw senang banget hari ini. Dapat teman baru, motivasi baru, dan banyak kesempatan baru (waktunya membongkar naskah-naskah lama gw, kalau begitu). Thank God, for sending all those miracles to me today.

Monday, August 3, 2009

O. U. C. H.

It takes two to start a relationship,

But it takes one to break it.

And a reason such as BORED is as lethal as Cyanide.

(Sorry. Need more time to recuperate than I thought)

Sunday, August 2, 2009

Shindekureru?


Just wanna express how much I love this one cute demon.

BTW, I'm not the creator of this character, and not the creator of this wallpaper either. Although, I have the layout of wallpaper that compliment Alice better in my head right now.

Wednesday, July 29, 2009

TIRED

I’m TIRED of trying to become what you want me to do.

You may tell me it’s my TALENT but no, sir. I want to do it NO MORE.

You may tell me it’s the ONLY way to survive, but hell. I lost my interest I might as well become living DEAD by now.

You may tell other lies about what I did, and what will I do, but sorry. These will stay as lies and false forecast.

I wish to chase my own dream, not the dream that you forced me to chase.

And that’s what happened. And what WILL happen.

I will do what you’d think I won’t do.

I will become what you’d think I won’t become.

These half-taken steps will become stepping stones to acquire the great mantle you mant me to wear.

That might not be the wings I need, but that’s the least I can do to repay your kindness—and one way to acquire my wings.

And, as soon as I got my own wings, I’ll fly.

To a place far away, that even I don’t recognize anymore.

To a place far enough that your fear and insecurity wont affect me anymore.

And be free.

Dedicated to those people who still see me as what I did in my past, and not what I do right now.

P.S. : Can anyone here help me deciphering what’s in the pixelated picture in my profile? It’s supposed to be a projection of my name (Muhammad Ferdyansyah Sechan), but I just can’t make something out of it.

Friday, June 12, 2009

Filthy Rich (Temporarily)

Tampak Belakang
Tampak Depan


How would you feel if, in your hand, there is a million dollar bill? What will you do if you just received ONE million dollar bills? Awestruck? Astonished beyond relief? Thinking that you’re going to be filthy rich? Because it’s ONE MILLION DOLLAR BILL we’re talking about.

And, believe it or not, I’ve been there.

So, here’s the story. My dad suddenly came this evening. He said he needed my aunt’s help—which, in an instant, she said she can’t help—about something related to English. It turns out that he was carrying a million dollar bill—completed with a genuine certificate—that was belonged to an old lady somewhere-or-other, and currently trying to find out how to “liquefy” it (the suitable phrase in Indonesian would be “mencairkan”, but I just can’t find out the exact synonym). This old lady was once worked in USA, and got that bill as payment. And, believe it or not, she has two of them! She said, she just need 1 million and five hundred thousand rupiahs and will give the rest to my dad.

And, in that instant, I was thinking, Wow, I’m going to be filthy rich! I can buy that iPod Touch I’ve been looking for! As you see, one US Dollar is worth eleven thousand rupiahs. Just multiply that number by a million and subtract one million rupiahs for it, that’s the amount of money me and my family will get. My father even thinks of building an orphan house by that money.

One question remains: how can we turn that scrap of paper into a huge heap of money?

Sounds of pessimistic first heard when we found out that the bill was printed in 1988. My aunt then told us that any dollar bill older than 2000 must be spend inside US and is unable to change into another currency outside US. And, she said that the largest printed bill of dollar is only one hundred thousand, not a million.

Filled with curiosity, I read the back of the “exclusive” envelope that enclosed it. And… guess what? It’s not even money! It’s just a limited-edition, collectible item! It is said in the envelope that “The Million Dollar Bill (That’s right. They’d done a great job making this thing sounds so grand) is not genuine U.S. currency, but it could be the catalyst to achieve real wealth.”

Just pay attention to that “real” word on the sentence.
According to the envelope, this is a great present for everyone (making it less likely to be real; who would like to give one million dollar away to anyone?). This bill will also making the receiver feels like he/she is going to be rich soon. As quoted from the envelope, “Your Million Dollar Bill (oh yeah, I’m copying it exactly the same as it was written, and it’s another bold here) is a ‘mental note’ reminding you of what you can have.”

Another attention, please, to the last, bolded phrase.

So, what is it? I don’t know. One thing for sure, this is NOT a REAL million dollar bill. Just some limited-edition, collectible item that won’t turn into a heap of money if brought to money changer. But, it might be worth more that a million with an exact customer.

So, anyone here interested into a uniquely-antique, perfectly-made, limited edition one million dollar bill? Serious collectors (with serious bid of course) please call me in 085624844520. Thank you.

Friday, May 29, 2009

Roseman: Pilot Chapter

I

Sore hari di kawasan utara Bandung[1] yang begitu tenang. Cercah hangat mentari menyinari alam dengan kehangatan terakhir menuju malam. Burung-burung mulai terbang pulang ke sarangnya yang hangat. Sebuah gedung laboratorium berdiri khidmat di tengah pepohonan. Bebungaan berwarna-warni yang mengelilinginya mengangguk-angguk ditiup angin sepoi yang turut membawa serta wangi bunga ke angkasa.

Sungguh tempat yang nyaman dan tenang, bukan?

Bukan. Sayang sekali.

“Risa, ayo sini. Kembaliin jas lab teteh. Itu inventaris kantor, nggak boleh sampai hilang. Ayo, di mana kamu sembunyiin?”

Perkenalkan. Cewek ini bernama Honey—tapi namanya dibaca “Hani”—dan dia adalah salah satu analis di lab tua ini. Ceritanya, dia mengajak kedua adik kembarnya main ke tempat kerjanya—keputusan yang langsung ia sesali. Dia hendak membuang limbah cair hasil analisis hari ini ketika jas labnya tidak ada di meja lab. Dan kecurigaannya mengarah pada Risa, salah satu adiknya yang punya sense of fashion tinggi untuk anak kelas 4 SD dan ribut terus mau memodifikasi jas labnya.

“Umm... Jas labnya di...” Risa berkata lambat dan takut-takut. Habisnya dandanan Honey mirip guru matematikanya: berkacamata tebal dan rambut diikat kuncir kuda.

“Di mana?” tanya Honey tak sabar. “Risa, kalau nggak ngomong sekarang, nanti teteh doain jodohnya bukan ekspat muda ganteng bin kaya lho. Mau nggak? Nggak, kan? Makanya, ayo ngomong! Ngomong!”

“Teteh kenapa?” tanya Risa polos. “Salah makan obat?”

Grrr. Honey geram. Pura-pura polos lagi nih anak. “Ayo cepetan, Risa! Bentar lagi maghrib! Kantor tutup! Jas labnya ada di—RINO!”

Rino adalah saudara kembar Risa, berwujud anak laki-laki berjas lab kedodoran yang kayaknya terbuat dari karet saking hiperaktifnya. Sekarang dia mulai menggeratak lemari berisi peralatan kaca yang (pastinya) mudah pecah. Honey yakin, kalau sampai salah satu alat di situ pecah, bisa-bisa dia harus kerja seumur hidup di lab ini untuk menggantinya. Segera ia menyimpan limbah di kusen jendela, lalu mengejar Rino.

Risa bersungut-sungut, “Tuh, dia tahu jas labnya dipegang Rino.”

“Teteh, ada akuarium bulat kecil! Buat Rino yaaa?!” ujar Rino sambil mengacungkan tabung kaca bulat dari kotak distilasi set.

Honey panas dingin. Distilasi set itu harganya mahal, dan kalau komponennya satu saja pecah, dia harus menggantikan se-set utuh. “JANGAN, RINOOOO!” teriaknya, agak berlebihan. “KASIHANILAH TETEHMU YANG CANTIK TAPI MENJOMBLO INI!”

Heugh, dasar. Sempat-sempatnya promosi segala lagi. Wajarlah Honey masih melajang, bahkan hampir menyandang predikat jomblo perak. Habisnya... *bip*[2]

Rino tak mendengar curhat colongan tetehnya. Dia malah makin semangat berlari mengitari meja lab. Mungkin di kepalanya terputar lagu Pesawatku[3] karena kini dia mulai merentangkan tangannya.

Risa yang lebih dulu sadar. “AWAS KE...”

Namun terlambat. Ujung tangan Rino mengenai gelas kimia tempat limbah zat yang lalu terguling. Isinya tumpah ke luar jendela.

“...na.” Risa menyelesaikan ucapannya.

Dengan penuh horror Honey mendekati gelas yang terbalik itu. Dia tahu apa yang ada di balik kusen itu: sekuntum mawar. Mawar merah besar yang wangi, dan dia baru mekar tadi pagi. Dengar-dengar, mawar ini kesayangan istri bosnya dan varietas ini harus menjalani serentetan perlakuan karantina sehingga harganya jadi mahal sekali. Dan sekarang—Honey melihat dengan takut-takut—mawar itu belepotan warna karat limbah; beberapa helai kelopaknya gugur.

Mampus.

Honey berbalik menatap Risa dan Rino, wajahnya mirip kepala sekolah mereka yang memang galak. “TUH KAN! UDAH TETEH BILANG JANGAN NAKAL! KALAU TADI ADA YANG PECAH GIMANA? TERUS SEKARANG TANAMANNYA JADI MATI, KAN?”

Kedua adiknya hanya bergeming, sedikit bergidik, dan kayaknya nahan pipis. Dalam keadaan biasa, Honey pasti menyuruh mereka ke kamar mandi, tapi kali ini Honey tidak peduli kalaupun mereka ngompol. Kalaupun beneran ngompol, lumayan ada urea buat besok pagi (lho?). Yang aneh, kedua adiknya sama sekali tidak melihatnya, tetapi ke suatu arah di belakangnya.

Marah karena nggak dianggap, Honey teriak lagi, “Kalian liat ke mana, sih?!”

Alih-alih menjawab, mereka malah menunjuk sesuatu di belakang bahu Honey. Ia berbalik.

Dan tercengang.

Di belakangnya, tepatnya di luar jendela, ada seorang cowok berdiri memandanginya. Cowok berkulit putih, berambut merah, dan bermata hijau. Raut mukanya ingin-tahu-tidak-bersalah khas anak-anak, namun tampangnya sudah lepas ABG, paling tidak. Dia begitu tinggi; Honey sampai harus mendongak untuk menaksir umur dari mukanya. Dan ia telanjang dada, tubuhnya menguarkan harum yang begitu memikat namun tak asing.

Tapi dia tak hanya telanjang dada. Mata Honey setengah terhipnotis mengikuti bidang dadanya, perutnya yang datar menjurus six-pack, hingga ke lekuk kembar di bawah perutnya yang menyatu ke...[1]

“Teteh, mau pipis,” ujar Rino.

Ayam jantan berkokok dari seberang jalan[2]. Honey menelan ludah, membayangkan apa yang tersembunyi[3] di balik kusen jendela. Namun, sekonyong-konyong cowok itu melompat masuk kusen dan memeluknya erat-erat. “Aku sukaaa!” serunya panjang.

“GYAAAAAAA! TOLOOOONG! GUA DIPERKOSAAAA!”



[1] Saya permisi dulu ya, mau muntah-muntah. Ada yang punya kresek? Hitam lebih bagus.

[2] Gak nyambung.

[3] Dan tampaknya apapun yang tengah terjadi pada yang tersembunyi itu.



[1] Yang sebenernya masih lima kilometer lagi dari Bandung...

[2] Bagian ini disensor oleh permintaan yang bersangkutan. Ntar kalau ada kesempatan dibeberkan deh...

[3] Jadulnya...

Really Dead... or Deadly Real?

Hari Kamis (28/5), akhirnya gw nonton Angels and Demon. Yeah, emang telat banget sih. Apa boleh buat, orang yang bisa diculik buat nemenin nonton baru free hari itu sih, jam 5 pula. Nontonnya pun di Braga City Walk, yeah. Setelah dulu nggak jadi nonton Spiderman 3 bareng anak-anak Fasor (miss u guys), akhirnya nonton di sini juga. Dan... harga tiketnya cuma sepuluh ribu, lho! What a bargain! Jadinya uang honor ngawas ujian kalkulus pun kepake juga, alhamdulillah nggak harus nambah-nambah. Sering-sering aja nonton di sana kali ya, hehehe...

Well, I’m not here to fanboying this movie. Yeah, this is a good movie, very good indeed. The tension, the action, the pace, everything is perfect. Nobody would turn his/her back on this, I guarantee. Coz it does a good job to sparks viewer’s curiosity and twists their speculation. But, as I said before, I’m not fanboying this movie, not when lots and lots of bloggers are fanboying it right now (oops, I’m late. I’m fanboying it already, am I not?). What can I say is, this movie is a (little more) brighter version of Angel and Demon than the novel (and shorter version indeed). But, I think I’m cool with that.


What sparked my curiosity is, are they murder real people for the sake of this movie? If you already watched this movie, you would know that the murder of four cardinals is the thing that keeps the story on. I won’t tell you by what way the four cardinals are killed, because it would be considered spoiler. But, the way those cardinals are killed are gruesome, and real, especially the second cardinal. How can you explain the bleeding from his lung? An unseen pocket attached to his chest that excreted bloodlike substances? And how do you explain the brands? Makeup?


To tell you the truth, this is not the first time I wondered this. Ever since I was little, I often watch late night war and action movies with my dad. Of course, those movies involve killing in (almost) every scene. And so, I was wondered (but too timid to ask), are those killings real? Maybe, just maybe, the director thinks that death of some walk-ons is necessary to make the film as real-looking as possible. But, I don’t have chance to find out, and that thought remains unanswered until now.


So, anyone knows?

Wednesday, May 27, 2009

Quick Recaps: Last Day of Exams

Akhirnya, last day on exam! Senangnya, akhirnya semester "penuh keringat, darah, dan siksa neraka" (kalau kata salah seorang asisten fismik pas diminta tanda tangannya dulu waktu ospek) ini kelar juga. Semester yang bikin deg-deg syur karena praktikumnya seminggu 3 kali. Malah dirumorkan kalau praktikumnya sampai malam dan kalau salah ngulang. Ternyata, waktu dilakonin, enteng-enteng aja tuh. Walaupun tetep sih ada yang ngulang.

Sekarang kesibukan apa aja nih? Hibernasi. Hehe, nggak ding. Kalau dibandingin waktu semester aktif, jelas jauh banget, cz tiap minggu pasti ada aja laporan yang harus dikerjain. Biasanya data untuk dibahas (a.k.a. data pengamatan) datang sehari-dua hari sebelum deadline, jadi ya cukup memacu adrenalin juga. Dulu sih sempet kesel juga ngerjain laporan. Sekarang, setelah nggak ada laporan, kok hidup ini jadi berasa hampa, ya? (Haha, alesan. Bilang aja udah nggak ada lagi alesan untuk nggak belajar).

Anyway, mau curhat. Udah 2 hari ini (sejak Senin) gw nggak ngampus. Masuk angin kayaknya, demam-demam disertai degradasi feses menjadi fasa gas (hoek). Serius, perut tuh rasanya penuh-penuh nggak jelas gitu, tapi nggak bisa dikuras di kamar mandi. Menuruti saran seorang yang dipercaya (cz dia mengalami hal yang sama hari Sabtunya), gw pun berkenalan dengan Tolak Angin. Ternyata enak lho rasanya, lumayan melegakan tenggorokan.

Tapi, hibernasi gw selama dua hari itu bermanfaat juga, lho! Gw akhirnya punya waktu buat ngulik si Roseman. Yup, naskah novel komedi-parodi yang udah gw rancang sejak TPB, akhirnya terealisasikan pas Semester 4. Dan lagi, idenya lagi ngucur2nya nih. Mumpung lagi semangat, tulis aja sekarang. Target: tamat sebelum semester 5, biar bisa minta Dydil bikin ilustrasinya. Semangat!

Sisi positif lain dari hibernasi gw adalah gw jadi punya waktu buat nontonin MTv. MTv asia loh, bukan MTv Ampuh yang bisa-bisanya ngejadiin K***** **** jadi chart top ten, hehehe. Dan, gara-gara itu, playlist gw jadi ketambahan banyak lagu baru. Salah satu yang paling gw suka adalah The Fray - She Is, yang baru gw padok dari HP si B***. Lagunya agak cengeng sih, menceritakan seseorang yang ditinggalin ceweknya dan meratap2 gitu. Tapi, lagunya enak banget, temponya tenang dan melegakan (jadi, pura2 tuli aja sama liriknya). Berikut ini videonya:




Oke deh. Paling segitu dulu yang mau ditulis. Mungkin menyusul soal project terbaru gw: Roseman dan Putri Melati. Sekarang sih Roseman dulu yang diusahain cepet beres, cz kebayang banget sih ceritanya. Hehehe, smangat liburan!

Cheers!

Sunday, May 24, 2009

Back To High School With 168

Halow, blogku tersayang. Udah lama nih nggak nulis blog lagi. Minggu-minggu kemarin tuh minggu berdarah buat Masyarakat Mikro. Ada ujian-ujian yang pertanyaannya abstrak banget sampai-sampai sibuk jawab apa, deadline dua laporan dalam satu hari, diceramahin dosen gara-gara presentasi asal bikin, banyak banget lah.

Untungnya semua ujiannya udah selesai. Tinggal 1 ujian lagi, biselmol. Itu pun masih hari Rabu. Okeh, ujian itu bahannya banyak banget, dan gw terancam harus hapal seisi babnya supaya bisa survive. Tapi, seperti yang gw bilang, cuma 2 SKS inih. Yang penting lulus (syukur2 kalau terancam B) dan matkul lainnya terancam A (amin). Walaupun kayaknya nggak mungkin sih (keluh).

Anyway, Jumat kemarin kan ceritanya gw ngawas ujian. Biasa, ngedanus buat ke S’pore next January. Gw memilih ngawas ujian Bahasa Inggris karena, selain bayarannya lumayan, anak-anaknya lebih jinak ketimbang anak-anak yang ngambil matkul Bahasa Indonesia semester ini. Tapi, sejauh ini, anak-anak 2008 pada taat aturan, kok. Dan mereka mau duduk berselang-seling bahkan tanpa diperintah. Good boy...

Jadi, sore itu, gw dengan Dimas pun berjalan menuju ruang ujian. Kita berdua sempat penasaran, anak-anak yang bakal kita awasin dari fakultas mana, sih? Kebetulan, gw sama Dimas ngawas ruangan yang bersebelahan, jadinya anak-anaknya masih satu fakultas, dengan kode fakultas 168. Dan, setelah gw tanya, ternyata 169 aalah kode fakultas FSRD. Seni Rupa dan Desain. Wow, kayak gimana ya anak-anaknya?

Sampai di atas, yang nyampe di ruang ujian baru 4 orang, padahal seperempat jam lagi ujian dimulai. Waktu ujian (seharusnya) dimulai, peserta ujian baru datang 16 (dari 24) orang. Ya sudah, karena gw baik, gw memulai ujian jam 4 tepat (ngaret 15 menit dari seharusnya), dan itu pun nggak semuanya datang.

Tadinya, gw sempet agak-agak ragu ngawas anak SR. Bisa nggak yah gw ngehandle mereka? Karena, anak-anak SR itu seolah punya dunianya sendiri. Berdandan nyeleneh, lah. Gimana kalau ternyata mereka lebih susah diatur ketimbang anak-anak fakultas surplus cowok itu? Tapi ternyata mereka anak-anak baik dan adem kok.

Sampai itu terjadi.

Waktu udah menunjukkan jam setengah lima. Gw lihat, beberapa anak udah celingak-celinguk gelisah. Berkaca dari pengalaman, gw menyilakan orang-orang yang udah selesai untuk mengumpulkan dan keluar. Bret, setengah kelas langsung keluar. Wajar, gw pikir, namanya juga ujian Bahasa Inggris.

Yang nggak wajar adalah, bukannya pulang, anak-anak itu malah ngumpul dan ngobrol di depan pintu kelas. Gw sebagai pengawas langsung bertindak, meminta mereka tenang. Kebetulan, ada sepupu gw yang jadi anak SR 08, namanya BD.

Gw: Tolong tenang, ya. Masih ada yang ujian.

BD: Ciyee... gaya euy. Iya, iya. Sip.

Gw balik lagi ke meja gw. Tapi, belum juga gw duduk, mereka ribut lagi.

Suara Dari Luar (SDL): Iiih, masnya ganteng, deh. Ada yang mau kenalan nih, Mas. (Riuh.) UT, anak SR 08, NIM...

UT? Gw tahu anak itu. Dia anak yang suaranya nyaring banget pas ngobrol, jadi gw tahu anaknya yang mana. Gw sempet komentar juga kalau tanda tangannya unik.

UT: Iih, kalian apa-apaan sih?

Tiba-tiba, ada cowok baju kuning nyelonong masuk sambil bawa tas warna-warni. Tasnya si UT. Gw cengo. Di luar ribut lagi, si UT ber-eh-kalian-tega-amat-ama-gw dengan keras. Gw berjalan ke pintu, dan disorakin anak-anak SR.

SDL: UT... tuh dicariin sama kakaknya. Kenalan atuh.

UT: (off screen) Ogah ah, malu...

Jiaah... berasa anak SMA. Gw bingung harus ngapain, sumpah. Habisnya, itu kan fans pertama gw (sok ngartis).

Si Cowok Kuning (CK) masuk lagi. Kali ini tasnya si UT ditaro di meja pengawas. Mampus, apa-apaan lagi ini? SDL riuh lagi. Kali ini mereka berkomplot menyeret UT masuk. Yang bersangkutan langsung freeze pas tahu tasnya ada di meja pengawas.

UT: Tas gw balikin dong...

CK: (Menyorongkan tasnya ke tangan gw) Kakak, kasiin dong tasnya UT...

Gw: (nggak ngomong apa-apa. Si UT mendekat dan narik tasnya dari tangan gw)

SDL: Cie-cie.... kenalan dooong!

Jiaaaaah.... jadi begini ya rasanya ketemu fans? Wakakakakak...

Tapi itu belum selesai, lho. Akhirnya si UT masuk lagi.

UT: Mereka jahat banget tuh kak. Kenalin, UT. (ngulurin tangan)

Gw: (menjabat tangan UT) Euh, Iya...

Dan, sebelum gw menyebutkan nama gw, si UT keluar dengan tampang malu-malu kucing. Di luar, gw denger dia nanyain nama gw ke salah satu temennya. Dan, salah satu suara (gw yakin BD) nyebutin nama gw. “Nggak sama jurusannya sekalian?” tanyanya? Dan UT nggak ngjawab.

Heheeh, bodor. Berasa waktu SMA dulu, AADC.

That’s all folks! Cheers!

Tuesday, April 28, 2009

Littel Devil Named Ciko

Haa... udah lama yah nggak nulis di Blog. Bukannya malas, tapi nggak sempat. Minggu-minggu kemarin memang badai UTS-UTS dan laporan-laporan. Kalau tulisan gw makin lama makin rapi dan halus, berarti memang wajar, wong ujian dan laporannya tulis tangan semua. Hehehe...

Anyway, who is this little devil named Ciko? He's a little prince from hell (namanya juga devil). Nggak deng. Ciko is a kitten, my household-assistant's (a.k.a. asisten rumah tangga). Ceritanya, setelah kematian Komeng, dia merindukan kehangatan seekor kucing (lho?). Kebetulan ada anak kucing--entah ngebrojol dari mana--yang akhirnya diadposi oleh dia, which is ciko. Ciko ini cukup lucu untuk ukuran anak kucing (emangnya ada anak kucing yang nggak lucu?). Warnanya abu-abu lumut, bulunya lumayan mengembang (kayaknya induknya kucing ras), dan matanya belo (yang bikin dia makin lucu). Sayangnya, mungkin karena masih anak kucing, Ciko ini lumayan sangat hiperaktif. Kalau dikurung, menjerit-jerit minta keluar. Sekalinya keluar, lari sana-sini sampai-sampai potensial-ketendangnya sangat tinggi.

FYI ajah, Komeng itu adalah kucing (kampung juga) yang kerjaannya hamil. Dan, kalau udah hamil, hobinya loncat lewat jendela kamar gw (yang memang menghadap ke jalan) dan masuk seenaknya ke lemari pakaian gw, mungkin nyari tempat buat melahirkan. Yah, agak nyebelin juga sih,memangnya ada apa dengan lemari gw?!

Oke, balik lagi ke Ciko. Hari ini, asisten rumah tangga yang merangkap tuannya Ciko lagi pulang kampung (dia memang pulang kampung setiap dua minggu sekali). Berhubung tuannya nggak ada, Ciko dikurung di kandang, dan dia nggak henti-hentinya mengeong. Mungkin karena kasihan, Bibi gw pun menyuruh gw untuk melepaskan si Ciko di taman tengah rumah. "Bisi pamali," kata beliau.

Ya sudah, sebagai keponakan yang berbakti, gw pun naik dan mengeluarkan Ciko dari kurungan. Sebenarnya sih, gw juga pengen megang-megang Ciko. Lagian, ada riset yang menunjukkan kalau mengelus hewan peliharaan dapat menurunkan tingkat stres, dan gw merasa stressful akhir-akhir ini. Gw pun dengan santainya menurunkan si Ciko di taman tengah rumah gw. Lucu juga lihat dia ngendus-ngendus daun atau ngintip isi tempat sampah. Kemudian panggilan alam menerpa gw; gw pun pergi ke kamar mandi.

Dan, pas gw balik lagi, SI CIKO ILANG!

Degg, mampus gw. Gimana juga, si Ciko dititipin ke gw. Kalau sampai si Ciko kenapa-napa, bisa-bisa asisten rumah tangga gw nangis bombay lagi. Bibi gw juga sama hebohnya waktu tahu si Ciko ilang. Kita berdua pun kompakan nyari si Ciko; gw nyari di taman, dan si Bibi nyari di bawah tangga.

"Coki, coki, coki!" panggil Bibi sambil ngdek-ngudek kotak sepatu.

"Namanya Ciko, wa," koreksi gw.

Arrghh... kenapa harus ada anak kucing yang main petak umpet dan bikin sport jantung sekarang? Sementara ada slide presentasi fismik setengah jadi yang terus memanggil-manggil gw untuk membereskannya, dan laporan-laporan terakhir yang deadlinenya udah mepet. Huff, gw menyibak rumput-rumput hias dengan kaki, kalau-kalau si ciko ada di sana. Gw negbungkuk-bungkuk ngintip di bawah kursi. Gw bahkan keluar dan mondar-mandir di teras kalau-kalau tuh anak kucing keluar.

Dan ternyata si anak kucing ada di lantai 2, dong! Kok bisa, ya? Padahal tangga di rumah gw adalah tangga kayu yang mirip-mirip grafik fungsi distribusi (halah). Belum lagi jarak antar anak tangga itu lumayan tinggi. Hebat juga dia bisa naik tangga itu dan nyampe ke atas.

Akhirnya, karena semua orang udah kapok ngelepasin dia (dan sport jantung lagi), si Ciko pun dikurung lagi di atas (Dan meong-meongan lagi samapi sekarang). Oh ya, bagi yang penasaran sama si Ciko, ini dia nih fotonya:

Tuesday, March 10, 2009

Lagi geje dan pengen nyampah di blog...

Another Tuesday. Another lab day...

Heugh...

Gw merasa tampil beda hari ini, tapi gw ragu ada orang yang nyadar. Yup, proses makeover gw hari sabtu kemarin ternyata lumayan sukse. Okelah, dari dulu gw suka berambut mohawk, tapi dari dulu juga gw udah pake rambut mohawk. Dan toh orang-orang pada nggak nyadar juga.

Masalahnya sih bukan itu, tapi fakta kalau rambut gw harus dijinakkan dengan wax biar nggak kayak "cowok-pucat-baru-bangun-tidur-dan-siap-pingsan". Dan gw nggak begitu suka pake wax. Wax bikin kepala gatal, panas, dan membuat jejak-jejak putih aneh di dahi kalau gw sampai keringatan (tau sendiri kan gw suka banget jalan kaki).

Itu artinya, gw nggak pernah pake wax kecuali dalam keadaan yang mengharuskan gw tampil 100%. Dan, gw rasa, gw harus tampil 100% di hari ini.

Oh, bukan. Gw nggak berdandan untuk praktikum, kok. Ngapain juga, lagian? Sebagian besar cowok dan udah pada tua juga (jahatnya gw, wkwkwkwkw). Gw kira gw bakal diajak ngecengin anak kampus tetangga sama seseorang, makanya gw mau tampil beda.

Dan seseorang itu, sampai sekarang, nggak ngontak gw sama sekali. Heugh.

Pas Zuhur nanti cuci rambut ah...

Anyway, gw lagi bingung sekarang. Gw dihadapkan pada pilihan yang, bisa dibilang, hanya gw yang harus tentukan. Karena, kalau gw meminta saran orang tua gw, gw yakin mereka pasti menolak--atau memaksa gw untuk menolak. Heugh, padahal gw ingin mengambil pilihan itu, tapi gw takut akan kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin muncul karena gw kini nggak di-back up sama keluarga gw lagi. Paranoid? Entahlah...

Heugh, sekarang gw nganggur sampai praktikum, dengan jurnal Fismik di tangan asisten dan modul fismik ilang di lab. Entahlah apa gw bisa dapat nilai bagus buat tes awal nanti...

Intinya: butuh teman curhat sekaligus tempat pengakuan dosa... ada yang minat?

Sunday, March 8, 2009

Opera Ganesha: Klimaks Kedigjayaan Civitas ITB

Ini Dia nih, tiket yang cuma dilepas 400 biji ke Mahasiswa... Unfair!

Opera Ganesha. Sebuah acara yang membuat penasaran civitas kampus selama seminggu lebih rangkaian Dies Emas ITB. Sebuah even klimaks dari perayaan kedigjayaan kampus ganesha. Sebuah opera luar biasa ber-tagline “Napak Tilas Gajah Kencana Meniti Kala”.

Saat balihonya pertama dipasang di depan gerbang ganesha, saya sudah kebelet ingin nonton. Pasti rame banget, nih. Apalagi setelah mendengar desas-desus dari teman-teman yang bermain peran di sana. Untungnya saya berhasil mencomot satu dari lima tiket yang dikirim ke rumah—walaupun akhirnya yang dipakai cuma tiga tiket (keluh).

Waktu sampai di Sabuga Minggu malam (8/3), saya benar-benar kagum. Disambut oleh resepsionis yang rapi-rapi dalam dandanan serbahitam, saya—dan paman serta bibi saya—digiring menuju lorong berisikan foto-foto. Ada foto kampus masa kini, foto hitam putih yang mungkin diambil saat pemerintahan Soekarno, foto berwarna berisikan orang-orang dengan dandanan eighties… saya ingin melihat-lihat, namun juga tak sabar ingin menonton operanya.

Kami dapat bangku di jajaran tengah, dereta paling depan. Entah beruntung entah sial. Namun aku nggak bisa protes, karena bangku lain yang tak terisi hanya di jajaran samping. Aku jadi ingat akan keluhan temanku yang menyayangkan dirinya tak dapat tiket masuk padahal dia penari.

Pukul tujuh lebih—hampir setengah delapan—acara dibuka. Panggung dipenuhi hiruk pikuk layaknya di peron, didukung oleh layar yang menayangkan gambar kereta api. Ada penjaga peron yang berdiri di tengah, ekspat yang menggandeng istrinya, none belanda yang belanja gulali, tukang sapu, pengemis. Seorang ibu hamil yang ditinggal suaminya hilir mudik di depan bangku penonton, begitu pula seorang penjual balon. Aku kenal ibu hamil dan penjual balon itu, namun sayang aku nggak dapat balon (wkwkwkwkwk).

Narator mengumumkan keberangkatan kereta. Layar menjadi redup, dan menayangkan gambar gajah-gajah tengah berlari. Tampaknya gajah menjadi simbolisme civitas ganesha, atau bahkan ITB itu sendiri, karena sesaat kemudian rombongan penari berkostum kuning dan bertopeng gajah mulai memasuki panggung. Sang konduktor, Purwacaraka, mengangkat batonnya, dan lagu khas orkestra yang membahana pun mengalun memenuhi jagat Sabuga.

Keluhan teman saya pun terjawab. Para penari tidak memerlukan undangan, karena mereka menari sepanjang pertunjukan. Tarian mereka seirama dengan lagu, sesuai dengan tema yang ingin disampaikan konduktor dan narator. Mereka terus menari, kadang lincah, kadang ceria, kadang menghentakkan kakinya penuh amarah. Bagai dikomando oleh lagu, mereka terus bergerak selama scene-scene perlambang perjalanan ITB tersebut.

Berbagai macam musik mengalun, sesuai dengan tema bagian itu. Saat peresmian ITB untuk pertama kalinya, lagu yang dimainkan adalah lagu di panggung broadway yang ceria. Tari kecak dijadikan perlambang masa kelam G30S(PKI), dan para penari menghentakkan kakinya seolah sedang berperang. Ketika datang masa tenang, PSM ITB menyanyikan lagu “Naik Delman” yang diaransemen ulang dan para penari bertingkah bagai anak kecil menari riang. Lagu menegangkan kembali mengalun saat bagian “Menjatuhkan Rezim Soeharto” dan dua barongsai-berkepala-gajah dengan lincahnya berusaha saling menjatuhkan (salah satu gajah berwarna kuning dan lainnya merah, simbolisme?). Dan, untuk melambangkan masa kini yang penuh kreasi, lagu-lagu ceria kembali mengudara dan para penari kembali melakukan tarian-tarian sederhana dan modern. Ada breakdance segala, lho! Dan sumpah, itu keren banget!

Acara akhirnya ditutup dengan gegap gempita. Seluruh pihak yang menjadi tulang punggung acara ini mendapat karangan bunga dari orang-orang penting civitas ganesha. Tampak kepuasan dari mata setiap partisipan, terutama para penari. “Kita latihannya udah lama banget, nggak ada yang mau turun dari panggung,” ujar seorang teman, Inta, yang tampak begitu bahagia. Bravo civitas ganesha! Bravo opera ganesha! Bravo untuk kita semua!

Sunday, February 15, 2009

Alay

Tadi pagi, ketika baru bangun tidur dan buka Facebook (kebiasaan yang mulai mengakar akhir-akhir ini), ada notification yang "nyentil" banget. Notification itu berbunyi, "[Nama teman saya] has joined group Fight Indonesian Alay".

"Indoesian Alay". Sungguh frasa yang menggelitik. Soalnya, kata "alay" adalah kata yang baru dipopulerkan akhir-akhir ini dan--sayangnya--semua orang yang saya tanyakan nggak tahu artinya apa. bahkan saya sendiri suka menggunakan frasa "band alay" (tahu lah merujuk ke mana) dan kebingungan kalau ditanya apa arti alay itu. Karena itulah saya meng-klik halaman group itu dan menemukan bahwa alay itu... klik sendiri di sini deh.

Heugh, mau tak mau saya merasa (agak) tersindir. Soalnya poin nomor 3 itu "gw banget". Yang kenal saya pasti tahu kalau saya tak lepas dari headset (halah, yang di Facebook itu nulisnya salah) Philips atau SE yang selalu saya gantung di leher saya. Dan, lebih parahnya lagi, kadang saya suka over-menjiwai kalau denger musik pakai headset (terutama Rihanna-Disturbia). Tapi, kalau ada yang iseng lirik playlist saya, maaf saja, tidak ada Kangen Band atau ST12 di situ (meng-counter poin 19). In facts, saya sangat sedikit menyimpan lagu Indonesia di HP/MP3 player (dan seringnya sih nggak saya dengar) dan kebanyakan lagu-lagu keluaran 2000-an. Jadul nggak sih itu?

Anyway, mengenai arti kata alay sendiri, saya punya teori tersendiri. Alay asalnya cuma suatu kumpulan huruf yang nggak punya arti. Mungkin itu cuma celetukan orang iseng yang jago menciptakan istilah baru yang kemudian menyebar dan memopuler. Kenapa Alay? Mungkin karena berrima dengan "jijay" dan "lebay", seperti karakteristik orang-orang yang dicap alay.

Seperti yang harus saya lakukan ketika bikin laporan, saya tentu harus meng-kroscek hipotesis saya dengan literatur (halah). Karena di kamus terbitan tahun 90-an tidak mungkin ada kata ini, satu-satunya sarana yang mungkin adalah internet. Dan saya menemukan list arti kata alay di sini, yang simpulannya adalah alay = kampungan dan norak.

Dan saya ngakak mampus sekaligus kasihan sama orang-orang alay. Kasihan, mereka jadi stranger dan outsider masa kini, terlepas dari niat mereka yang mungkin mulia sepereti pengen eksis. Hakhakhakhak...

Sedikit intermezzo, ketika saya pertama kali mendengar lagunya Kangen Band, saya kira boyband malaysia (yang dulu populer dengan lagu Gerimis Mengundang) mulai menginvasi Indonesia dengan konsep baru. Betapa tidak, lagu yang nggak jelas genrenya (pop-rock tapi bercengkok dangdut), syair yang miskin dan sering diulang, petikan gitar efek yang kadang fals, semua itu bikin saya berharap punya headset baru (headset saya rusak waktu itu) dan menduga bahwa tukang angkot berkomplot menguasai dunia lewat lagu-lagunya Kangen Band (yang kalau didengarkan oleh orang seperti saya lima menit saja bisa bikin kejang-kejang).

What's wrong with those alays? Well, believe it or not, they're just different.

And annoying. Bagi beberapa orang.

In the beginning, maybe they're just a bunch of people, normal people, who think that they're unacknowledged. Mereka merasa, kalau mereka normal, mereka nggak akan dapat perhatian yang mereka inginkan. Sehingga mereka mengubah citra dirinya untuk berbeda dan (sukur-sukur kalau) stand out. Yang cowok menjadi agak emo (seperti yang memenuhi Jalan Dago dekat Aquarius kalau malam minggu) dan yang cewek mengira kalau mereka menjadi lebih "kanak-kanak" (tercermin dari cara bicara mereka yang mirip balita), mereka akan tampak lebih cute. Tentu saja hukum kebalikan berlaku di sini (dan pelakunya bakal mendapat tatapan dan cap aneh dari masyarakat).

Sayang sekali, penampilan saja ternyata nggak cukup. Menyitir salah satu Aesop's Fables, Outer beauty is a poor substitute for inner worth, mereka mungkin nggak cukup knowledgeable untuk menjadi masyarakat normal. Karena itu, mereka melakukan segala cara untuk menarik perhatian, dan buta akan kenorakan yang timbul akibat perbuatan mereka. Misalnya meng-add atau memaksa orang meng-add mereka di friendster--yang memang gudangnya alay dan ketidak jelasan, memajang "teman-keren" dan memperbanyak comment di (lagi-lagi) FS, dan bahkan tindakan negatif seperti cari ribut. Kalau itu tidak cukup juga, mereka akhirnya bikin komunitas sendiri dan me-reject orang-orang yang berbeda dengan mereka.

Tindakan "cari-perhatian" itulah yang membuat kesal orang-orang non-alay. Siapa yang nggak kesal kalau tiba-tiba ada orang asing meng-add akun FS-nya padahal dia sudah bertekad akan memasukkan hanya kenalannya ke dalam friend list-nya? Belum lagi kalau orang asing itu berkali-kali mengirimkan komen bertuliskan, "uiyyyy, kOq cMa pHiIiew? aDd dUnkzz" yang selain bikin sakit mata juga menuh-menuhin comment saja.

Sebenarnya, secara garis besar, ini hubungan timbal balik. Orang-orang yang terganggu me-reject alay, dan alay balik me-reject mereka. Seperti group yang dimasuki teman saya dan tandingannya di sini. Ini nggak akan selesai kalau tidak ada saling pengertian dari kedua pihak.

Atau mungkin ini sudah di-plot untuk tidak akan selesai? Hmm... interesting. I smelled something in here...

Yeah, I smelled something. My own body odor. Ketahuan deh belum mandi. Wuekekekek...

In the end, bagi yang nggak suka alay, bersiaplah untuk menahan diri. Karena virus alay sudah mulai bermultiplikasi dan bahkan menginfeksi Facebook. Bagi para alay, tolong yah, mental Friendster-nya jangan dibawa ke Facebook. Ngeganggu soalnya.

Cheers.

PS: One question remains. Apakah saya alay? (berharap bukan)




Friday, February 13, 2009

Color Checking Result

Iseng-iseng nyoba ini karena banyak banget notes berseliweran tentang ini. Jadi penasaran, dong aku? Hehehehe....

Oia, kalau mau juga, bisa klik di sini

Entry: Muhammad Ferdyansyah Sechan, Male, 13-10-1989

Dan inilah hasilnya (jengjengjengggggg):

Muhammad Ferdyansyah Sechan

13/10/1989

You are Red Tiger, who is not shy, and are able to keep rock-steady stance to whoever approaches you.

(Haha, bener nih? Memang aku menyikapi orang dengan cara yang berbeda-beda sih)

Your looks represent your characteristic, and you look good natured.

(Berarti characteristic aku pun good natured dong? Memang sering divonis orang baik sih)

Nevertheless, there are delicate, sensitive and intelligent sides to you.

(Delicate? Sensitive? Wah, bener gak sih? Yang jelas emosiku memang nggak stabil sih)

And you sometimes give an impression of being difficult to get to know.

(Hahaha, iya ya. Mungkin itulah sebab aku jarang disapa orang. Heuheu...)

You have high self esteem and you carry out thing on your own pace.

(Salah satu aplikasinya adalah nggak suka diatur. Bener nggak?)

You have strong will power and are a person of mettle.

(Strong Will? Amin... BTW, What does mettle mean?)

You can finish fatigue duties like putting together a plastic model, even if takes ages.

(Haha, beneran nih?)

But you demand the same effort from those around you.

(Nggak juga ah. Emang sih agak bete sama orang-orang yang lelet)

You tend to be too critical, and may be seen as a nagging person.

(Pantesan tukang jualan rada-rada ilfil, soalnya nanya-nanya mulu sih...)

You think high of your points of view.

(Hahaha, egois banget yak?)

You only judge others with your scale.

(Memang sih)

You can be hard minded and obstinate person, as you tend to stick to your opinion and not change it easily.

(Haha, my mama told me that)

But really, you are able to look at situation as a whole, and are a well-balanced person.

(Well-balanced? Librans?)

You tend to be good at putting together the plans and ideas of your fellow workers.

(Yep. Harus ada ide awal yang bisa aku kembangkan)

You are not very good at planning from the beginning and coming up with ideas.

(TEPAT SEKALI! Aku suka bingung kalau disuruh ngasih ide awal)

You wish to succeed and carry out things all by yourself.

(I'm almost a perfectionist when I have to)

You dislike being told what to do, and get help from others.

(Being told sih bener. Get help?)

You will have hard time as a fresh recruit.

(WADUH?!)

You tend to be not good at reading other peoples minds.

(Hahaha, BENER! Makanya aku nggak cocok dimintai nasihat)

Well, itulah hasil ramalan si doubutsu uranai. It's Scarily accurate! Hehehe...