Showing posts with label curhat. Show all posts
Showing posts with label curhat. Show all posts

Tuesday, April 28, 2009

Littel Devil Named Ciko

Haa... udah lama yah nggak nulis di Blog. Bukannya malas, tapi nggak sempat. Minggu-minggu kemarin memang badai UTS-UTS dan laporan-laporan. Kalau tulisan gw makin lama makin rapi dan halus, berarti memang wajar, wong ujian dan laporannya tulis tangan semua. Hehehe...

Anyway, who is this little devil named Ciko? He's a little prince from hell (namanya juga devil). Nggak deng. Ciko is a kitten, my household-assistant's (a.k.a. asisten rumah tangga). Ceritanya, setelah kematian Komeng, dia merindukan kehangatan seekor kucing (lho?). Kebetulan ada anak kucing--entah ngebrojol dari mana--yang akhirnya diadposi oleh dia, which is ciko. Ciko ini cukup lucu untuk ukuran anak kucing (emangnya ada anak kucing yang nggak lucu?). Warnanya abu-abu lumut, bulunya lumayan mengembang (kayaknya induknya kucing ras), dan matanya belo (yang bikin dia makin lucu). Sayangnya, mungkin karena masih anak kucing, Ciko ini lumayan sangat hiperaktif. Kalau dikurung, menjerit-jerit minta keluar. Sekalinya keluar, lari sana-sini sampai-sampai potensial-ketendangnya sangat tinggi.

FYI ajah, Komeng itu adalah kucing (kampung juga) yang kerjaannya hamil. Dan, kalau udah hamil, hobinya loncat lewat jendela kamar gw (yang memang menghadap ke jalan) dan masuk seenaknya ke lemari pakaian gw, mungkin nyari tempat buat melahirkan. Yah, agak nyebelin juga sih,memangnya ada apa dengan lemari gw?!

Oke, balik lagi ke Ciko. Hari ini, asisten rumah tangga yang merangkap tuannya Ciko lagi pulang kampung (dia memang pulang kampung setiap dua minggu sekali). Berhubung tuannya nggak ada, Ciko dikurung di kandang, dan dia nggak henti-hentinya mengeong. Mungkin karena kasihan, Bibi gw pun menyuruh gw untuk melepaskan si Ciko di taman tengah rumah. "Bisi pamali," kata beliau.

Ya sudah, sebagai keponakan yang berbakti, gw pun naik dan mengeluarkan Ciko dari kurungan. Sebenarnya sih, gw juga pengen megang-megang Ciko. Lagian, ada riset yang menunjukkan kalau mengelus hewan peliharaan dapat menurunkan tingkat stres, dan gw merasa stressful akhir-akhir ini. Gw pun dengan santainya menurunkan si Ciko di taman tengah rumah gw. Lucu juga lihat dia ngendus-ngendus daun atau ngintip isi tempat sampah. Kemudian panggilan alam menerpa gw; gw pun pergi ke kamar mandi.

Dan, pas gw balik lagi, SI CIKO ILANG!

Degg, mampus gw. Gimana juga, si Ciko dititipin ke gw. Kalau sampai si Ciko kenapa-napa, bisa-bisa asisten rumah tangga gw nangis bombay lagi. Bibi gw juga sama hebohnya waktu tahu si Ciko ilang. Kita berdua pun kompakan nyari si Ciko; gw nyari di taman, dan si Bibi nyari di bawah tangga.

"Coki, coki, coki!" panggil Bibi sambil ngdek-ngudek kotak sepatu.

"Namanya Ciko, wa," koreksi gw.

Arrghh... kenapa harus ada anak kucing yang main petak umpet dan bikin sport jantung sekarang? Sementara ada slide presentasi fismik setengah jadi yang terus memanggil-manggil gw untuk membereskannya, dan laporan-laporan terakhir yang deadlinenya udah mepet. Huff, gw menyibak rumput-rumput hias dengan kaki, kalau-kalau si ciko ada di sana. Gw negbungkuk-bungkuk ngintip di bawah kursi. Gw bahkan keluar dan mondar-mandir di teras kalau-kalau tuh anak kucing keluar.

Dan ternyata si anak kucing ada di lantai 2, dong! Kok bisa, ya? Padahal tangga di rumah gw adalah tangga kayu yang mirip-mirip grafik fungsi distribusi (halah). Belum lagi jarak antar anak tangga itu lumayan tinggi. Hebat juga dia bisa naik tangga itu dan nyampe ke atas.

Akhirnya, karena semua orang udah kapok ngelepasin dia (dan sport jantung lagi), si Ciko pun dikurung lagi di atas (Dan meong-meongan lagi samapi sekarang). Oh ya, bagi yang penasaran sama si Ciko, ini dia nih fotonya:

Tuesday, March 10, 2009

Lagi geje dan pengen nyampah di blog...

Another Tuesday. Another lab day...

Heugh...

Gw merasa tampil beda hari ini, tapi gw ragu ada orang yang nyadar. Yup, proses makeover gw hari sabtu kemarin ternyata lumayan sukse. Okelah, dari dulu gw suka berambut mohawk, tapi dari dulu juga gw udah pake rambut mohawk. Dan toh orang-orang pada nggak nyadar juga.

Masalahnya sih bukan itu, tapi fakta kalau rambut gw harus dijinakkan dengan wax biar nggak kayak "cowok-pucat-baru-bangun-tidur-dan-siap-pingsan". Dan gw nggak begitu suka pake wax. Wax bikin kepala gatal, panas, dan membuat jejak-jejak putih aneh di dahi kalau gw sampai keringatan (tau sendiri kan gw suka banget jalan kaki).

Itu artinya, gw nggak pernah pake wax kecuali dalam keadaan yang mengharuskan gw tampil 100%. Dan, gw rasa, gw harus tampil 100% di hari ini.

Oh, bukan. Gw nggak berdandan untuk praktikum, kok. Ngapain juga, lagian? Sebagian besar cowok dan udah pada tua juga (jahatnya gw, wkwkwkwkw). Gw kira gw bakal diajak ngecengin anak kampus tetangga sama seseorang, makanya gw mau tampil beda.

Dan seseorang itu, sampai sekarang, nggak ngontak gw sama sekali. Heugh.

Pas Zuhur nanti cuci rambut ah...

Anyway, gw lagi bingung sekarang. Gw dihadapkan pada pilihan yang, bisa dibilang, hanya gw yang harus tentukan. Karena, kalau gw meminta saran orang tua gw, gw yakin mereka pasti menolak--atau memaksa gw untuk menolak. Heugh, padahal gw ingin mengambil pilihan itu, tapi gw takut akan kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin muncul karena gw kini nggak di-back up sama keluarga gw lagi. Paranoid? Entahlah...

Heugh, sekarang gw nganggur sampai praktikum, dengan jurnal Fismik di tangan asisten dan modul fismik ilang di lab. Entahlah apa gw bisa dapat nilai bagus buat tes awal nanti...

Intinya: butuh teman curhat sekaligus tempat pengakuan dosa... ada yang minat?

Tuesday, January 13, 2009

Me Against the Distro

What a provocative title, eh? Well, it wont hurt to do that once in a while, right? For all of you distro-lovers out there, just read my passage to know why, ok?

Here goes.

Distro. What in the world is this? It is the short of "distribution store", meaning, it's a store to distribute things. Or, to be more accurate, a store to distribute things that are made by the owner of the store (taken by wikipedia); those things are usually wearable like jacket, t-shirt, watch, shoes, you name it.

According to wikipedia, distro trends begin at 1990 as a way for indie band to sell their merchandise (maybe for raising funds). And some punk and skateboard community followed this trend; they built small shop to sell some merchandise. In 2007, there were 700 distro industries and 300 of them were in bandung. Wow, such big number, and almost half of them are in bandung. That shows how creative bandungers is, eh? (such narcissist I am)

Distro's plus point is their exclusiveness, because their products are produced in a limited number (not mass produced like factory-made garment). Another distro's plus points is their product's uniqueness, as in the printout of their t-shirt or the design of their jacket.

And, believe or not, this second plus point is what attracted me most.

Yes, I know. The title suggest that I hated distro. But, no. I don't hate distro. In fact, I'm in awe with them.

Correction: I'm in awe with their creativeness and uniqueness. There's something that catch your eye in their products and that "something" is not existed in mass-produced garments. It satisfies my needs of "be different", "be unique", and "be standout". To name one, it will be "Unkl347" and OUVALRSCH. They're the best i've met so far.

But,for some reason, I do hate distro. Because of its unfriendliness to big-bodied-boy like me. I'm 180/70. That means, the size that fit me well is XL. And, finding XL-sized in distro is like finding a grain of salt in the desert (if that makes sense, i made that up), it's hard to find one.

Just wanna tell stories, a year ago I fell in love with one of the unkl's jacket. It was typical brown, army-look jacket, but the design captivates my eye. But, when I was going to buy that, the shopkeeper said that the only size available is S. Of course it's in possible to fit me in that size, so I gave up on that. But, first love remains, and it makes me harder to choose which jacket to buy because I'm still loving that one jacket.

So, if any of you distro managers read my passage, please, be more friendly with big-bulky-bodied person like me. Ok?

Cheers!

Monday, December 8, 2008

Kursi Neraka

Oke... sebelum gw mulai postingan kali ini, gw musti klarifikasi satu hal: gw bukan kursi-filik, apalagi fetishee kursi. Bagi gw, kursi adalah benda biasa yang diciptakan untuk kemaslahatan umat manusia.

Kecuali mungkin kursi yang menjadi bintang utama postingan ini.

Semua orang di dunia ini--paling nggak di Indonesia--pasti pernah pergi ke Mall, kan? Tentu tahu kursi pijat otomatis yang suka ada di tiap mall. Yang pramuniaganya suka ngasih kesempatan undian, terus mendadak ujiannya "kena" dan kita boleh bawa barang yang kita "kena" itu dengan seabrek persyaratan yang intinya nyuruh kita beli di situ. Biasanya ayah suka memanfaatkan kesempatan "trial" itu untuk dipijat gratis. Dan gw... jujur aja... menatap iri. Kayaknya enak deh dipijat kaya gitu.

Dan tadi, gw akhirnya mendapat kesempatan untuk mencoba si kursi itu...!

Ceritanya begini. Hari ini Idul Adha (sekalian mau ngucapin Selamat Idul Adha buat yang merayakan, hehehe), dan biasanya perayaan Idul Adha di keluarga gw lebih singkat ketimbang Idul Fitri. Karena acara kelar jam 3, orang tua ngajak jalan. Ya sudah, berangkatlah kami ke BSM tercinta karena paling dekat sama rumah...

Nah, di BSM, ayah yang lagi sakit punggung langsung mencari kursi pijat dengan harapan dikasih kesempatan trial (walaupun pasti akhirnya nggak beli). Gw, yang menganggur, akhirnya bersandar di palang pembatas sambil membaca bukunya Benny and Mice yang Jakarta Atas Bawah (gw rekomen banget deh!). Salah satu pramuniaganya nyadar, dan manggil gw supaya duduk di dalam tokonya. Lalu, karena nggak ada kursi di situ, si mbak menor berambut bob (halah) itu berkata, "Ya udah, duduk di sini aja, Mas," sambil menunjuk si kursi pijat.

Gw menatap si Mbak. Serius nih?

Tatapan si Mbak seolah berkata, "Iya. Ayo cepet, udah nggak tahan nih..." (Emangnya apaan?)

Ya sudah. Jangan salahkan gw kalau akhirnya kenapa-napa. Gw pun akhirnya duduk di kursi pijat. Si mbak itu mulai menekan-nekan tombol di pegangan kursi.

Dan siksaan itu pun dimulai.

Feeling gw mulai nggak enak pas sandaran kursi itu mendadak merebah dan muncul benda-benda gaib seukuran bola pingpong yang muncul dan bergerak-gerak mistis. Si Mbaknya dengan enteng berkata, "Nyantai aja, Mas. Kan lagi dipijet. Ayo, sandaran ke kursinya."

Gw ketawa getir. Bola-bola sialan itu bikin gw susah nyandar. Dan, entah karena gw yang terlalu tinggi atau kursinya didesain untuk orang yang pendek, tuh bola-bola akhirnya menggesek-gesek tulang belikat gw, bikin gw nggak nyaman. Seakan nggak cukup, kaki gw dibelit sesuatu yang bergerak-gerak kayak ular. Betis gw dipencet sampai keras banget, bikin kram. Gw punya dugaan, tuh alat harusnya nangkring di belakang lutut, bukan di betis gw.

Mungkin menyadari penderitaan gw, mbak-mbak itu berkata, "Merem aja, Mas. Biar rileks."

Oke, gw mencoba merem. Cukup membantu sih. Tapi... cobaan berikutnya datang... dalam bentuk si Mbak itu! Dia ngajak ngobrol gw, nanya-nanya hal penting yang seharusnya dia nggak usah tahu. Berikut petikan wawancara yang gw anggap paling dodol.

Mbak Pramuniaga (PR): Mas dari mana?
Gw: Sukabumi, tapi sekarang di Bandung.
MP: Oooh... kuliah di mana?
Gw: ITB.
MP: D3 apa S1?
Gw: (menatap pramuniaga dengan heran) S1.
*Selama gw kuliah di ITB, belum pernah gw denger kampus gw buka D3. Dan gw yakin itu udah common knowledge.
MP: Masih lama dong... Beasiswa ya?
Gw: Nggak kok. SPMB
*Oke, gw bohong. Soalnya kalau gw bilang gw dari USM, makin mungkinlah kita diporotin sama tuh pedagang.
MP: Wah, keren ya! Saya dulu ikut SPMB nggak masuk-masuk lho...
GW: . . . (silence)
MP: Oh iya, mas kok tinggi sih? Gen, ya?
Gw: Mmm... iya sih... (nggak tahu harus gimana)
MP: Oooh... mungkin karena itu saya pendek ya? Tapi... nggak ah. Kakak saya tinggi-tinggi kok...
Gw: (masih speechless)
MP: Nggak enak lho, punya tubuh pendek. Kan susah tuh kalau mau ambil-ambil barang. Kira-kira kenapa tuh ya, Mas?
Gw: Yaa... mungkin karena gen juga kali. Yang turun gen pendeknya...
MP: (Ketawa garing)

Dan, akhirnya, dia nyentuh gw! Okelah, dia udah kelihatan SKSD banget sama gw, tapi kali ini agak... wow. Dia megang-megang tangan gw, lho! Sampai hampir ngeremes segala. Seakan itu belum cukup, dia mulai megangin paha gw. Untung saja, di saat itu, waktu pijat gw habis dan perhatian si Mbak beralih ke kontrol si kursi.

Seharusnya gw nggak bersyukur. Ternyata kursi neraka itu dinyalain lagi sama si Mbak-nya. Dan gw harus "menikmati" pijat neraka itu lagi selama 15 menit ke depan.

Akhirnya, gw tahu, ternyata semua itu adalah akal-akalan pramuniaga di sana untuk menahan gw dan orangtua gw agar tidak pergi sebelum membeli. Kita sempat berdebat alot dulu sebelum akhirnya berhasil membebaskan diri. Habis itu, kita cepet-cepet keluar dari BSM karena mau pulang--dan akhirnya balik lagi karena mau makan.

Dan, in the end, gw bertanya-tanya, "Adakah orang yang mau membeli kursi neraka itu?"

"Atau gw-nya aja yang terlalu ndeso sehingga malah sakit badan setelah pake itu?"

Cheers!

Sunday, November 23, 2008

Eksekusi

Hari ini... gw memutuskan untuk eksekusi satu keputusan yang sudah lama ingin gw lakukan.

Dan keputusan itu adalah... menghapus akun Friendster gw.

Yup. Udah lama banget gw ingin menghapus akun di website pertemanan itu, karena gw ngerasa website itu lebih banyak nggak baiknya ketimbang baiknya. Di antaranya:

1. Pulsa gw jadi cepet abis gara-gara akses Friendster pas lagi nganggur via GPRS. Okelah murah, tapi kalau keseringan kan habis juga pulsanya.
2. Gw jadi kenal orang-orang aneh yang tiba-tiba suka sama gw. Heran gw juga, cuma gara-gara di-approve doang langsung bilang, "I love you." Trus pas gw bilang gw nggak mau dipacari dulu, dia langsung kesel dan nyumpah-nyumpah karma segala. Capek...
3. FS jadi sarana gw untuk jelalatan, padahal masa-masa sekarang adalah masa-masa dimana gw dituntut untuk fokus ke satu hal, bukannya membiarkan pikiran gw melayang nggak jelas.
4. FB (JAUH) lebih menarik ketimbang FS yang makin lama makin nggak jelas itu.

So, here I am, without my friendster account. I hope, with this execution, I can transform myself into a better person. Amin.

Wednesday, November 19, 2008

Tell Me How to Thank You

"Thank You"

Sebuah kata yang sering banget keluar dari mulutku. Satu kata yang biasanya terucap begitu saja. Sebuah kata yang... apa ya... termasuk kata-kata emas yang melambangkan rasa syukur.

Kalau begitu, dengan sering mengucapkan kata itu, just like I do, apakah orang tersebut bisa dibilang orang yang selalu bersyukur?

Hmmm....

Sayangnya, belum tentu...

Look at me, for some example. I destroyed my whole life since last "Lebaran". Face it, I've become gloomier. Every sunday is depression day. "Disturbia" became my favorite song. Suicidal thoughts always crosses my mind. I even drag two people that I loved into despair, hurting them unknowingly.

Just because I don't know how to thank you.

How can I become this silly? I was surrounded by people who love and support me. Mom, dad, Yodi, Tisa, Hime, Niya, many more, they would love me and wished nothing except I loved them in return. They showed me that they'll accept me, support me, help me survive through this hard life.

But, I didn't see that. Because... My mind's already clouded. Because I put everything in one basket, and when that basket is gone, i thougght all my life was gone.

Because, once again, I don't know how to thank you. I don't know how to be thankful because I have those people. Because I'm too stupid to realize that those people worth MILLION TIMES that THAT GODDAMN BASTARD WHO SAID "I LOVE YOU" THEN LEAVE ME OUT OF THE BLUE.

Ooops, I did that to Niya, eh? That means I'm a bastard too...

Yeah. I hurt them in the end.

That shows the world how stupid I am. How immature I am. Last word that "that-goddamn-person" said is I was so immature. I hate it when he's right, especially because I think he said that coz he found "the weasel" (refer to Pangeran Tidur: Kota, Musang, dan Kekasih Hati). But yeah, I'm so immature because I don't know how to thank them. I don't know that I should be thankful because they were here with me.

But now, I have learned my lessons. I have received my punishment. I just wish I can mend Hime's and Niya's heart again...

To all people mentioned in this post, I'm sorry. I promise, I'll change. For myself. For the better me. So I can be happy and, in turn, bring happiness to all of you. To all people who have just know me, i just tell you my past, and I'll try not to repeat it again. I'm stronger now, so... feel free to know me better. Believe me, you won't be dissapointed. ;)

So, moral of the story, let's be thankful for all that we had. Let's not dwell in the past. And let's live our life to the fullest. Ok?

Cheers!

Thursday, October 23, 2008

Hari Ini Gw....

Tau deh hari ini kenapa...

Mungkin karena stres mau ujian, tapi bukannya ngapalin malah bikin puisi curhat (cenderung memaki) buat seseorang. Niatnya sih mau dikirim lewat message FS, tapi...

Dan gw pun asyik mengarang puisi (lebih mirip pantun sih jadinya) ketimbang menghitung berapa gram NaHCO3 dalam sampel (dan akhirnya juga nggak ketemu sih). Aaaargh, ujian yang paraaaah...

Lalu, seharian ini, setengah berharap bakal ketemu sama si objek puisi. Di perpustakaan, di koridor, di kelas (ini mah nggak mungkin ya) pasti celingukan, berharap ada dia di sana. Kenapa juga gw berlaku begitu ya? Toh sampai sekarang gw nggak bisa liat akun FS-nya (dan pacarnya).

Dan, gw malah papasan sama pacarnya di koridoooor! Untung kami nggak ketemu pandang, karena papasan aja udah bikin gw kayak dihantam palu tepat di dada. Dan imaji-imaji aneh itu pun mengalun kembali, membuat gw lagi-lagi sakit kepala.

Lemah banget gw yak?

Anyway, tadi gw udah buka FS dia. Gw udah kirim puisi itu ke dia. Dan sebodo amat. Mau dia ngajak berantem, kek. Mau dia bilang gw ngganggu, kek. Sebodo amat. Yang penting gw udah ungkapin semuanya ke dia tanpa main fisik (dan jujur aja gw pingin banget jadiin dia samsak sekarang).

Fuuh...

Wednesday, October 22, 2008

Ceritanya Menertawakan Masa Depan... (Tertawa Getir)

Cerita ini terjadi tiga hari yang lalu, tepatnya di detik-detik menuju UTS Proyek Mikrobiologi. Para Mikro-Squad (sebagian dari sedikit cowok di Jurusan Mikrobiologi) lagi duduk-duduk di tangga tak berujung (tangga di labtek biru yang mengarah ke loteng labtek) dan berniat belajar. Sampai ketika AL, sang master microbiologist, mulai bercerita ke gua...

AL: Fer, tahu nggak? Kemarin tuh gw nganter temen gua anak Perminyakan ke Titian Karir di Sabuga.
Gw: (Manggut-manggut. Emang si AL dari kemarin ngegerecokin gw pengen dianterin ke Titian Karir. Sebagai informasi, Titian Karir adalah semacam career day yang diadakan kampus untuk (kayaknya sih) menyambut para wisudawan (akhir minggu ini memang ada acara wisuda, sih...))
AL: Iya. Si BG kan anak minyak tuh, dia baru lulus kemarin. Dan, tahu nggak, gw bete banget kemarin...
Gw: Oh, ya? (mulai tertarik)
AL: JAdi tuh, pas kita ke titian karir, si BG kan mampir dulu ke CHV (perusahaan minyam multinasional). Kita langsung disamperin sama orangnya, kan. Si BG kan anak minyak, dia langsung disamperin gitu sama orang penting entah dari mana.
Gw: Lalu?
AL: Terus, orangnya nanya gw, "Mas yang ini dari mana?" Ya gw jawab, "Biologi."
Gw: Terus?
AL: Terus, muka si mas-masnya langsung berubah gitu. Katanya, "Yah, maaf ya mas. Kalau biologi..." (dengan nada lembut-prihatin dan kalimat dibiarkan menggantung)
Gw: Ouch...
AL: Terus, pas gw liat lagi, ada tulisan besar-besar "Dicari: PETROELUM ENGINEERING, MINING, GEOLOGY". Nggak ada tulisan "Dicari: MICROBIOLOGIST". Apa perlu gw tulis terus tempel sendiri gitu ya?
Gw: Hahaha... (ketawa garing, mulai mikir) Mungkin...

Dari percakapan itu, gw menyadari (selain kenyataan bahwa si Al sangat loyal menyebut kata "terus") kalau jurusan yang gw pilih sangat kurang populer di Indonesia. Paling nggak, nggak laku di Career Day kampus...
Salah satu anggota Mikro-Squad lain, DM, mulai nimbrung.

DM: Owh, kok gw ngerasa masa depan gw suram gini yak?
Gw: Apa boleh buat? Indonesia memang belum masuk era bioteknologi, sih...
DM: Itulah masalahnya. Kita masuk jurusan yang lakunya justru di luar negeri. Ah, gw ikutin lo aja deh, Fer, ke luar negeri.
Gw: Atau jadi News Anchor-nya Metro TV. Lulusan segala jurusan, IP minimal 3. Gw mau banget tuh...
DM: Mau jadi jurnalis, Fer? Kita kan jurnalis yang handal. Tiap hari bikin jurnal. Hakhakhak...
Gw: Yuk mari... hahahahaha

Sekedar info, jurnal adalah semacam resume sebelum praktikum yang musti dibuat. Kalau nggak, nggak boleh ikut praktkum. Mengingat jurusan gw tuh praktikumnya tiga tiap minggu, bayangkan saja betapa hectic-nya hari-hari gw gara-gara tuh jurnal...

AL: Atau... jadi guru SMA aja deh kita. Kayaknya SMA-SMA di pedalaman sana sangat membutuhkan bantuan kita...
Gw dan DM: Oke banget tuh...

Jadi Ingat. AL pernah cerita, pas dia halal-bihlal, ada tentenya yang nanya dia, "Kuliah di mana sekarang?"

AL dengan bangga menjawab, "Mikrobiologi."

Si tante manggut-manggut. "Oooh... nanti lulus mau ngajar di mana?" Uh-oh, ternyata si tante ngira AL kuliah di universitas calon guru!

Tapi... dengan kondisi kayak gini, kok kayaknya itu karir yang paling "visible" ya? Selain jadi PNS, MLM-er, atau pegawai bank?

"Terus, kalau gitu, buat apa kita susah-susah kuliah dan bikin jurnal dan lapora setiap hari? Kalau gua sih nggak rido..." timpal DM.

Iya juga ya. Capek-capek bikin jurnal, ikut praktikum, bikin laporan, mengkontaminasi diri denga bakteri-bakteri lab. Dan pada akhirnya semua itu nggak gw sentuh pas kuliah nanti...

JAdi pengen jadi News Anchor-nya Metro TV (nggak nyambung, yak?)

Cheers!

Wednesday, August 27, 2008

Morning Riweuhness

Pagi-pagi begini, nggak nyangka aja dapat bahan bagus buat diomongin. Tapi agak berbahaya juga sih ngomongin ginian. Ya sudah, lah. Nggak apa-apa. Risikonya aku yang tanggung deh…

Jadi begini. Pagi ini, seperti biasa, aku pergi ke kampus menumpang mobil paman. Biasalah, penghematan. Punya paman yang bekerja di kampus yang sama dengan tempatku kuliah itu keuntungan, bukan? Artinya, uang buat ongkos angkot pagi ini bisa dialokasikan untuk buku teks, misalnya. Betul, kan?

Seperti biasa juga, selama di mobil aku lebih banyak diam. Agak nggak biasa juga kalau si paman diam di mobil. Dasar kreatif, pasti saja ada yang dikomentarin. Mulai dari para AD yang nyapu jalanan sampai angkot yang suka motong jalan seenaknya. Jadi, agak serba salah juga, takutnya bikin salah apa gitu…

Dan, tiba-tiba saja, si paman nanya, “Fer, di kampus ada kumpulan gay gitu, ya?”

Langsung deh aku speechless.

Jadi, ternyata, si paman ikut rapat petinggi kampus gitu. Dan di sana dibahas kencang banget sama orang-penting-se-kampus. Dan, katanya lagi, banyak banget kasus kayak gitu di fakultasku. Kasus kayak dosen pacaran sama mahasiswa, mahasiswa sama mahasiswa, dan sebagainya. Jelas aja dekannya berang.

Tanggapan pamanku sih adem ayem aja. “Selama nggak mengganggu kepentingan umum, terserah mereka mau pacaran sama siapa dan kayak gimana.” Begitulah. Satu ideology sih denganku: selama nggak ngeganggu mah sah-sah aja.

Tapi yaa… serem juga kan? Masa di kampusku, fakultasku pula, banyak yang begituan? Ntar kalau ditaksir gimana? Ntar kalau akunya jatuh cinta gimana? Hii…

Tuesday, August 26, 2008

Kekompakan Berdasar Tradisi?

Hari ini, aku baru sampai di rumah pukul tujuh. Sebenarnya sih nggak terlalu masalah kalau aku pulang telat gara-gara kuliah. Toh, namanya juga mahasiswa, kewajibannya belajar. Tapi aku pulang malam gara-gara ada kumpul angkatan dulu.

Heugh. Kumpul angkatan. Dengarnya saja sudah malas. Yang terbayang di ingatan saat mendengar frasa “kumpul angkatan” adalah pertemuan yang mulainya pasti ngaret, yang diomongin nggak jelas, dan pertemuannya pasti lama tapi nggak berbobot.

Dan itu terjadi tadi sore (sampai malam), membuatku tergoda untuk mem-post-nya di sini.

Jadi, ceritanya, hari ini kumpul lagi untuk ngomongin hal yang (bagiku) nggak terlalu penting: identitas angkatan sebagai anggota himpunan. Aku termasuk orang yang nggak peduli dengan bagaimana jadinya identitas angkatan itu. Mau desainnya unik, warnanya ngejreng, selama nggak menyalahi aturan nggak masalah. Yang penting enak dipakai.

Hmm... buat yang nggak ngerti, gini aja deh analoginya. Kamu adalah orang yang baru masuk ke toko roti terkenal (berasa Yakitate Ja-Pan). Toko roti itu punya roti andalan yang super enak. Kalau orang mau mencari roti yang satu itu, mereka tahu harus mencari di tokomu. Nah, kamu menemukan resep roti itu dan memodifikasinya sehingga menjadi jauh lebih enak, namun mempertahankan ciri khas roti toko itu. Bukan hanya kamu yang bilang enak, teman-teman bahkan seniormu di toko itu pun bilang roti temuanmu enak. Lalu, tiba-tiba saja ada orang asing yang tiba-tiba bilang rotimu beda dan tidak enak, padahal dia belum pernah mencicipi baik rotimu maupun roti toko itu, apalagi membuatnya.

Seperti itulah kira-kira.

Nggak tahu kenapa, topik itu selalu diulang di setiap kumpul angkatan sampai hari ini. Semua sudah excited, merencanakan detil di sana-sini. Seorang yang berbakat merelakan diri bekerja demi mewujudkan impian anak-anak seangkatan. Semua sudah sempurna, anak-anak sudah setuju, kasarnya sudah tinggal di-“jadi”-in saja. Lalu sekumpulan orang nyeletuk, “Kok beda yah?” dan akhirnya terpaksa dirapatin lagi. Rancangan yang sudah jadi terpaksa divoting ulang dengan alasan tradisi dan kekompakan.

Tampak jelas dari kumpul angkatan kali ini kalau semua sudah bosan ngomongin itu. Yang datang hanya 43 dari 120-an anak. Sebagian besar nggak ngerti kenapa musti masalah ini yang diangkat, secara masih banyak hal lain yang lebih perlu dibicarakan, seperti expo himpunan nanti November. Diskusi pun berjalan alot sampai akhirnya seseorang cukup cerdas untuk menanyakan inti dari kumpul angkatan ini.

“Apakah kita harus seragam agar bisa kompak? Bisakah kita tetap kompak walaupun tampilan kita beragam?”

Mulai dari sini, kayaknya aku mau break dulu nyumpahin kumpul angkatan nggak guna tadi. Aku tertarik mengomentari pertanyaan “penting” tadi itu dulu.

Pertanyaan itu memang susah dijawab. Seperti menjawab pertanyaan, “Lebih dulu ayam apa telur”, kedua jawaban valid. Baik ayam maupun telur adalah jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu, bila dilihat dari sudut pandang tertentu.

Ya, keseragaman memang bisa membuat kita kompak. Karena kita merasa satu. Satu keluarga. Satu visi. Satu keinginan. Ekstremnya, satu tubuh. Mungkin itulah dasar pemikiran para penggiat komunis-sosialis di luar sana. Masuk akal sebenarnya, kalau ditilik lagi.

Sayangnya, itu nggak mungkin terjadi. Di Al-Qur’an disebutkan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Itu artinya kita memang diciptakan berbeda. Dan, menyeragamkan sesuatu yang dari lahirnya sudah berbeda itu nggak mungkin. Itu artinya mengubah aspek lahiriah maupun batiniah agar menjadi satu hal yang sama. Suatu hal yang kayaknya nggak mungkin dilakukan tanpa agresi atau tekanan, dan kedua hal itu menyalahi hak asasi manusia.

Pemecahannya simpel, sebenarnya. Manusia tinggal menerima fakta kalau masing-masing dari mereka itu berbeda. Dan mereka juga harus meyakini kalau perbedaan dibutuhkan agar semuanya bersatu dalam harmoni. Saling menyeimbangkan. Saling membantu. Saling melengkapi. Dengan begitu, bukan tak mungkin kekompakan yang solid dan hakiki akan tercapai.

Masalahnya sekarang, sulit sekali membuat manusia menyadari hal penting itu. Manusia punya ego, selalu merasa dirinya (atau sukunya, atau bangsanya, atau apapun yang ia banggakan dan kaitkan dengan dirinya) paling hebat, paling agung, atau semacamnya. Hal itu membuatnya kesulitan menerima pendapat dari sudut pandang lain mengenai masalah yang sama. Belum lagi penyakit xenofobia (takut sama orang asing) yang bikin kita berprasangka yang bukan-bukan terhadap orang asing (atau tepatnya orang yang tak terlalu kita kenal). Okelah, berhati-hati boleh, tapi tidak berlebihan, apalagi sampai menyakiti hati orang itu.

Balik lagi ke masalah kumpul angkatan, ada satu hal lagi hal yang ingin aku soroti di sini: tradisi. Yup, salah satu alasan mengapa rancangan itu di-voting ulang adalah karena tidak mengikuti tradisi yang berlaku sebelumnya. Dan hal itu berujung pada masalah “seragam-dan-kekompakan” tadi (tentu saja di sini konteksnya kekompakan antar-angkatan).

Aku sendiri bukannya tidak setuju dengan tradisi. Tradisi adalah kekayaan imateril, sesuatu yang harus dijaga dan diturunkan pada generasi penerus. Tapi, zaman sudah berubah sekarang. Kita sudah dituntut untuk memilih mana yang paling sesuai dengan tuntutan zaman. Dan, kalau inovasi menawarkan kelebihan-kelebihan sementara tradisi tidak memberi nilai tambah, kenapa juga maksa ikut tradisi? Seharusnya malah tradisi itu kita beri inovasi sehingga makin bisa bertahan melawan kerasnya zaman. Betul nggak?
Akhirnya kumpul angkatan berakhir dengan voting ulang (walaupun ketua angkatannya nggak setuju sama sekali). Dan hasil yang dituai sama dengan hasil voting sebelumnya, walaupun kali ini beda tipis. Syukurlah, akhirnya masalah ini selesai juga. Udah bosen nih tiap ngumpul ngomongin itu melulu.

Cheers!

Wednesday, August 13, 2008

Selamat Jalan Akbar...

Harusnya aku udah tidur jam segini. Apalagi kalau besok aku jadi fitness. Tapi yah, sudahlah. Toh, udah kadung nggak bisa tidur juga…

Jadi, ceritanya, sesaat ketika aku mau tidur (walaupun pastinya nggak akan bisa langsung tidur saat itu juga), Pz nelepon aku. Suaranya terbata-bata gitu. Aku langsung duduk tegak, khawatir. Habisnya, kalau Pz sampai nelepon, apalagi sampai terbata-bata, berarti yang dia sampaikan pasti penting banget.

Aku tanya, ada apa. Dan dia jawab, “Akbar meninggal.”

Sempat speechless selama beberapa saat. “Innalillahi... Kapan meninggalnya?” tanggapku, cukup standar kalau kupikir lagi.

Dan Pz pun bercerita. Tentang kabar itu yang dia terima dari Be’es. Tentang Akbar yang katanya meninggal tadi sore di Cianjur. Tentang keinginannya untuk mengontak Zuhri, adik Akbar, untuk konfirmasi.

Aku langsung menghubungi Reza, juniorku yang juga ikutan Olimpiade Biologi. Dan dia bilang kabar itu benar. Ditambah lagi dengan SMS forward-an dari Farida. Yah... berarti Akbar memang meninggal (walaupun waktu meninggalnya masih simpang siur; ada yang bilang sore, ada yang bilang pagi).

(Menghembuskan napas) Akbar... nggak nyangka banget gua...

(Nostalgic Mode: On)

Pertama kali kenal Akbar waktu kelas satu SMA. Waktu itu persiapan menuju Olimpiade Biologi tk. Wilayah. Aku disuruh tunggu di depan lab biologi, dan di sana ada dia. Kita sempat mengobrol sebelum gurunya datang. Orangnya ramah, ceria, dan baik banget. Dan, uniknya, dia memanggil dirinya sendiri dengan nama, hal yang jarang kujumpai pada cowok.

Waktu itu, kita punya ambisi yang sama: juara olimpiade tingkat internasional, terus masuk FK. Kita sama-sama jago biologi, jadinya sering diikutsertakan dalam lomba-lomba. Dari situ, kita kenal sama Pz dan Nesu, yang juga jago dalam bidang biologi (nggak usah ngeles yah, Pz (:P)).

Aku jadi ingat pas kita ikut lomba berempat. Lomba HBO, kalo nggak salah. Kita berangkat naik mobilnya Elsy ke FK Unpad. Aku sekelompok sama Akbar dan Pz. Pas lomba sesi pertama, kita malah ketawa-tawa sambil ngisiin lembar ujian. Wajarlah kalau kita akhirnya disensiin sama seniornya dan nggak lolos tahap itu. Dan, lagi-lagi kita ngetawain hal itu bertiga (sambil ngeledekin Nesu yang lolos ke tahap berikutnya dan harus pasrah karena didampingi Ibu Budi).

Saking seringnya bareng, kita jadi dekat. Cukup dekat untuk membentuk sebuah geng bernama Penjol. Awalnya dari kumpul-kumpul di rumah Pz (aku nggak ikut waktu itu karena... apa ya... lupa), dan mereka memberiku panggilan yang tak sedap didengar telinga: brojol. Dasar kalian kejaaaam! (:P)

Jadi ingat lagi masa-masa kelas tiga ketika aku hobi saling nyeletuk sama si Akbar (mau ngaku, kadang-kadang aku suka nasteung denger komentarnya yang innocently annoying). Si Pz bahkan bilang kalau aku dan dia sudah kayak anak TK, hobinya berantem mulu (dan aku balas bilang kalau Pz adalah guru TK yang bertugas mendamaikan kami berdua (:P)). Jadi ingat masa-masa ketika Akbar minta aku ikut Tianshi dan jadi downline-nya (padahal harusnya dia yang jadi downline-ku, tapi aku malah nyodorin nama dia ke Araf karena nggak mau join). Jadi ingat suatu sore ketika aku, Nesu, dan Pz dengerin dia presentasi Tianshi, dan Pz melontarkan kritik khasnya yang (lagi-lagi) berbobot dan bikin aku merinding.

Jadi ingat kata-katanya yang intinya ngasih tahu kalau aku sudah keterlaluan sama “dia”. Jadi ingat cita-citanya yang kupikir muluk namun diucapkannya dengan penuh kesungguhan. Jadi ingat keceriaannya, senyumnya, tertawanya, caranya ngeles. Jadi ingat kalau dia pernah nraktir aku dan Pz dengan gaji pertamanya dari Tianshi. Dan Pz bilang dia semangat banget ingin ngajak kami nonton berempat. Jadi ingat kalau pertanyaanku soal mengapa perutnya mendadak buncit hanya ditanggapinya dengan cengangas-cengenges yang memancing jitakan (padahal aku sungguh-sungguh khawatir waktu itu). Jadi ingat kalau dia mendadak menghilang sejak kelulusan dan tahu-tahu aku mendengar kabar kalau dia akhirnya kuliah di FK Unjani.

Dan orang itu kini sudah tak ada. Sudah tak bisa kutemui. Mungkin kini dia sedang dimandikan atau dikafani. Mungkin juga sedang disemayamkan. Mungkin... mungkin...

Dan akhirnya aku menelepon Pz. Kita bicara lama sekali. Dari situlah, aku tahu tujuan utama Akbar masuk Tianshi: ingin bikin rumah sakit gratis.

“Gua prihatin sama pelayanan kesehatan yang minim bagi orang-orang nggak mampu. Karena itu, gua mau ikut Tianshi sampai dapet kapal pesiar. Semua itu mau gua jual dan gua pakai buat bikin rumah sakit. Walaupun gua nggak keterima SPMB FK, gua bakal tetap jadi dokter dan nolong orang,” ucapnya, seperti dikutip Pz.

Dalem. Banget. Sumpah.

Dan orang itu kini sudah tiada.

Bar, sebagai salah satu orang yang kuanggap dekat, aku merasa kehilangan dengan kepergian ini. Namun, yang bisa kulakukan hanya mengucapkan selamat jalan. Kami semua mendoakanmu, Bar. Semoga amal ibadahmu diterima di sisi-Nya dan dosa-dosamu diampuni.

Dan... semoga aku bisa bertemu lagi denganmu di surga-Nya kelak.

Amin.

P.S. : Kok... mata gua jadi panas yah pas ngetik ini? Apa karena Counterpain kena mata? Tapi, kok dada gua ikut-ikutan sesak ya? Tabah, Fer...

P.S. 2 : Kalau ada yang mau ke makamnya, aku ikut ya. Aku ingin mengantarnya pergi kalau bisa, tapi... apa daya...

Tuesday, August 12, 2008

Wishlist Semester 3

Semester baru… suasana baru… dan, yang paling nyebelin, hasrat baru untuk beli barang-barang baruuuuw! Yah, udah tahu keuangan keluarga lagi tekor begini, entah kenapa malah jadi lapar mata kalau pergi ke mana-mana teh. Hiks, jadi pengen kerja yang lumayan bisa kekerjain buat ngumpul-ngumpul duit. Jadi model, Fer? (teteuuup)
So, untuk sedikit melepaskan unek-unek, mending tulis dulu aja di sini mau apa aja. Siapa tahu ada yang tergugah untuk mendanai mahasiswa tampan, pintar, namun miskin ini. Tul nggak? Hehehe...

Wish number one: electric portable shaver.

Keinginan yang menggebu akan benda ini sebenarnya berawal dari dendam pribadi pada barang bernama pisau cukur. Yup, benda kuning bergagang dan umumnya bermerek Gillete itu. Nggak tahu kenapa, habis cukuran, mukaku selalu kayak habis jatuh di jalan. Pasti kegores di sana-sini. Padahal udah hati-hati banget nyukurnya, pake foam pula (dan si foam itu bikin bercukur jauh lebih sulit). Jadi menyesal kenapa tahun lalu nggak beli aja pas bazaar penyambutan mahasiswa baru, padahal waktu itu lagi banyak duit. Hiks-hiks...

Wish number two: multimedia player

Sebenarnya dulu nggak kepingin banget sama benda ini. Cuma sayang, MP3 player-ku yang dapat dari doorprize ultah Abby tuh sudah rusak. Sama sekali nggak mau nyala. Mungkin karena kuaniaya dengan dipakai full time kali ya. Tadinya sih mau beli yang keren kalau dikalungin, kayak punyanya Minato Arisato di Persona 3. Tapi, udah keliling-keliling BEC dan Be Mall nggak dapet juga. Trus kepikat sama iPod Video, tapi kayaknya kegedean buat ditaro di kantong. Mahal pula. Yah, kalau wish number one nggak kesampaian (atau terbukti kurang relevan), kayaknya duitnya mau dialokasiin buat ke sini deh...

Wish number three: Laptop

For god’s sake, I’m novelist wannabe! Udah berkali-kali aku harus kehilangan ide penting cuma gara-gara nggak punya kertas buat nyatat. Dan lagi, di mana-mana udah ada hotspot kan? Kalau nggak dimanfaatkan kan sayang (:P). Cuma, yah, emang harganya agak mahal. Apalagi yang layarnya 13 inci dan imut-imut. Yah, jadi ajah harus bersabar lagi buat beli barang ini...

Wish number four: gym’s membership card

Bukan cuma kartu anggotanya, lah. Pinginnya sih jadi anggota di gym dekat kampus. Kan lumayan tuh, kalau nganggur bisa lari ke gym. Demi body dan sixpack idaman, hehehe. Tapi yah... pertanyaannya sekarang, bakal nganggur nggak pas kuliah nanti? Secara praktikum lima kali tiga jam perminggu. Itu artinya lima jurnal dan lima laporan. Hiks, time management is a must here...

Wish number five: pocket digital camera

Tujuannya simpel sih: buat ngedokumen hal-hal unik nan menarik plus narsis-narsisan. Siapa tahu bisa dipasang di FS ma FB, trus menarik perhatian para talent scout, dan berujung pada my path of superstardom. Sebenarnya udah ada yang 3,2 megapiksel, tinggal nyari batere rechargeable ma kabel konektor ke komputernya (ada nggak ya di BEC?). Tapi... yah... pengen yang megapikselnya lebih... Yaa... hasil fotonya bisa diotak-atik pake photoshop sih. Which brings us to the next wish...

Wish number six: certificate

Bukan sembarang sertifikat, lah. Aku ingin ngambil satu kursus keterampilan di semester ini tuh. Yang terpikirkan sekarang sih bahasa atau desain grafis. Pokoknya yang bisa menjadi nilai tambah lah. Dan... tampaknya... sertifikat-sertifikat seminar juga bisa membantu tuh. So, aku wajib ikutan kokesma semester ini!

Wish number seven: Brock’s Biology of Microorganism

Buku bible-nya jurusan miktobiologi! Barusan liat di Elvira, harganya 300rb plus-plus. Memang sih diskon sepuluh persen, tapi tetap saja... Moga-moga bisa kebeli deh, soalnya bukunya tinggal
satu lagi di sana...

Wish number eight: Braces + Crown


Perhatikan FS-ku deh. Pasti nggak ada foto diriku tersenyum sambil memperlihatkan gigi. Yupo, gigiku memang berantakan. Dan diperparah lagi dengan potongnya si gigi depan. Sekarang gigi-gigi depanku makin lama makin maju, jadinya sering menggores bibir. Apa daya, Bracer is a must here...

Mmm... apa lagi ya? Aneh memang, keinginan yang banyak mendadak hilang pas mau dituangkan di selembar kertas. Yang jelas sekarang mah pingin mempermak badan biar bisa jadi model :P

Cheers!

Friday, July 18, 2008

Liburanku yang campur aduk...

Salam,

Hahaha... sudah lama nggak posting blog. Sekalinya posting, isinya nggak penting.

Anyway, ternyata komen paling banyak ada pada posting "Curhat Penyakit"-ku ya... Hahaha, ternyata... Untung saja aku pakai bahasa kiasan di sana. Kalau nggak--dan penyakitku ketahuan--bisa dirajam aku sama dunia :P

Ga ding. Nggak seheboh itu juga sebenarnya. Lagian tugas novelis itu bikin orang penasaran sekaligus mendramatisir suasana kan? Hehehe, berhasil nggak aku?

Jadi, ceritanya, libur dua bulan itu nggak selama kedengarannya. Dua bulan itu pendek banget, apalagi kalau dilalui tanpa planning yang jelas. Buktinya dari sekian banyak rencana yang udah kususun rapi bahkan sejak minggu UAS, beberapa harus di-out gara-gara nggak ada space waktu.

Misalnya saja belajar mobil. Sebelum ini kan pake mobil Ayah. Tahunya pas sebelum liburan mobil itu nabrak (bukan aku yang nabrakin!). Depannya penyok parah sampai harus ke bengkel. Walaupun emang beruntung karena nabrak tembok dan bukannya orang, tetep aja akhirnya aku nggak bisa belajar nyetir. Dan ketika si mobil kelar diperbaiki, ortu sibuk ngurus pendaftaran kedua adikku yang mau masuk SMA dan SMP. Yap, seperti bisa diduga, mobil pun dipegang penuh oleh sang Ayah yang gagah berani dan aku pun tak mengalami kemajuan dalam hal setir-menyetir.

Kedua, belajar gitar. Asalnya semangat coz inget ada gitar tua di gudang. Bodo amat dicoret-coret orang kandang, yang penting masih bunyi. Tapi... harapan tinggal harapan. Pas ditanya ke ortu, mereka bilang tuh gitar tahu udah di mana (kayaknya diambil orang kandang, deh (hus, jangan suudzan ah)). Maksa nyari di gudang saung pun tetap saja nggak ketemu. Malah sempat bertarung hidup dan mati dengan gerombolan semut hitam. Hii...

Hehe... itu mah akunya aja yang males ya? Nggak tahu deh...

Tapi untungnya aku bisa melakukan apa yang sudah kupersiapkan sejak empat tahun yang lalu: SPMB! Walaupun namanya berubah jadi SNMPTN (dan jadi susah ngejanya), teknisnya toh sama aja. Sumpah, perjuangan pisan untuk mendapatkan formulirnya; aku musti ngantri di Mandiri Siliwangi, terus rela nangkring di Mandiri Cihampelas sampai jam dua lebih, habis itu langsung ngacir ke Aula Unpad buat nukerin resi sama formulir. Wuih, pas dapet tuh form, lega banget deh rasanya!

Pasti pada penasaran, ngapain aku ikut SNMPTN segala? Kan aku udah keterima di ITB, yang namanya udah tenar ke lingkup Internasional, dengan IP lumayan pula? YAh, jawabannya simpel sebenarnya: aku nggak mau menyerah sebelum berusaha. Selama tiga tahun di SMA, aku sudah dipersiapkan untuk ikut SNMPTN; guru-guru SMA-ku menyiratkan begitu soalnya. Aku ikut remedial itu, bayar les itu, dipaksa beli diktat matematika dan fisika gara-gara nilai rata-rata melulu. Dan, setelah semua itu tiba-tiba saja aku nggak harus ikut SNMPTN? Emang sih harusnya lega tapi kok kayaknya nggak rela ya?

Hahaha, aneh ya?

Hal lain yang terjadi adalah aku ikut casting! Yups, audisi Ketika Cinta Bertasbih yang santer itu. Awalnya gara-gara si Ayah yang dorong-dorong aku supaya ikut. Yasud, aku beli bukunya supaya tahu seperti apa tokohnya. Menurutku, bukunya kalah bagus ketimbang Ayat-Ayat Cinta; ceritanya kepanjangan, kebanyakan tokoh, dan muter-muter. Tapi... kok... mendadak ingin ikut yah? Sampai-sampai bela-belain ke studio foto buat foto studio (hehehe). Tapi apa boleh dikata, gagal jua. Ternyata bernama-belakang sama dengan aktris serbabisa nggak serta merta bikin aku jadi aktor juga ya? Hehehe... Tapi tetep fun! Apalagi karena aku ketemu teman-teman baru di sana.

Terus, yang menarik lainnya adalah aku ke pantai! Bukan Bali atau Pangandaran sih, yang deket aja: Pelabuhan Ratu dan Ujung Genteng. Ke Pelabuhan Ratu tuh mendadak banget. Tiba-tiba si ayah ngajakin, dan kita pun berangkat naik mobil Kijang pengap tapi lovable itu. Sampai di sana, aku padok kamera HP si adik (2 MP dan jauh lebih bagus dari HP-ku) untuk candid tiap orang dan narsis-narsisan. Asalnya mau nginep di sana (aku rela ditinggal sendiri padahal toh bisa pulang naik bis), tapi ayah dan mama nggak tega. Jadi... pulanglah aku hari itu juga, berbekal kepiting pertama (or kumang) yang diambilin Tisa (dan besoknya mati) dan sekantung pasir hitam etnah buat apa dan akhirnya disapuin dari lantai mobil :P

Yang ke Ujung Genteng lebih gila lagi: tiga hari dua malam! Mana pantainya menggugah naluri biologi-ku pula. Bayangin, pantai berkarang yang penuh makhluk nggak jelas! Ada bulu babi, ikan, dan makhluk-makhluk lainnya yang kayaknya nggak akan ketemu kalau nggak ke situ. Ada lintah laut, cacing panjang, kepiting (hiii). Yodi (adikku yang cowok dan jago menangkap ular) langsung beli serokan dan menangkapi ikan-ikan yang terperangkap di kolam air pasang. Dia dapat banyak ikan: belut laut segede telunjuk, ikan buntal yang menggembung pas ditangkap, ikan scorpio yang cantik tapi beracun (dan siripnya itu utuh lho!), udang karang tanpa capit (ini mah bukan ikan, ya?), bahkan gurita mungil yang warnanya ganti-ganti. Spesial buat gurita, dia harus rela pergi ke pantai malam-malam hanya ditemani lampu blitz HP-ku (dan bikin aku, Ayah, dan Mama deg-degan di cottage).

Karang di Ujung Genteng. Indah kan? Airnya jernih pula...

(Almost) sunset di Ujung Genteng

Hari kedua di sana, aku belajar rule of thumb kalau pergi ke pantai berkarang: flip-flop is a must! Aku memang bawa sendal dari rumah, tapi Tisa (adikku yang bungsu dan perempuan sendiri) meminjamnya tanpa permisi. Aku terpaksa pake sendal Yodi untuk menyusul Tisa di bibir pantai. Saat di sana, Yodi mau pakai sendalnya lagi karena dia lagi-lagi menginjak bulu babi (salah sendiri nggak pakai sendal). Sebagai kakak yang baik, aku memberi sendalku pada Yodi.

Masalahnya, pantai itu makin dekat ke pantai makin banyak bulu babi-nya. Dan mereka cukup cerdas untuk ukuran invertebrata: mereka diam di balik batu karang dan di sela-sela rumput laut. Tersembunyi cukup rapi seandainya nggak diperhatikan. Dan aku harus melalui itu semua tanpa sendal dan tongkat kayu untuk meminggirkan bulu babi. Jadi aku harus jalan super hati-hati. Aku selalu memilih jalan yang tak tergenang air; sekalipun harus, aku memilih jalan yang paling jelas dan bahkan memelototi jalan itu untuk memastikan (dan tetap saja melihat benda kecil berduri di sela-sela karang, hiii...).

Bayangkan berjalan tanpa sandal di tengah makhluk-makhluk itu. Hiii...

Sampai di pantai (yang adalah karang yang tergerus hingga kecil sehingga sakit kalau kena kaki), aku digonggongin anjing. Aku ambil saja karang besar, dan aku lempar-tangkap. Untung saja dia takut.

Aftermath? Jangan tanya. Kaki gua sakiiiit!!!! Walaupun untungnya aku nggak nginjek bulu babi. Yay!

Hari ketiga? Nggak ngapa-ngapain. Cuma packing, check out, membungkusi ikan yang ditangkap Yodi (karena dia nggak rela melepaskan hasil tangkapannya. Terpaksa di rumah harus ada akuarium air asin), dan perjalanan pulang selama lima jam karena harus detour ke Pelabuhan Ratu dulu (sebenarnya ada jalan yang bisa 3 jam sampai, tapi jalannya rusak jadi harus pelan-pelan—dan ujung-ujungnya tetap lima jam sampai Sukabumi). Sepanjang jalan, scene-nya ganti-ganti: kebun kelapa, sawah pinggir pantai, kebun teh, gunung batu yang tandus (yang ditumbuhi bambu kering kerontang), hutan pinus (aneh ya? Hutan pinus pinggir pantai...), kebun coklat, perkotaan. Aku malah sempat lihat jembatan gantung raksasa warna kuning yang (konon katanya) insinyurnya langsung bunuh diri setelah jembatannya jadi (Hiii). Sayang nggak sempat difoto, coz harus sampai ke Sukabumi sore itu juga.


Mau tahu kenapa? Karena Yodi harus masuk boarding school hari itu juga. Dan, percaya tak percaya, semua barangnya belum ada yang siap! Ya baju, ya kemeja, ya sprei, ya tetek bengek lainnya. Dokumen-dokumen macam ijasah dan lainnya malah belum masuk pihak sekolah (karena si Ayah keukeuh persyaratannya harus lengkap dulu baru diserahkan. Padahal, apa sih ruginya nyicil dulu?). Terpaksa si Yodi masuk dengan perlengkapan seadanya (sprei dan bed-cover beda motif, sepatu olahraga butut bekas tanah, dan lainnya) dan ditengok tiga hari kemudian sampai barang-barangnya lengkap. Mudah-mudahan saja dia betah di situ. Berjuang yah, Yod!


Hari-hari berikutnya tak ada yang bisa diceritakan. Just plain, ordinary days. Cuci piring, jemur baju, antar Tisa beli seragam, mengusir kucing tisa dari meja makan (kucingnya lucu lho, heterochromatic: matanya satu kuning satu biru), cari cara supaya si gurita mau makan, menangkap belalang buat kadal si Yodi, menyapu rumah, dan... pulang ke Bandung!


Begitulah. Rasanya liburan kali ini lebih melelahkan. Ya iya lah, kan liburan sebelumnya cuma mondok depan PS2. Tapi liburan yang sekarang lebih menyenangkan! Banyak hal baru yang dilihat dan dirasakan. Mudah-mudahan liburan antar-semester 3&4 bisa meneruskan menyetir, dan liburan kenaikan tingkat bisa dipakai ke Bali (lagipula peliharan Yodi toh sudah entah di mana sekarang :P)...


Cheers!

Saturday, May 31, 2008

Osjur, The Apprentice, dan Roti Goreng Kornet

Hari ini hari Sabtu. Hari Osjur. Dan aku males banget ikut osjur. Udah kebayang kakak angkatan yang sok judes, PBB yang bikin tepar, dan tugas-tugas konyol yang bikin pingin nimpuk.

Tapi, aku harus datang. Aku udah keseringan bolos. Lagian, toh cuma tiga hari lagi ini. Kalau ada PBB, aku tinggal bilang bronkhitisku kambuh lagi :P

Jadi, hari ini bangun pagi (sepagi hari kuliah biasa), terus mandi, pake baju, dan masukin lagu kampus ke MP3 player cz harus hapal pagi itu juga (mana lagunya bikin ngantuk, lagi)...

Sampai di kampus (yang agak bikin capek cz jalan Dago macet total pagi itu), sempet bengong pas liat banyak banget anak SMA berseliweran. Oh iya, hari ini kan USM! Mana labtek biru dipake tempat ujian, pula (aku ngintip peta USM orang di angkot). Mau osjur di mana?

Jawaban datang setelah aku bertemu Jamjam; dalam bentuk kakak berjahim kuning yang datang mendekat. Ternyata kumpulnya dipindah ke Taman Ganesha! Gila aja, kita baru tahu pas tiga menit sebelum masuk! Udah aja itu mah lari-larian sampai keluar kampus (dan agak susah coz aku kedorong-dorong tas beratku).

Permulaan osjur... standar lah. Cek barang, seru-seruan standar (“Siapa kalian?!” “Teratai Mudaaa...!”). Yang berbeda, hari itu nggak ada PBB! Aku cuma bisa nahan ketawa (coz kayaknya kita nggak boleh ketawa) pas Kak Maulina dan kakak entah siapa bergaya mirip presenter acara TV.

“Kalian tahu siapa kami? Kalian nggak usah tahu siapa kami. Yang jelas, kami punya duit!” ujar Kak Maulina mengawali acara.

Intinya, anak-anak teratai muda diberi modal dua puluh lima ribu untuk bikin usaha yang balik modal dan (syukur-syukur kalau) menghasilkan untung dalam empat jam. Aku masuk kelompok lima, yang beranggotakan aku, Oji, Ochad, Hadian, Boru, Ela, Mirna, Ochie, Finda, Arni, Rynda, Oya, ma seorang lagi. Kita dikasih waktu setengah jam buat ngonsep sebelum akhirnya kita presentasi dan realisasi konsep tersebut.

Pas ngonsep, jelas terlihat kalau kita nggak ngerti kita tuh disuruh apa. Kita mau jualan barang, itu pasti. Masalahnya, barang apa? Makanan? Kita mau jualan minuman di Saraga ketika si kakak bilang tempat jualan ditentukan panitia.

Akhirnya diputuskan: kita bikin dan jual roti kornet. Yup, kita masak makanan yang akan kita jual. Anak-anak bilang, roti kornet buatan Boru enak. Yaudah, kita pikir itu aja.

Ngonsep selesai, terus presentasi. Jujur, agak keder pas denger presentasi kelompok lain. Mereka semua mau jualan donat, snek macam momogi, dan minuman botol. Barang dagangan mereka udah jadi semua (donat mesen dari relasi); cuma kelompok lima yang pake acara masak sendiri! Kakak-kakak penguji udah nanya-nanya aja sama kita (“Masaknya di mana?” “Berapa lama waktunya?”) dan dijawab dengan diplomatis oleh sang ketua kelompok: Oji (Bravo!).

Beres presentasi, kita bikin yel-yel (“LIMA ROTI KORNET! HAP!”). Empat orang beli bahan di Balubur, sisanya bantuin Rynda siap-siap (kita masak di kosan Rynda). Sempet capek juga coz kosan Rynda cukup jauh. Sempet ada masalah sama harga roti dan kompor butana, namun semua selesai begitu cepat. :P

Ternyata, estimasi kita salah. Kita kira, kita bisa bikin empat puluh potong roti kornet, Nggak tahunya, harga roti naik sehingga kita cuma bisa bikin 32 potong. Harga satu potong roti kira-kira dua ribu. Kalau aku di posisi konsumen, kayaknya nggak mau aku beli roti seharga segitu :P

Anak-anak cewek mulai masak dengan riuhnya. Seksi adonan sibuk dengan adonan yang keasinan dan kurang asin. (“Cobain dulu, deh.” “Keasinan! Lo masukin segimana sih garamnya?” “Masa? Rasa tepung doang, kok.”) Seksi kornet mulai menumis bawang bombai dan bawang putih. (“Wangi banget. Apa aja tu?” “Bawang doang, Fer.” “Anu... itu kornetnya baik-baik saja? Kok ngegumpal gitu?” “Ini kornet bagus, nggak? Kata Mama, kalau kornetnya nggak bagus, jadinya nggak enak.” “Hmm... sedeng, lah...”) Boru sibuk menelepon sang Mama untuk konsultasi resep. Aku menemani Oji balik ke kosannya untuk pinjam wadah Tupperware. Cowok yang lain? Bobo, dong! Dasar...

Keadaan dapur yang super hectic :P

Jualan kita nih... Rasanya nggak kalah lho!

Akhirnya, setelah beberapa kakak angkatan menerobos ingin tahu, enam belas potong roti kornet siap dijajakan. Kloter pertama penjual pun terbentuk: saya, Oji, Finda, Ochie, Mirna. Diiringi empat kakak angkatan, kami pun berangkat jualan.

Perjalanan menuju borromeus menjadi perjalanan penuh tawa (ada yang ngumpet di balik tiang listrik karena malu ngejualin; ada mang-mang yang ngegodain kita dengan bilang mau beli semuanya kalau harganya seribuan). Aku sempat bertanya pada mereka pas sampai di jalan Dago karena terinspirasi sama Yakitate! Ja-pan, “Ada yang udah nyobain dagangan kita?”

Dan, jawaban mereka mudah ditebak. “Nggak.” Aiiih...

Yaudah, satu orang ngasih seribu (ceritanya kita beli dagangan kita sendiri). Kita sengaja pilih yang bentuknya paling abnormal (yang kayak bumerang Australia), trus kita bagi empat (Asalnya sempet lempar tanggung jawab siapa yang mau jadi tester; kakak mentor kita nggak mau, lho! Apa masakan kita se-beracun itu?). Rasanya? Entah, coz aku langsung telen sehabis dikunyah dua kali (“Yah, si Ferdi mah udah dimakan duluan!” seru Oji), tapi rasanya lumayan sih.

Sekali lirik sudah cukup membuktikan kalau Borromeus bukan lahan pasar yang bagus. Kita memutuskan untuk belok ke Jalan Ganeca. Di sana, Ibu-ibu berbaju pink menjadi pembeli pertama kita. Dia beli tiga langsung, dong! Kita langsung mendoakan, semoga anak si Ibu diterima USM-nya. AMIN!

Pembeli kedua kita adalah Bapak-bapak bertampang streng yang kita juga nggak nyangka bakal beli makanan kita. Dia langsung beli lima, katanya anaknya belum sarapan. Dan, kita sempet berheboh ria pas bapak itu minta keresek; nampannya bahkan hampir jatuh, lho! Aku nemu keresek di tas, dan agak malu ngasihinnya ke si bapak karena ada print-an Point Samudra di kresek itu.

Berbekal pengalaman, kita memajang antis sebagai bukti kalau kita sanitasinya terjamin (nggak nyambung :P).

Sepanjang perjalanan, Finda membuktikan diri sebagai SPG terbaik yang pernah kami punya (:P). Dia selalu menawarkan roti goreng kita pada siapapun yang berminat (bahkan pada pak polisi yang lagi parkir). Pernah suatu ketika, kita papasan sama empat orang cowok. Pas kami dan mereka mulai kepisah, Finda mendadak teriak, “Hei! Mau jual... sori, maksudnya beli...”

Kita semua kaget, jelas. Empat cowok itu apalagi. “Eh... enggak...” jawab salah satu dari mereka.

Abis itu, kita semua ngakak abis :P

Pembeli ketiga—dan terakhir kami dapatkan setelah jalan memutar Ganeca-Taman sari (bonbin)-Saraga. Buset, niat banget kita. Kakak mentor kita aja udah meninggalkan kita (dan misuh-misuh pas akhirnya sampai ke spot terakhir kita. “Kalian bikin saya tepar, tahu nggak!”). Pembeli itu langsung memborong roti kami sampai habis! Alhamdulillah! Memang, orang tua yang anaknya ikut USM memang paling loyal! Semoga putranya keterima di SBM ya, Bu!

Ceritanya, dagangan kita habis, jadinya kita meet up sama kloter dua penjual (lewat kampus lah, nggak mau gua muter balik kayak tadi :P). Ternyata, mereka jual rotinya seribu lima ratus each! Yaudahlah, yang penting balik modal :P

Habis ishoma, ada presentasi lagi. Sempet minder pas tahu kelompok lain sukses-sukses. Bahkan ada yang keuntungannya sampai 82.000! Tapi... ternyata aku nggak perlu minder, coz kelompok lima jadi juara satu, lho! Kita menang jauh di hasil akhir (poin kita 89, sementara klompok lain paling tinggi 83-an). Heran, kok bisa? Padahal profit kita paling kecil, lho. Tapi biarlah. Yang penting juara!

Tropi juara :P

So, untuk mengakhiri posting ini, mari kita tampilkan yel-yel tercinta:

“LIMA ROTI KORNET! HAP!”

Moral of the story: relasi dan teamwork penting banget dalam per-wirausaha-an. Dan, nge-danus-lah saat USM diadakan :P

P.S.: Lagi suka lagunya Andra and The BackBone: Main Hati. Lagunya bagus, tapi miskin lirik (urgh). Gila... kapan ya gua bisa kayak di lagu itu...?

Monday, May 26, 2008

Huff... Puff...

Hari ini, saya belajar hal yang cukup penting dalam hidup saya...

Kalau menjadi manusia itu susah ternyata :P

Nggak, ding...

Saya sadar, sudah terlalu lama saya isolasi diri saya. Sampai saya kehilangan kepekaan saya terhadap perasaan orang lain. Sampai saya tidak bisa membedakan mana yang pantas untuk dipasang di halaman umum dan mana yang lebih baik saya simpan di folder terdalam di hardisk saya. Sampai akhirnya saya menulis tentang seseorang seolah-olah dia itu sangat jahat terhadap saya.

Padahal, itu tidak benar sama sekali. Yang saya tulis adalah dirinya versi imaji saya. Dan imaji saya sudah hilang jauh sebelum saya menulis postingan itu.

Lalu kenapa saya menulisnya lagi?

Tak tahu...

Tadinya mau nulis seribu macam pembenaran, tapi kayaknya itu nggak akan membawa faedah terhadap siapapun. Saya telah melukai hati seseorang; itu kenyataan yang tak bisa saya ubah.

Lalu, apa yang bisa saya lakukan? Apakah maafku bisa diterima sekarang?

Entahlah...

Tapi, kalau kamu membaca postingan ini... aku benar-benar minta maaf...

Saya rela melakukan apa saja untuk menerima maaf kamu...

Hufff.. pufff...

Friday, May 16, 2008

J-5 Menuju UTS Kimia!!!

Arrgh, gila! Tinggal lima jam lagi menuju UTS Kimia, dan aku malah santai-santai di Blogspot!

Tuhan... gimana nih...?

AKu nggak mau ikut UAS kayak smester 1. Cukuplah aku menderita seperti itu kemaren.

Dan begonya, tadi tuh aku malah karaokean di depan speaker kompie, nanyiin lagu Only When I Sleep-nya The Corrs, yang dipadok dari kompie-nya si Adit.

Ah, nggak apa-apalah. Anggap saja perayaan kebangkitan diriku yang baru.

Yup! AKu udah nggak ngerasa kesepian lagi. Aku udah mampi mengendalikan perasaanku kalau ditinggal orang lain. Aku udah nggak butuh status menyusahkan ini lagi. Aku nggak butuh dia lagi.

Lagu The Corrs itu memang melambangkan perasaanku yang sesungguhnya. Bagiku, dia hanyalah mimpi. Dia kujadikan bukti kalau aku dibutuhkan, kalau aku nggak sendiri. Karena itu, aku langsung menyanggupi permintaannya; karena dia bilang akan menghilangkan kontak denganku seandainya aku menolak atau tidak menjawab.

Sejak hari itu, aku dirundung bimbang. Hatiku kacau, berkecamuk bagai badai. Aku tak bisa cerita. Tidak pada siapapun, karena itu pertaruhan yang kejam. Aku tahu, aku ingin sekaligus tak ingin berada dalam situasi seperti ini.

Dan, kini aku tahu kenapa aku ingin berada di situasi ini: karena aku tak ingin sendiri.

Dan kini aku menyadari aku tak butuh itu lagi. Karena aku memang tak sendiri.

Untuk orang yang kumaksud, seandainya kamu membaca ini (yang kayaknya nggak mungkin coz dia nggak tahu apa-apa selain muka dan nomor HP-ku) dan membaca SMS-ku tadi pagi, mudah-mudahan kamu menangkap makna ganda di dalamnya. Dan kuharap kamu mau memutuskan apa yang terbaik untukmu dan untukku berdasarkan makna ganda dalam sms-ku itu. Karena kini aku telah kembali menjadi diriku yang dulu, yang bisa bilang, "Kasihan deh lo," pada lirik lagu cengeng yang menceritakan betapa sulitnya hidup tanpa si dia. Karena kini aku tak peduli akan kelangsungan hubungan kita yang twisted bagiku namun normal bagimu. Kalau kau masih membutuhkan aku, aku dengan senang hati menyambutmu. Karena kau sempat bertahta di hatiku.

Arrgh, makin nggak penting! Ayo belajar Radiokimia!

(User disconnected)

P.S. Bagi pengunjung yang kebetulan nyasar di lembah tak berujung ini, mohon komentarnya yah! Ditunggu!

(Katanya disconnected? Nggak konsisten)