Oke... sebelum gw mulai postingan kali ini, gw musti klarifikasi satu hal: gw bukan kursi-filik, apalagi fetishee kursi. Bagi gw, kursi adalah benda biasa yang diciptakan untuk kemaslahatan umat manusia.
Kecuali mungkin kursi yang menjadi bintang utama postingan ini.
Semua orang di dunia ini--paling nggak di Indonesia--pasti pernah pergi ke Mall, kan? Tentu tahu kursi pijat otomatis yang suka ada di tiap mall. Yang pramuniaganya suka ngasih kesempatan undian, terus mendadak ujiannya "kena" dan kita boleh bawa barang yang kita "kena" itu dengan seabrek persyaratan yang intinya nyuruh kita beli di situ. Biasanya ayah suka memanfaatkan kesempatan "trial" itu untuk dipijat gratis. Dan gw... jujur aja... menatap iri. Kayaknya enak deh dipijat kaya gitu.
Dan tadi, gw akhirnya mendapat kesempatan untuk mencoba si kursi itu...!
Ceritanya begini. Hari ini Idul Adha (sekalian mau ngucapin Selamat Idul Adha buat yang merayakan, hehehe), dan biasanya perayaan Idul Adha di keluarga gw lebih singkat ketimbang Idul Fitri. Karena acara kelar jam 3, orang tua ngajak jalan. Ya sudah, berangkatlah kami ke BSM tercinta karena paling dekat sama rumah...
Nah, di BSM, ayah yang lagi sakit punggung langsung mencari kursi pijat dengan harapan dikasih kesempatan trial (walaupun pasti akhirnya nggak beli). Gw, yang menganggur, akhirnya bersandar di palang pembatas sambil membaca bukunya Benny and Mice yang Jakarta Atas Bawah (gw rekomen banget deh!). Salah satu pramuniaganya nyadar, dan manggil gw supaya duduk di dalam tokonya. Lalu, karena nggak ada kursi di situ, si mbak menor berambut bob (halah) itu berkata, "Ya udah, duduk di sini aja, Mas," sambil menunjuk si kursi pijat.
Gw menatap si Mbak. Serius nih?
Tatapan si Mbak seolah berkata, "Iya. Ayo cepet, udah nggak tahan nih..." (Emangnya apaan?)
Ya sudah. Jangan salahkan gw kalau akhirnya kenapa-napa. Gw pun akhirnya duduk di kursi pijat. Si mbak itu mulai menekan-nekan tombol di pegangan kursi.
Dan siksaan itu pun dimulai.
Feeling gw mulai nggak enak pas sandaran kursi itu mendadak merebah dan muncul benda-benda gaib seukuran bola pingpong yang muncul dan bergerak-gerak mistis. Si Mbaknya dengan enteng berkata, "Nyantai aja, Mas. Kan lagi dipijet. Ayo, sandaran ke kursinya."
Gw ketawa getir. Bola-bola sialan itu bikin gw susah nyandar. Dan, entah karena gw yang terlalu tinggi atau kursinya didesain untuk orang yang pendek, tuh bola-bola akhirnya menggesek-gesek tulang belikat gw, bikin gw nggak nyaman. Seakan nggak cukup, kaki gw dibelit sesuatu yang bergerak-gerak kayak ular. Betis gw dipencet sampai keras banget, bikin kram. Gw punya dugaan, tuh alat harusnya nangkring di belakang lutut, bukan di betis gw.
Mungkin menyadari penderitaan gw, mbak-mbak itu berkata, "Merem aja, Mas. Biar rileks."
Oke, gw mencoba merem. Cukup membantu sih. Tapi... cobaan berikutnya datang... dalam bentuk si Mbak itu! Dia ngajak ngobrol gw, nanya-nanya hal penting yang seharusnya dia nggak usah tahu. Berikut petikan wawancara yang gw anggap paling dodol.
Mbak Pramuniaga (PR): Mas dari mana?
Gw: Sukabumi, tapi sekarang di Bandung.
MP: Oooh... kuliah di mana?
Gw: ITB.
MP: D3 apa S1?
Gw: (menatap pramuniaga dengan heran) S1.
*Selama gw kuliah di ITB, belum pernah gw denger kampus gw buka D3. Dan gw yakin itu udah common knowledge.
MP: Masih lama dong... Beasiswa ya?
Gw: Nggak kok. SPMB
*Oke, gw bohong. Soalnya kalau gw bilang gw dari USM, makin mungkinlah kita diporotin sama tuh pedagang.
MP: Wah, keren ya! Saya dulu ikut SPMB nggak masuk-masuk lho...
GW: . . . (silence)
MP: Oh iya, mas kok tinggi sih? Gen, ya?
Gw: Mmm... iya sih... (nggak tahu harus gimana)
MP: Oooh... mungkin karena itu saya pendek ya? Tapi... nggak ah. Kakak saya tinggi-tinggi kok...
Gw: (masih speechless)
MP: Nggak enak lho, punya tubuh pendek. Kan susah tuh kalau mau ambil-ambil barang. Kira-kira kenapa tuh ya, Mas?
Gw: Yaa... mungkin karena gen juga kali. Yang turun gen pendeknya...
MP: (Ketawa garing)
Dan, akhirnya, dia nyentuh gw! Okelah, dia udah kelihatan SKSD banget sama gw, tapi kali ini agak... wow. Dia megang-megang tangan gw, lho! Sampai hampir ngeremes segala. Seakan itu belum cukup, dia mulai megangin paha gw. Untung saja, di saat itu, waktu pijat gw habis dan perhatian si Mbak beralih ke kontrol si kursi.
Seharusnya gw nggak bersyukur. Ternyata kursi neraka itu dinyalain lagi sama si Mbak-nya. Dan gw harus "menikmati" pijat neraka itu lagi selama 15 menit ke depan.
Akhirnya, gw tahu, ternyata semua itu adalah akal-akalan pramuniaga di sana untuk menahan gw dan orangtua gw agar tidak pergi sebelum membeli. Kita sempat berdebat alot dulu sebelum akhirnya berhasil membebaskan diri. Habis itu, kita cepet-cepet keluar dari BSM karena mau pulang--dan akhirnya balik lagi karena mau makan.
Dan, in the end, gw bertanya-tanya, "Adakah orang yang mau membeli kursi neraka itu?"
"Atau gw-nya aja yang terlalu ndeso sehingga malah sakit badan setelah pake itu?"
Cheers!
Monday, December 8, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
WAh...Fer..loe tersiksa ama ceweknya ato kursi pijatan? hahahah...
BOTH!
Wkwkwkwk
Post a Comment