Tuesday, August 26, 2008

Kekompakan Berdasar Tradisi?

Hari ini, aku baru sampai di rumah pukul tujuh. Sebenarnya sih nggak terlalu masalah kalau aku pulang telat gara-gara kuliah. Toh, namanya juga mahasiswa, kewajibannya belajar. Tapi aku pulang malam gara-gara ada kumpul angkatan dulu.

Heugh. Kumpul angkatan. Dengarnya saja sudah malas. Yang terbayang di ingatan saat mendengar frasa “kumpul angkatan” adalah pertemuan yang mulainya pasti ngaret, yang diomongin nggak jelas, dan pertemuannya pasti lama tapi nggak berbobot.

Dan itu terjadi tadi sore (sampai malam), membuatku tergoda untuk mem-post-nya di sini.

Jadi, ceritanya, hari ini kumpul lagi untuk ngomongin hal yang (bagiku) nggak terlalu penting: identitas angkatan sebagai anggota himpunan. Aku termasuk orang yang nggak peduli dengan bagaimana jadinya identitas angkatan itu. Mau desainnya unik, warnanya ngejreng, selama nggak menyalahi aturan nggak masalah. Yang penting enak dipakai.

Hmm... buat yang nggak ngerti, gini aja deh analoginya. Kamu adalah orang yang baru masuk ke toko roti terkenal (berasa Yakitate Ja-Pan). Toko roti itu punya roti andalan yang super enak. Kalau orang mau mencari roti yang satu itu, mereka tahu harus mencari di tokomu. Nah, kamu menemukan resep roti itu dan memodifikasinya sehingga menjadi jauh lebih enak, namun mempertahankan ciri khas roti toko itu. Bukan hanya kamu yang bilang enak, teman-teman bahkan seniormu di toko itu pun bilang roti temuanmu enak. Lalu, tiba-tiba saja ada orang asing yang tiba-tiba bilang rotimu beda dan tidak enak, padahal dia belum pernah mencicipi baik rotimu maupun roti toko itu, apalagi membuatnya.

Seperti itulah kira-kira.

Nggak tahu kenapa, topik itu selalu diulang di setiap kumpul angkatan sampai hari ini. Semua sudah excited, merencanakan detil di sana-sini. Seorang yang berbakat merelakan diri bekerja demi mewujudkan impian anak-anak seangkatan. Semua sudah sempurna, anak-anak sudah setuju, kasarnya sudah tinggal di-“jadi”-in saja. Lalu sekumpulan orang nyeletuk, “Kok beda yah?” dan akhirnya terpaksa dirapatin lagi. Rancangan yang sudah jadi terpaksa divoting ulang dengan alasan tradisi dan kekompakan.

Tampak jelas dari kumpul angkatan kali ini kalau semua sudah bosan ngomongin itu. Yang datang hanya 43 dari 120-an anak. Sebagian besar nggak ngerti kenapa musti masalah ini yang diangkat, secara masih banyak hal lain yang lebih perlu dibicarakan, seperti expo himpunan nanti November. Diskusi pun berjalan alot sampai akhirnya seseorang cukup cerdas untuk menanyakan inti dari kumpul angkatan ini.

“Apakah kita harus seragam agar bisa kompak? Bisakah kita tetap kompak walaupun tampilan kita beragam?”

Mulai dari sini, kayaknya aku mau break dulu nyumpahin kumpul angkatan nggak guna tadi. Aku tertarik mengomentari pertanyaan “penting” tadi itu dulu.

Pertanyaan itu memang susah dijawab. Seperti menjawab pertanyaan, “Lebih dulu ayam apa telur”, kedua jawaban valid. Baik ayam maupun telur adalah jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu, bila dilihat dari sudut pandang tertentu.

Ya, keseragaman memang bisa membuat kita kompak. Karena kita merasa satu. Satu keluarga. Satu visi. Satu keinginan. Ekstremnya, satu tubuh. Mungkin itulah dasar pemikiran para penggiat komunis-sosialis di luar sana. Masuk akal sebenarnya, kalau ditilik lagi.

Sayangnya, itu nggak mungkin terjadi. Di Al-Qur’an disebutkan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Itu artinya kita memang diciptakan berbeda. Dan, menyeragamkan sesuatu yang dari lahirnya sudah berbeda itu nggak mungkin. Itu artinya mengubah aspek lahiriah maupun batiniah agar menjadi satu hal yang sama. Suatu hal yang kayaknya nggak mungkin dilakukan tanpa agresi atau tekanan, dan kedua hal itu menyalahi hak asasi manusia.

Pemecahannya simpel, sebenarnya. Manusia tinggal menerima fakta kalau masing-masing dari mereka itu berbeda. Dan mereka juga harus meyakini kalau perbedaan dibutuhkan agar semuanya bersatu dalam harmoni. Saling menyeimbangkan. Saling membantu. Saling melengkapi. Dengan begitu, bukan tak mungkin kekompakan yang solid dan hakiki akan tercapai.

Masalahnya sekarang, sulit sekali membuat manusia menyadari hal penting itu. Manusia punya ego, selalu merasa dirinya (atau sukunya, atau bangsanya, atau apapun yang ia banggakan dan kaitkan dengan dirinya) paling hebat, paling agung, atau semacamnya. Hal itu membuatnya kesulitan menerima pendapat dari sudut pandang lain mengenai masalah yang sama. Belum lagi penyakit xenofobia (takut sama orang asing) yang bikin kita berprasangka yang bukan-bukan terhadap orang asing (atau tepatnya orang yang tak terlalu kita kenal). Okelah, berhati-hati boleh, tapi tidak berlebihan, apalagi sampai menyakiti hati orang itu.

Balik lagi ke masalah kumpul angkatan, ada satu hal lagi hal yang ingin aku soroti di sini: tradisi. Yup, salah satu alasan mengapa rancangan itu di-voting ulang adalah karena tidak mengikuti tradisi yang berlaku sebelumnya. Dan hal itu berujung pada masalah “seragam-dan-kekompakan” tadi (tentu saja di sini konteksnya kekompakan antar-angkatan).

Aku sendiri bukannya tidak setuju dengan tradisi. Tradisi adalah kekayaan imateril, sesuatu yang harus dijaga dan diturunkan pada generasi penerus. Tapi, zaman sudah berubah sekarang. Kita sudah dituntut untuk memilih mana yang paling sesuai dengan tuntutan zaman. Dan, kalau inovasi menawarkan kelebihan-kelebihan sementara tradisi tidak memberi nilai tambah, kenapa juga maksa ikut tradisi? Seharusnya malah tradisi itu kita beri inovasi sehingga makin bisa bertahan melawan kerasnya zaman. Betul nggak?
Akhirnya kumpul angkatan berakhir dengan voting ulang (walaupun ketua angkatannya nggak setuju sama sekali). Dan hasil yang dituai sama dengan hasil voting sebelumnya, walaupun kali ini beda tipis. Syukurlah, akhirnya masalah ini selesai juga. Udah bosen nih tiap ngumpul ngomongin itu melulu.

Cheers!

No comments: