Sunday, August 17, 2008

Tujuh Belasan...

Di hari ini, ada yang berbeda. Hari ini adalah satu-satunya hari di mana aku dibangunkan oleh lagu keras yang diputar di jalan depan rumah. Bukan sembarang lagu, pula. Lagu itu adalah lagu Hari Merdeka.

Yup. Today is Indonesian Independence day, the day that Ir. Soekarno declares our independence from those who colonize us. Today is the day that we stand up for the first time as an independent country (and without the right regulation too at first).

Dan, hari seperti ini identik dengan tiga hal: libur, upacara bendera, dan lomba-lomba khas tujuh belasan. Iya, kan?

Kalau masalah libur, wajarlah. Hari ini kan hari sakral bagi warga Indonesia. Hari ini kan musti diperingati dengan penuh kesungguhan, dan nggak mungkin itu terjadi kalau warga Indonesia harus bekerja atau sekolah di hari ini, kan? (Backsound: bilang aja pengen liburan)

Upacara juga, standar lah. Toh, waktu sekolah berseragam tuh setiap hari Senin kita harus ikut upacara bendera, kan? Dan, di hari sakral ini, seluruh instansi seolah berlomba-lomba mengadakan upacara bendera. Bahkan warga RT 01 RW 02 (which is my home) pun mengadakan upacara bendera di jalan depan rumah. Sempat diajak ikut upacaranya, sih. Tapi… malas ah. (:P)

Nah, yang ketiga ini yang bikin penasaran: lomba-lomba tujuh belasan. Walaupun sekarang ada lomba-lomba yang lebih “wajar” seperti lomba futsal dan lomba bulu tangkis, tetap saja aku penasaran sama lomba-lomba yang unik-unik dan khas-tujuh-belasan macam panjat pinang dan makan kerupuk. Kenapa harus lomba-lomba itu? Apa maknanya? Kenapa tata caanya harus seperti itu? Sumpah, aku penasaran banget. (Biasa, otak kelebihan nutrisi akibat dipakai tidur melulu pas liburan. Pas kuliah nanti, pasti nggak akan kepikiran hal kayak gini)

Jadi, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, aku ingin membahas dan menelaah (cuih, bahasanya) satu persatu lomba-lomba yang diadakan itu. Tentu saja telaahnya akan dangkal, ngaco, dan kadang-kadang so-out-of-the-world. So, don’t take it seriously, ok?

(Catatan: karena nggak terlalu up-to-date soal lomba-lomba tujuh belasan, mungkin ada beberapa lomba yang tertulis di sini namun tak lagi dilakukan di dunia nyata. Maklum, otak angkatan tua. Hehehe…)

Panjat Pinang

Ini adalah lomba paling standar yang muncul di acara tujuh belasan. Pasti tahu dong mekanismenya gimana? Sebuah batang bambu diberdirikan, di atasnya diberi lingkaran dari bambu juga. Di lingkaran itu digantungkan bermacam-macam hadiah, tergantung dana yang dialokasikan pemrakarsa lomba. Paling banter sabun, kaos, atau mi instan karton, tapi aku pernah melihat mini compo ditaruh di situ juga (atau dusnya aja kali ya? Mini compo kan lumayan berat). Dan, batang bambu itu diolesi oli agar licin setengah mati. Intinya adalah, bagaimana caranya mengambil hadiah di atas bambu tersebut.

Kayaknya, dari sekian banyak lomba tujuh belasan, lomba ini yang paling jelas maknanya. Makna utama tentu saja gotong royong, karena batang bambu itu nggak mungkin dipanjat saking licinnya. Panjat pinang juga mengajarkan untuk tahu diri dan posisi; orang berbadan gempal musti tahu diri dan bersedia merelakan bahunya dipijak orang lain, nggak peduli misalnya dia juragan sapi atau ketua RT, misalnya. Panjat pinang juga mengajarkan untuk berpikir cepat dan tahu skala prioritas, karena orang yang sudah di puncak pinang bisa jatuh kapan saja; orang itu nggak boleh ragu-ragu atau dia akan terjatuh dan tidak mendapat apa-apa. Satu makna lagi, yakni melatih kesabaran sang istri, karena celana pendek suami mereka pasti penuh dengan oli yang (kayaknya) susah dicuci. (:P)

Yang bikin aku penasaran, kenapa namanya “Panjat Pinang”? Kenapa nggak “Panjat Bambu”, secara yang dipanjat bukan pinang tapi bambu? Gara-gara itu, saya jadi sempat berpikir kalau pinang adalah sinonim dari bambu sebelum mata pelajaran biologi membukakan mata saya kalau pinang masuk famili kelapa-kelapaan sementara bambu masuk famili rumput-rumputan. (iya, tahu. Emang nggak penting dibahas, sih.)

Balap Makan Kerupuk

Lomba ini adalah lomba yang dulu sering diadakan oleh mama di halaman rumah, dan diadakan bukan pada hari tujuh belasan. Pesertanya tentu saja aku, adik-adikku, dan anak-anak tetangga. Dari segi finansial, lomba ini juga cukup murah. Beli saja seutas rapia dan beberapa kerupuk. Ikat dan gantungkan kerupuk setinggi mulut peserta, dan biarkan mereka berusaha memakannya tanpa menggunakan tangan. Tentu saja semua sudah tahu, kan?

Mengenai maknanya, seorang teman telah menyumbangkan pemikirannya yang berharga pada kita (kita? Lo aja sendiri kaleee). Seperti yang kukutip dari beliau, lomba ini “Mengajarkan para anak-anak untuk hidup sengsara. Kerupuk kan murah, nggak enak, udah gitu dimakannya susah lagi. Intinya, kita harus mau hidup prihatin agar bisa hidup.” (lho?)

Jujur, aku agak kurang setuju akan pendapatnya mengenai kerupuk. Okelah, memang kerupuk kampung itu murah, tapi siapa bilang nggak enak? Kerupuk kampung yang putih berulir dan bahannya dari tapioka itu enak banget kali. Apalagi kalau kecoklatan karena gosong. Pas digigit, hmm... langsung melting gitu deh di lidah! Sensasinya itu lho, nggak ada yang ngalahin, deh!

Kok jadi ngomongin kerupuk, ya? Maaf, maaf, keburu nafsu. (:P)

Saya sendiri punya teori yang sedikit berbeda: lomba ini mengajarkan senam mulut yang berguna bagi para pembicara. Siapa pun yang pernah melakukannya pasti tahu kalau koordinasi bibir, gigi, dan lidah sangat dibutuhkan untuk menarik kerupuk agar mendekat ke mulut peserta. Orang yang sering mempraktikannya dijamin tidak akan keseleo karena kebanyakan ngomong (karena giginya sering mengatup padahal nggak kena kerupuk) dan memiliki lidah yang lentur untuk artikulasi sempurna (karena lidahnya sering liuk-liuk demi mengenai kerupuk yang langsung melting itu). No wonder orang Indonesia jago ngomong, pas kecilnya ikut lomba makan kerupuk, sih.

Balap Karung

Lomba ini juga tipikal lomba yang sering diperlombakan di mana saja kapan saja, nggak harus di acara tujuh belasan. Beberapa orang berusaha paling duluan sampai ke garis finis sementara kakinya (seringnya sih sampai leher) terbungkus karung goni. Tentu saja yang terjadi adalah peserta melompat-lompat lucu dan beberapa kali terjatuh (dan tentu saja ditertawakan penonton).

Aku punya teori tersendiri mengenai asal mula lomba balap karung ini. Ada kemungkinan, lomba ini diprakarsai oleh seorang produsen karung goni terkenal untuk mengiklankan betapa karung goninya kuat dan tahan banting. Yah, lebih kurang kayak Levi Strauss yang mengikatkan celana jeans produksinya ke dua kuda yang dipacu ke arah yang berlawanan. Aku malah bisa memikirkan kalimat iklannya sekarang: “Karung Goni cap Pak Goni! Kuat, bandel, dan serba guna! Bukan sekedar karung beras, tetapi juga cukup kuat untuk jadi kendaraan, bahkan sleeping bag!”

Oke. Aku ngaco.

Lomba ini, kayaknya, memiliki esensi penting di dalamnya: teruslah maju walaupun kakimu terbungkus karung goni. Teruslah bangkit walaupun mukamu terjatuh di kubangan lumpur. Teruslah melompat walaupun sainganmu terpelanting karenanya. Pokoknya, apapun yang terjadi, melajulah ke garis finis!

Satu lagi, lomba ini harusnya diadopsi Rinso karena sejalan dengan tagline iklannya: kalau nggak noda ya nggak belajar. Seringnya sih malah bajunya yang sobek karena terjatuh di aspal. (:P)

Lomba Memindahkan Belut

Dari namanya saja sudah ketebak, kan? Peserta disuruh memindahkan belut dari satu baskom ke baskom lain. Pada tahu belut, kan? Itu lho, ikan yang panjang berlendir kayak ular yang bisa bikin cewek-cewek menjerit-jerit jijik.

Salah satu esensi lomba ini, kayaknya sih, adalah untuk mengingatkan kalau Indonesia adalah negara agraris. Seperti yang (sebagian dari) kita tahu, belut biasa tinggal di sawah dan biasa didapatkan dengan cara ngurek (coba cari di wikipedia atau google kalau nggak tahu apa artinya). Seperti yang kita tahu juga, saat ini jumlah sawah mulai berkurang karena tanahnya dipakai untuk membangun industri. Dan, pembangunan industri berujung pada perubahan kultur budaya desa dan penurunan standar sanitasi lingkungan. Karena itu, stop industrialisasi!

Oke. Aku ngaco lagi.

Ada kemungkinan lomba ini menginspirasi orang-orang barat sana untuk membuat acara Fear Factor. Memegang makhluk licin berlendir yang tak hentinya menggeliat tentu saja menimbulkan sensasi tersendiri, bukan? Dan tampaknya mereka cukup pintar untuk membawa sensasi itu ke tingkat yang lebih tinggi, which is Fear Factor. Karena itu, mari kita perjuangkan hak kita sebagai inspirator utama Fear Factor! (Sori-sori, nggak bermaksud apa-apa, cuma lagi trance aja)

Esensi lain lomba ini adalah untuk mengetahui bagaimana cara memegang belut yang baik yang benar. FYI, belut adalah makanan berprotein tinggi dan bisa diubah menjadi dendeng, abon, atau keripik yang rasanya lezat. Jadi, siapa saja yang berminat menjadi juragan belut bisa menggunakan lomba ini sebagai sarana untuk melatih karyawannya—atau malah menjadikannya tes masuk. Bagaimana, tertarik?

Memasukkan Pensil (atau Paku) ke Botol

Dari namanya saja, lomba ini terdengar begitu mudah. Apa sih susahnya memasukkan paku ke botol? Nah, coba bayangkan bagaimana kalau paku itu diikatkan pada seutas tali, terus talinya diikatkan ke perut sehingga si paku menggantung melewati (maaf) bokong, lalu dimasukkan tanpa bantuan tangan ke mulut botol yang menganga. Masih berpikir lomba ini gampang?

Kalau ditilik, lomba ini memiliki pesan moral yang hampir sama dengan lomba makan kerupuk: belajarlah hidup prihatin. Seperti kita tahu, pada zaman (sebelum sampai) kemerdekaan, keberadaan kloset duduk bisa dihitung dengan jari (atau mungkin malah nggak ada). Orang-orang dulu biasa buang air di jamban berupa lubang di lantai atau bilik bambu di atas kolam kian (mereka jijik nggak ya kalau tahu ikan emas yang mereka makan tuh ternyata makan “kotoran” mereka?).

Karena itulah, lomba itu sengaja dirancang agar orang-orang masa kini mengerti bagaimana rasanya menggunakan kloset jongkok sekaligus melatih mereka agar menemukan posisi yang bagus untuk jongkok dan (maaf) BAB. Sebuah majalah kesehatan pria bahkan mengetengahkan gerakan itu sebagai cara ampuh mengetes kekuatan paha. Tentu saja, mereka tidak menganjurkan kita untuk mengikatkan paku ke perut seperti saat lomba. (:P)

Sebenarnya sih ada lagi lomba-lomba lainnya, namun aku terlalu malas untuk mengulasnya di sini (dasar orang Indonesia). Satu hal yang bisa kutarik dari ulasan ini adalah orang Indonesia suka sekali mempersulit sesuatu. (:P)

Hehe, nggak ding. Piss ah... dan MERDEKA!

No comments: