Thursday, January 15, 2009

Trimaster: Prolog

(Ini adalah novel fantasi saya yang rencananya mau diterbitin independen. Tolong dikasih umpan balik yaa... pliiis...)

Prologue

Seandainya saja mereka tahu apa yang akan mereka hadapi, mereka pasti berharap takkan pernah dilahirkan.

Ruangan itu adalah ruangan terbesar yang pernah ada. Besarnya menyamai seluruh alam semesta—atau mungkin lebih. Ruangan itu didominasi warna putih keemasan yang khas. Arah tidak berlaku di dalamnya: tidak ada rasi bintang, cakrawala, bahkan papan penunjuk arah. Ke mana pun mata memandang, hanya warna putih yang tampak.

Dan ia berdiri di situ, di samping timbunan materi paling campur aduk yang pernah ada.
Jubah keemasannya berkibar dalam keheningan, menutupi tubuhnya dari kepala hingga kaki. Kecuali mukanya, tentu saja. Ia membutuhkan mukanya—dan kelima indera yang tersemat di sana—untuk mewujudkan cita-citanya.

Sebuah citra tergambar di depan matanya—atau di dalam benaknya, ia tak pernah tahu. Citra yang menggambarkan sekumpulan sosok yang sangat dikenalnya: manusia. Citra yang mengingatkannya akan sesuatu yang telah lalu, sesuatu yang ingin ia lupakan.

Dan, di antara kerumunan itu, ia mengenali tujuh sosok bertubuh sehitam arang. Mereka begitu kelam sehingga tampak kontras di antara lautan abu-coklat yang mengelilingi mereka. Tubuh mereka dililiti rantai abu-abu karatan. Mata mereka, yang hanya berupa celah berwarna tanpa bola mata, menggambarkan kesakitan dan kepedihan yang sulit diungkapkan.

Ya, mereka. Aku jadi merasa kasihan pada mereka.

Ia menggelengkan kepalanya keras-keras. Kasihan? Ia seharusnya tidak lagi merasa kasihan. Ia telah membuang perasaan tak berguna itu bersama banyak sekali hal lain dalam dirinya. Rasanya memang aneh, kosong, namun ia seketika terbiasa. Dan lagi, aku harus melakukan itu agar tujuanku tercapai.

Ia menoleh ke arah timbunan materi di sampingnya, yang mengingatkannya akan fondasi sebuah pilar. Sedikit lagi, pikirnya, aku hanya harus bersabar sedikit lagi.

—Trimaster—

Sudah berapa lama dia berada di kota ini, tidak ada yang tahu. Bahkan dia sendiri pun tidak tahu. Yang ia tahu, ia tak tahu ada di mana ia sekarang.

Kota metropolitan di kala hujan deras yang bagai ditumpahkan dari langit. Jalanan berubah menjadi sungai-sungai berair kelabu, membawa serta serpihan plastik dan kertas yang berasal entah dari mana. Mobil-mobil terperangkap di tengah, melengkingkan bunyi yang membuat telinga siapa pun panas mendengarnya. Langit berubah kelabu, seakan menjadi cermin raksasa yang memantulkan citra kota kelabu tepat di bawahnya.

Dan ia ada di sana. Meringkuk di bawah pohon damar besar di pinggir jalan. Tak peduli kalau ujung jubahnya yang koyak sudah terendam di genangan berbau lumpur dan sayur basi. Tak peduli kalau tetesan hujan dari sela-sela dedaunan tanpa ampun merajam kepalanya. Ia hanya meringkuk, memeluk erat sesuatu di dalam jubahnya bagai ibu melindungi anaknya.

Aku harus melindunginya, ulangnya dalam hati. Aku harus mengembalikannya pada pemiliknya.

—Trimaster—

“Jadi itu benar? Yang keempat akan datang?”

“Yang keempat sudah datang. Hanya saja, ia masih belum terbangun. Belenggunya terlalu kuat, tampaknya.”

Ia membanting tubuhnya ke kursi empuk di belakangnya. Ketenangan langsung membanjiri tubuhnya, memerangi kegalauan dalam hatinya. Ia benar-benar bersyukur telah menuruti konsultannya: piramida memang bagus untuk meditasi. Reflek, tangannya menarik lepas kacamata hitam yang sedari tadi menutupi wajahnya.

“Odin, dilarang menunjukkan siapa dirimu di dalam Valhalla. Kamu sendiri tahu itu, kan?” wanita di depan mejanya berbicara tajam.

Odin menatap muka wanita itu, yang juga ditutupi kacamata hitam. Ia tersenyum. “Hanya ada kamu di ruangan ini, Freya.”

Freya menatap sosok dewasa namun letih di hadapannya lekat-lekat. “Mengenai yang keempat, apa yang harus kita lakukan?”

“Aku tidak tahu,” Odin berharap suaranya terdengar tegar, “tapi kita harus berusaha untuk tetap hidup.”

Freya mengangguk. “Oh, iya. Satu lagi. Kami telah berhasil menemukan apa yang kamu inginkan.”

“Buku itu?” tanya Odin memastikan.

“Ya,” jawab Freya. “Tim riset dan inteligensi Trias berhasil menemukan suatu sinyal energi yang mungkin saja berasal dari buku itu.”

Gurat kelelahan langsung menghilang dari muka Odin. “Di mana?”

“Soal itu, maafkan kami. Kami tak bisa melacak di mana persisnya buku itu berada. Yang kami tahu, buku itu berada di ‘dunia-yang-satu-lagi’, mungkin malah dekat dengan rumahmu.”

Odin mengangguk takzim. “Kerja kalian bagus. Paling tidak, kita sekarang tahu kalau buku itu ada.” Ia menarik napas. “Tolong kalian cari lokasi buku itu. Kita butuh semua hal yang akan kita butuhkan kalau kita akan berperang dengan ‘mereka’.”

Tuesday, January 13, 2009

Me Against the Distro

What a provocative title, eh? Well, it wont hurt to do that once in a while, right? For all of you distro-lovers out there, just read my passage to know why, ok?

Here goes.

Distro. What in the world is this? It is the short of "distribution store", meaning, it's a store to distribute things. Or, to be more accurate, a store to distribute things that are made by the owner of the store (taken by wikipedia); those things are usually wearable like jacket, t-shirt, watch, shoes, you name it.

According to wikipedia, distro trends begin at 1990 as a way for indie band to sell their merchandise (maybe for raising funds). And some punk and skateboard community followed this trend; they built small shop to sell some merchandise. In 2007, there were 700 distro industries and 300 of them were in bandung. Wow, such big number, and almost half of them are in bandung. That shows how creative bandungers is, eh? (such narcissist I am)

Distro's plus point is their exclusiveness, because their products are produced in a limited number (not mass produced like factory-made garment). Another distro's plus points is their product's uniqueness, as in the printout of their t-shirt or the design of their jacket.

And, believe or not, this second plus point is what attracted me most.

Yes, I know. The title suggest that I hated distro. But, no. I don't hate distro. In fact, I'm in awe with them.

Correction: I'm in awe with their creativeness and uniqueness. There's something that catch your eye in their products and that "something" is not existed in mass-produced garments. It satisfies my needs of "be different", "be unique", and "be standout". To name one, it will be "Unkl347" and OUVALRSCH. They're the best i've met so far.

But,for some reason, I do hate distro. Because of its unfriendliness to big-bodied-boy like me. I'm 180/70. That means, the size that fit me well is XL. And, finding XL-sized in distro is like finding a grain of salt in the desert (if that makes sense, i made that up), it's hard to find one.

Just wanna tell stories, a year ago I fell in love with one of the unkl's jacket. It was typical brown, army-look jacket, but the design captivates my eye. But, when I was going to buy that, the shopkeeper said that the only size available is S. Of course it's in possible to fit me in that size, so I gave up on that. But, first love remains, and it makes me harder to choose which jacket to buy because I'm still loving that one jacket.

So, if any of you distro managers read my passage, please, be more friendly with big-bulky-bodied person like me. Ok?

Cheers!

Saturday, January 3, 2009

Anak Kos Dodol Lagi: Lucu dan Berhikmah (Lagi!)

Postingan kali ini bukan renungan atau ramuan teori ngaco made-in-Ferdy. Bukan juga jurnal harian yang kadang dodol dan bikin alis mengernyit. Tapi iseng-sieng bikin resensi. Yah... siapa tahu... (berharap)

Ralat. Bukan resensi, melainkan fanboying (lihat aja profil blog-ku, atau profil FS-ku, bagian Favorite Books. Pasti ada buku ini). Dan buku beruntung (atau sial) itu berjudul Anak Kos Dodol Lagi.

Pada tahu buku Anak Kos Dodol nggak? Mungkin buku ini kalah pamor dengan Kambingjantan and the gank. Tetapi, isi buku ini serupa: saripati blog (halah) punya sang penulis mengenai kejadian-kejadian nyeleneh di kos-kosannya (yang notabene cewek semua jadi pastinya banyak yang terjadi). Jadi ingat, pertama kali beli buku ini karena lagi butuh referensi tentang cara menulis humor yang benar. Habisnya bete sih, novel humor yang kubikin sama sekali nggak lucu (curcol).

Dan, yang kudapat dari buku itu bukan hanya sekedar humor. Melainkan sederet kisah yang menyentuh nurani dan menyadarkan hati. Walau kadang ngocol di sana-sini. Halah, jadi ketularan puitis daku nih. Mbak Dedew, tanggung jawab!

Kemarin malam, aku baru saja selesai baca bukunya yang kedua: Anak Kos Dodol Lagi. Tanggapan? RUARRRR BIASA! Mbak Dedew kembali menyajikan cerita dengan gaya khasnya. Ada sesuatu di dalam tutur bahasanya yang membuat aku ikut terlibat di dalamnya. Seperti dalam cerita I Feel Love in The Air, aku ikut terharu saat anak-anak kos sepakat urunan makanan buat pesta dadakan (begini kan ceritanya?). Dan aku ngakak habis (sampai pintu kamar diketok orang rumah karena disangka gila) saat baca cerita Si Ganteng di Sarang Perawan (SGSP) dan Insiden Kamar Mandi. Khusus SGSP, aku pengen tuker tempat sama si abang ganteng. Siapa yang nggak pengen liat sepuluh cewek dasteran? Percayalah, daku nggak kalah ganteng kok, Mbak. Hehehe...

Cuma, di buku kedua ini, kerasa banget kalau Mbak Dedew terlalu excited. Beberapa ceritanya terasa terlalu bombastis dengan komentar samping (yang ditandai nggak terlalu jelas dengan cetak miring dan bintang di awal kalimat). Kalau boleh menyebut nama, jujur saja Peristiwa Subuh nggak aku baca benar-benar. Habis yah itu tadi, terlalu bombastis (maaf ya Mbak, hehe). Dan lagi, ada beberapa bagian cerita yang memakai bahasa daerah, dan tidak ada terjemahannya. Jadi berasa buta dan hilang arah aja pas sampai di bagian itu, nggak tahu artinya apa. Tapi kasus begini nggak terlalu banyak kok. Tenang aja, buku ini layak dibaca seluruh penghuni Indonesia dari Sabang sampai Merauke (dan para WNA yang bisa Bahasa Indonesia, hehehe).

Overall, buku ini memang nggak se-“nendang” Kambingjantan and the gank (soalnya mereka trendsetter, sih). Gaya bertuturnya memang kalem dengan bahasa semi-baku. Tapi, buku ini benar-benar direkomendasikan buat orang yang suka bacaan berbobot tapi nggak bikin kening berkerut. Ada petuah di setiap cerita, dan buku ini menuturkannya tanpa terasa menggurui. Dan, sangat dianjurkan buat para pengekos atau mantan pengekos, atau bahkan orang yang nggak pernah kos seperti aku dengan efek samping terkena sindrom pengen ngekos, hehehe. Makanya, ikutilah jejak saya dan belilah buku ini di toko buku terdekat (atau kalau mau scanning dulu, boleh pinjam punyaku, tapi ntarnya kudu beli)! Iklan banget, yak? Bodo amat, namanya juga nge-fans.

Cheers!