Barusan baca tulisan seseorang di milis sebuah forum yang saya ikuti. Inti tulisannya tuh, dia kesel sama film-film Indonesia yang makin lama makin nggak ngedidik. Saya setuju banget sama yang dia katakan, tapi malas menyentuh (baca: menghujat) topik yang sama kayak dia (sinetron). Topik itu mah nggak perlu dihujat coz banyak orang yang kesel sama dia (dan sayangnya, orang yang suka sama dia tuh lebih banyak T_T). Yang mau kubahas (jangan baca: menghujat) tuh Film Layar Lebar, soalnya saya jadi inget billboard gede banget yang berkali-kali saya baca dalam perjalanan saya tiga kali bolak-balik mengarungi jalan Dago (buset, kurang kerjaan amat, ya?). Sebuah billboard yang menyatakan kalau (bahasa, euy...) di bioskop ada film baru: ML.
Yup. Saya nggak salah tulis. Emang judulnya ML, singkatan dari “Mau Lagi”.
Hehehe, garing, ya? Coz pasti semuanya udah pada lihat dan tahu.
Yang saya tangkap dari Billboard itu (selain dari pakaian dan pose pemeran ceweknya yang provokatif nggak jelas, dan si Olga Syahputra yang tampaknya mulai menerima kodratnya sebagai cowok) adalah “Indonesian Pai, bukan American Pie”. Sumpah, saya ketawa baca tagline itu (walaupun dalam hati, coz takut dikira gila). Indonesia, dengan lembaga sensor film-nya yang supertajam dan FPI serta lembaga islam garis keras lainnya, mau nekad bikin film kayak gituan? Nggak yakin bisa, deh. Nggak yakin. Dulu Playboy mau terbit aja susahnya setengah mati (padahal FHM dan Popular dibiarin aja), protes terbit di sana-sini. Apalagi film yang (ceritanya) mau niru American Pie yang notabene sarat pesan moral Amerika yang hedon itu (bukannya anti-Amerika, tapi nggak setuju aja ama paham seks bebas di sana). Tapi nggak tahu juga, deng. Negeri ini kan penuh keajaiban (LOL).
Tapi... kayaknya negeri ini mulai memasuki fase-latah-tema-movie baru: sex comedy. Diawali dengan Quickie Express yang mengangkat tema gigolo (yang katanya lebih ke menjijikkan coz yang buka-bukaannya cowok), terus XL (yang saya yakin banget ini nyadur dari buku Bigsize. Soalnya pas billboard filmnya nampang, saya langsung kebelet pengen beli novel itu (itu mah hasrat dodol doang, ya?), dan elemen si tokohnya makan pisang), DO (yang bikin miris banget coz beda banget sama novelnya. Kalau saya jadi Mas Arry, saya nggak bakal mau cerita sebagus DO diotak-atik, apalagi jadi cerita macam ini), dan si ML ini. BTW, Jakarta Undercover nggak dimasukin, coz ceritanya lebih ke drama thriller (menurut cerita temen saya :P). Kenapa saya yakin banget ini latah? Karena film-film itu munculnya hampir berurutan, dan temanya sama. Dan lagi, kasus permak cerita DO-lah yang makin menguatkan dugaan saya mengenai hal ini (Naon seh? Berasa Detektif Conan, deh...).
Kalo diurut dari awal, perkembangan tema movie-made-in-Indonesia dimulai dari romance remaja, yang ditandai dengan kemunculan AADC, Eiffel I’m In Love, dan film-film remaja lainnya yang latah sehingga ceritanya mirip-mirip. Saat itu juga, teenlit membanjiri pasar, hal yang wajar coz film-film remaja itu rata-rata hasil saduran teenlit. Habis romance, terbitlah horor (matahari terbenam :P), yang dimulai dengan film fenomenal Jelangkung. Katanya sih film ini bagus, tapi klon-klonnya nggak banget. Cuma modal lingkungan gelap, dandanan (yang kata mereka) serem (tapi ternyata enggak, tuh), dan kemunculan tiba-tiba, film-film itu jauh dari bagus. Salah satu sutradaranya malah bilang dia nyadar kalau film yang dia bikin nggak berkualitas dan nggak bagus. Busyet. Kan malu kalau ada orang asing yang nonton film itu dan kemudian main pukul rata gitu aja. Bisa-bisa martabat Indonesia hancur lebur...
Tapi, ternyata ada juga film yang nggak latah tapi keren banget. Contohnya Arisan,Gie, Naga Bonar Jadi Dua, Jomblo, dan film-film lainnya. twelve thumbs up (pinjem jempol tangan dan kaki orang lain, lah. Saya kan bukan makhluk planet berkaki 12) deh buat sineas-sineas muda yang nggak mempraktikkan teori ekonomi sialan yang bunyinya kira-kira, “Selama konsumen belum puas, jejali terus, sampai eneg kalau perlu.” Moga-moga aja banyak orang yang nyadar soal ini dan mulai menggunakan otak kreatif mereka sehingga Indonesia nggak dipenuhi muntahan para konsumen yang eneg karena overload :P
Tapi, percaya deh, bakal ada satu film lagi yang keluar dari pakem. Dan, saya yakin, film itu bisa membuat latah saking tenarnya dan membuat genre baru: fantasi. Penasaran? Tunggu aja tanggal mainnya (ngarep :P).
Yaah... ini sih review dari orang awam amatiran yang sebenarnya nggak tahu apa-apa soal perfilman (coz jarang nonton, sih. Ada yang mau bayarin?). Kalo bener, datangnya dari Allah SWT, kalau salah datangnya dari saya sendiri (Kok jadi khutbah? :p). Cheers!
No comments:
Post a Comment