Well, ternyata bener, akhirnya dianggurin juga account blogspot ini...
Nggak boleh begini, ah! Ayo semangat, Fer!
Tanggal 13 kemarin tuh hari bersejarah bagi Jawa Barat. Hari besar bagi warga-warganya. Aku bilang hari besar, soalnya orang-orang di Bandung, kebanyakan kalangan menengah ke bawah, pada minta izin pulang ke majikannya. Saya sih nggak, tapi bukan karena saya kalangan menengah ke atas (ngarep sih iya) :p. Saya nggak pulang karena ada laporan kimia terkutuk yang mesti dikumpulin hari Rabu (dasar LKD, dikiranya mahasiswa tu kurang kerjaan, apa?). Dan, yang jelas, ada enam bapak-bapak yang deg-degan hore hari ini. Yah, nggak cuma enam itu, sih, tapi juga para pengusungnya yang jumlahnya ribuan lebih.
Ada apa memangnya di hari itu? Nggak lain nggak bukan, Pilkada Gubernur Jawa Barat. Suatu langkah bersejarah yang bisa membawa masa depan baru bagi Jawa Barat. Katanya sih gitu, kebenarannya mah entah (I’m the king of sarcasm!).
Nah, tiap orang tuh punya calon idola masing-masing, yang kayaknya nggak mungkin ganti bahkan setelah nonton panggung dangdut yang jadi bagian kegiatan kampanye (ini komentar dari pakar politik yang dimuat di kompas hari Sabtu tanggal 12 kemarin). Dan, pilihan mereka tuh diiringi dengan alasan-alasan yang (menurut mereka) masuk akal. Tapi... menurut saya... kok alasan-alasan mereka itu terlalu... apa ya... terlalu simpel untuk hal sepenting ini. Misalnya saja, ucapan beberapa orang di sekitar saya yang memilih (bahkan cenderung fanatik pada) Danny-Iwan:
“Ah, gua mah mau milih Da’i ajah. Dia orang Sunda, soalnya.”—ini dicatat seingetnya aja:p
“Da’i tuh, gimana yah, lebih berpengalaman. Dia gubernur yang kemarin, soalnya. Dan lagi, wakilnya itu bapaknya gubernur. Pasti lebih bonafid. Daripada, apa itu Hade? Yang satu artis, yang satu lagi dosen (apa dekan, yah?) Fakultas Ibnu Khaldun (dengan nada meremehkan mengingat orang ini ITB-dan-Unpad-minded)...”—harap dicatat, ini bukan kata-kata saya.
Bagi saya, alasan-alasan itu agak kurang tepat untuk hal sepenting masa depan Jawa Barat. Memilih dia hanya karena dia pribumi atau bapaknya mantan gubernur? Memangnya ada jaminan memerintahnya bakal bagus kalau kriteria itu dipenuhi? Tapi... lagi-lagi... selera orang berbeda. Saya nggak berhak ngomong-ngomongin kayak gitu.
Tapi… nggak semua pedukung Da’i kayak gitu, ah. Ada teman saya yang memberi alasan yang cukup cerdas akan pilihannya. “Saya pilih mereka karena sekarang pun mereka megang Jabar. Diharapkan, program mereka bisa beres,” ujar cewek teman saya yang ingin jadi diplomat itu.
Pendukung Hade memberi alasan yang lain lagi: muda. Pasangan calon itu memang yang termuda dari pasangan-pasangan calon yang dihadapkan pada publik. Massa yakin—cenderung berharap, sih—semoga yang muda-muda bisa memberi perubahan. Yang ini sih masih masuk akal, karena masih muda itu masih idealis. Masih mau menegakkan keadilan dan kebenaran. Kasarnya, masih murni, lah. Dan, hebatnya, mereka (pasangan calon) menggembar-gemborkan itu sebagai kelebihan nomor satu mereka. Peka juga mereka.
Soal pasangan calon yang satu lagi, Aman, saya nggak nemuin pendukung mereka di sekitar saya. Yang ada, mereka malah berprasangka buruk duluan. Teman saya bahkan melaporkan (duh, bahasanya...) kalau di Bandung ada spanduk bertuliskan “Demi Jabar... apa masih lapar?” walaupun spanduk itu sudah dicopot (slogan Aman berbunyi “Demi Jabar”). Saya sih cuma bilang... yang sabar aja yah...
Tapi, dihadapkan dengan tiga pasangan calon seperti itu, terus terang saya bingung memilih yang mana. Sama kayak dilema saya tahun lalu mau nerusin kuliah ke fakultas apa. Kendalanya cuma satu: saya nggak tahu siapa mereka. Saya nggak tahu jalan pikiran mereka, kebijakan-kebijakan mereka, dan segalanya. Saya nggak mau ngambil kesimpulan sementara dari janji-janji yang mereka utarakan, soalnya—di setiap kasus—janji-janji itu seringkali tidak berbekas. Yang ada, rakyat juga nggak denger orasinya apa karena datang ke kegiatan kampanye cuma buat nonton dangdut (dan cara kampanye seperti itu sepenuh hati kucibiri karena nggak mendidik sama sekali—sok banget sih Fer?!).
Jadi... yah... kayaknya sih saya bakal golput seandainya kartu pemilihnya datang ke rumah (Saya punya KTP bandung, tapi nggak disuruh milih). Bagi saya, itu pilihan yang cukup wajar. Sori deh buat para manusia yang membenci golput dengan sepenuh hati :p (ngapain juga saya minta maaf? Mereka kenal saya aja nggak...)
OK. Now for the result. Quick count menyatakan, pasangan Hade mendapat suara terbanyak, dan pasangan Da’i mendapat suara paling sedikit. Hasil survey kecil-kecilan yang dilakukan Bibi saya pun menunjukkan hal yang sama. Mungkin benar, orang-orang Jawa Barat sudah bosan dengan Danny dan mengharapkan perubahan dari tangan Hade. Surely, it is a very big responsibility, and as a West Java civillian, I expect those two to fulfill it (don’t know if they stray path after seeing money, bureaucracy, though—here you go again, Ferdy...). Untuk para Hade-haters di luar sana (yang pasti milih Da’i), moga-moga mereka bisa paham dan bukannya malah membangkang (u’re thinking too much, Ferdy...)
Udah, deh. Daripada ngelantur lebih jauh lagi, mending dihentikan saja sampai sini. Yang jelas, siapa pun yang terpilih, semoga mereka bisa membawa Jawa Barat menuju ke arah kebaikan. Amin!
No comments:
Post a Comment