Saturday, May 31, 2008

Osjur, The Apprentice, dan Roti Goreng Kornet

Hari ini hari Sabtu. Hari Osjur. Dan aku males banget ikut osjur. Udah kebayang kakak angkatan yang sok judes, PBB yang bikin tepar, dan tugas-tugas konyol yang bikin pingin nimpuk.

Tapi, aku harus datang. Aku udah keseringan bolos. Lagian, toh cuma tiga hari lagi ini. Kalau ada PBB, aku tinggal bilang bronkhitisku kambuh lagi :P

Jadi, hari ini bangun pagi (sepagi hari kuliah biasa), terus mandi, pake baju, dan masukin lagu kampus ke MP3 player cz harus hapal pagi itu juga (mana lagunya bikin ngantuk, lagi)...

Sampai di kampus (yang agak bikin capek cz jalan Dago macet total pagi itu), sempet bengong pas liat banyak banget anak SMA berseliweran. Oh iya, hari ini kan USM! Mana labtek biru dipake tempat ujian, pula (aku ngintip peta USM orang di angkot). Mau osjur di mana?

Jawaban datang setelah aku bertemu Jamjam; dalam bentuk kakak berjahim kuning yang datang mendekat. Ternyata kumpulnya dipindah ke Taman Ganesha! Gila aja, kita baru tahu pas tiga menit sebelum masuk! Udah aja itu mah lari-larian sampai keluar kampus (dan agak susah coz aku kedorong-dorong tas beratku).

Permulaan osjur... standar lah. Cek barang, seru-seruan standar (“Siapa kalian?!” “Teratai Mudaaa...!”). Yang berbeda, hari itu nggak ada PBB! Aku cuma bisa nahan ketawa (coz kayaknya kita nggak boleh ketawa) pas Kak Maulina dan kakak entah siapa bergaya mirip presenter acara TV.

“Kalian tahu siapa kami? Kalian nggak usah tahu siapa kami. Yang jelas, kami punya duit!” ujar Kak Maulina mengawali acara.

Intinya, anak-anak teratai muda diberi modal dua puluh lima ribu untuk bikin usaha yang balik modal dan (syukur-syukur kalau) menghasilkan untung dalam empat jam. Aku masuk kelompok lima, yang beranggotakan aku, Oji, Ochad, Hadian, Boru, Ela, Mirna, Ochie, Finda, Arni, Rynda, Oya, ma seorang lagi. Kita dikasih waktu setengah jam buat ngonsep sebelum akhirnya kita presentasi dan realisasi konsep tersebut.

Pas ngonsep, jelas terlihat kalau kita nggak ngerti kita tuh disuruh apa. Kita mau jualan barang, itu pasti. Masalahnya, barang apa? Makanan? Kita mau jualan minuman di Saraga ketika si kakak bilang tempat jualan ditentukan panitia.

Akhirnya diputuskan: kita bikin dan jual roti kornet. Yup, kita masak makanan yang akan kita jual. Anak-anak bilang, roti kornet buatan Boru enak. Yaudah, kita pikir itu aja.

Ngonsep selesai, terus presentasi. Jujur, agak keder pas denger presentasi kelompok lain. Mereka semua mau jualan donat, snek macam momogi, dan minuman botol. Barang dagangan mereka udah jadi semua (donat mesen dari relasi); cuma kelompok lima yang pake acara masak sendiri! Kakak-kakak penguji udah nanya-nanya aja sama kita (“Masaknya di mana?” “Berapa lama waktunya?”) dan dijawab dengan diplomatis oleh sang ketua kelompok: Oji (Bravo!).

Beres presentasi, kita bikin yel-yel (“LIMA ROTI KORNET! HAP!”). Empat orang beli bahan di Balubur, sisanya bantuin Rynda siap-siap (kita masak di kosan Rynda). Sempet capek juga coz kosan Rynda cukup jauh. Sempet ada masalah sama harga roti dan kompor butana, namun semua selesai begitu cepat. :P

Ternyata, estimasi kita salah. Kita kira, kita bisa bikin empat puluh potong roti kornet, Nggak tahunya, harga roti naik sehingga kita cuma bisa bikin 32 potong. Harga satu potong roti kira-kira dua ribu. Kalau aku di posisi konsumen, kayaknya nggak mau aku beli roti seharga segitu :P

Anak-anak cewek mulai masak dengan riuhnya. Seksi adonan sibuk dengan adonan yang keasinan dan kurang asin. (“Cobain dulu, deh.” “Keasinan! Lo masukin segimana sih garamnya?” “Masa? Rasa tepung doang, kok.”) Seksi kornet mulai menumis bawang bombai dan bawang putih. (“Wangi banget. Apa aja tu?” “Bawang doang, Fer.” “Anu... itu kornetnya baik-baik saja? Kok ngegumpal gitu?” “Ini kornet bagus, nggak? Kata Mama, kalau kornetnya nggak bagus, jadinya nggak enak.” “Hmm... sedeng, lah...”) Boru sibuk menelepon sang Mama untuk konsultasi resep. Aku menemani Oji balik ke kosannya untuk pinjam wadah Tupperware. Cowok yang lain? Bobo, dong! Dasar...

Keadaan dapur yang super hectic :P

Jualan kita nih... Rasanya nggak kalah lho!

Akhirnya, setelah beberapa kakak angkatan menerobos ingin tahu, enam belas potong roti kornet siap dijajakan. Kloter pertama penjual pun terbentuk: saya, Oji, Finda, Ochie, Mirna. Diiringi empat kakak angkatan, kami pun berangkat jualan.

Perjalanan menuju borromeus menjadi perjalanan penuh tawa (ada yang ngumpet di balik tiang listrik karena malu ngejualin; ada mang-mang yang ngegodain kita dengan bilang mau beli semuanya kalau harganya seribuan). Aku sempat bertanya pada mereka pas sampai di jalan Dago karena terinspirasi sama Yakitate! Ja-pan, “Ada yang udah nyobain dagangan kita?”

Dan, jawaban mereka mudah ditebak. “Nggak.” Aiiih...

Yaudah, satu orang ngasih seribu (ceritanya kita beli dagangan kita sendiri). Kita sengaja pilih yang bentuknya paling abnormal (yang kayak bumerang Australia), trus kita bagi empat (Asalnya sempet lempar tanggung jawab siapa yang mau jadi tester; kakak mentor kita nggak mau, lho! Apa masakan kita se-beracun itu?). Rasanya? Entah, coz aku langsung telen sehabis dikunyah dua kali (“Yah, si Ferdi mah udah dimakan duluan!” seru Oji), tapi rasanya lumayan sih.

Sekali lirik sudah cukup membuktikan kalau Borromeus bukan lahan pasar yang bagus. Kita memutuskan untuk belok ke Jalan Ganeca. Di sana, Ibu-ibu berbaju pink menjadi pembeli pertama kita. Dia beli tiga langsung, dong! Kita langsung mendoakan, semoga anak si Ibu diterima USM-nya. AMIN!

Pembeli kedua kita adalah Bapak-bapak bertampang streng yang kita juga nggak nyangka bakal beli makanan kita. Dia langsung beli lima, katanya anaknya belum sarapan. Dan, kita sempet berheboh ria pas bapak itu minta keresek; nampannya bahkan hampir jatuh, lho! Aku nemu keresek di tas, dan agak malu ngasihinnya ke si bapak karena ada print-an Point Samudra di kresek itu.

Berbekal pengalaman, kita memajang antis sebagai bukti kalau kita sanitasinya terjamin (nggak nyambung :P).

Sepanjang perjalanan, Finda membuktikan diri sebagai SPG terbaik yang pernah kami punya (:P). Dia selalu menawarkan roti goreng kita pada siapapun yang berminat (bahkan pada pak polisi yang lagi parkir). Pernah suatu ketika, kita papasan sama empat orang cowok. Pas kami dan mereka mulai kepisah, Finda mendadak teriak, “Hei! Mau jual... sori, maksudnya beli...”

Kita semua kaget, jelas. Empat cowok itu apalagi. “Eh... enggak...” jawab salah satu dari mereka.

Abis itu, kita semua ngakak abis :P

Pembeli ketiga—dan terakhir kami dapatkan setelah jalan memutar Ganeca-Taman sari (bonbin)-Saraga. Buset, niat banget kita. Kakak mentor kita aja udah meninggalkan kita (dan misuh-misuh pas akhirnya sampai ke spot terakhir kita. “Kalian bikin saya tepar, tahu nggak!”). Pembeli itu langsung memborong roti kami sampai habis! Alhamdulillah! Memang, orang tua yang anaknya ikut USM memang paling loyal! Semoga putranya keterima di SBM ya, Bu!

Ceritanya, dagangan kita habis, jadinya kita meet up sama kloter dua penjual (lewat kampus lah, nggak mau gua muter balik kayak tadi :P). Ternyata, mereka jual rotinya seribu lima ratus each! Yaudahlah, yang penting balik modal :P

Habis ishoma, ada presentasi lagi. Sempet minder pas tahu kelompok lain sukses-sukses. Bahkan ada yang keuntungannya sampai 82.000! Tapi... ternyata aku nggak perlu minder, coz kelompok lima jadi juara satu, lho! Kita menang jauh di hasil akhir (poin kita 89, sementara klompok lain paling tinggi 83-an). Heran, kok bisa? Padahal profit kita paling kecil, lho. Tapi biarlah. Yang penting juara!

Tropi juara :P

So, untuk mengakhiri posting ini, mari kita tampilkan yel-yel tercinta:

“LIMA ROTI KORNET! HAP!”

Moral of the story: relasi dan teamwork penting banget dalam per-wirausaha-an. Dan, nge-danus-lah saat USM diadakan :P

P.S.: Lagi suka lagunya Andra and The BackBone: Main Hati. Lagunya bagus, tapi miskin lirik (urgh). Gila... kapan ya gua bisa kayak di lagu itu...?

2 comments:

A-We said...

Hahaha... gw pingin nyobain tuh. Sayangnya gw ga bs makan telor nya... T_T

Ferdy Sechan said...

Too bad...
Enak siah :P
Tapi toh anggota kelompoknya juga nggak ada yang kebagian :P