Wednesday, August 27, 2008

Morning Riweuhness

Pagi-pagi begini, nggak nyangka aja dapat bahan bagus buat diomongin. Tapi agak berbahaya juga sih ngomongin ginian. Ya sudah, lah. Nggak apa-apa. Risikonya aku yang tanggung deh…

Jadi begini. Pagi ini, seperti biasa, aku pergi ke kampus menumpang mobil paman. Biasalah, penghematan. Punya paman yang bekerja di kampus yang sama dengan tempatku kuliah itu keuntungan, bukan? Artinya, uang buat ongkos angkot pagi ini bisa dialokasikan untuk buku teks, misalnya. Betul, kan?

Seperti biasa juga, selama di mobil aku lebih banyak diam. Agak nggak biasa juga kalau si paman diam di mobil. Dasar kreatif, pasti saja ada yang dikomentarin. Mulai dari para AD yang nyapu jalanan sampai angkot yang suka motong jalan seenaknya. Jadi, agak serba salah juga, takutnya bikin salah apa gitu…

Dan, tiba-tiba saja, si paman nanya, “Fer, di kampus ada kumpulan gay gitu, ya?”

Langsung deh aku speechless.

Jadi, ternyata, si paman ikut rapat petinggi kampus gitu. Dan di sana dibahas kencang banget sama orang-penting-se-kampus. Dan, katanya lagi, banyak banget kasus kayak gitu di fakultasku. Kasus kayak dosen pacaran sama mahasiswa, mahasiswa sama mahasiswa, dan sebagainya. Jelas aja dekannya berang.

Tanggapan pamanku sih adem ayem aja. “Selama nggak mengganggu kepentingan umum, terserah mereka mau pacaran sama siapa dan kayak gimana.” Begitulah. Satu ideology sih denganku: selama nggak ngeganggu mah sah-sah aja.

Tapi yaa… serem juga kan? Masa di kampusku, fakultasku pula, banyak yang begituan? Ntar kalau ditaksir gimana? Ntar kalau akunya jatuh cinta gimana? Hii…

Tuesday, August 26, 2008

Kekompakan Berdasar Tradisi?

Hari ini, aku baru sampai di rumah pukul tujuh. Sebenarnya sih nggak terlalu masalah kalau aku pulang telat gara-gara kuliah. Toh, namanya juga mahasiswa, kewajibannya belajar. Tapi aku pulang malam gara-gara ada kumpul angkatan dulu.

Heugh. Kumpul angkatan. Dengarnya saja sudah malas. Yang terbayang di ingatan saat mendengar frasa “kumpul angkatan” adalah pertemuan yang mulainya pasti ngaret, yang diomongin nggak jelas, dan pertemuannya pasti lama tapi nggak berbobot.

Dan itu terjadi tadi sore (sampai malam), membuatku tergoda untuk mem-post-nya di sini.

Jadi, ceritanya, hari ini kumpul lagi untuk ngomongin hal yang (bagiku) nggak terlalu penting: identitas angkatan sebagai anggota himpunan. Aku termasuk orang yang nggak peduli dengan bagaimana jadinya identitas angkatan itu. Mau desainnya unik, warnanya ngejreng, selama nggak menyalahi aturan nggak masalah. Yang penting enak dipakai.

Hmm... buat yang nggak ngerti, gini aja deh analoginya. Kamu adalah orang yang baru masuk ke toko roti terkenal (berasa Yakitate Ja-Pan). Toko roti itu punya roti andalan yang super enak. Kalau orang mau mencari roti yang satu itu, mereka tahu harus mencari di tokomu. Nah, kamu menemukan resep roti itu dan memodifikasinya sehingga menjadi jauh lebih enak, namun mempertahankan ciri khas roti toko itu. Bukan hanya kamu yang bilang enak, teman-teman bahkan seniormu di toko itu pun bilang roti temuanmu enak. Lalu, tiba-tiba saja ada orang asing yang tiba-tiba bilang rotimu beda dan tidak enak, padahal dia belum pernah mencicipi baik rotimu maupun roti toko itu, apalagi membuatnya.

Seperti itulah kira-kira.

Nggak tahu kenapa, topik itu selalu diulang di setiap kumpul angkatan sampai hari ini. Semua sudah excited, merencanakan detil di sana-sini. Seorang yang berbakat merelakan diri bekerja demi mewujudkan impian anak-anak seangkatan. Semua sudah sempurna, anak-anak sudah setuju, kasarnya sudah tinggal di-“jadi”-in saja. Lalu sekumpulan orang nyeletuk, “Kok beda yah?” dan akhirnya terpaksa dirapatin lagi. Rancangan yang sudah jadi terpaksa divoting ulang dengan alasan tradisi dan kekompakan.

Tampak jelas dari kumpul angkatan kali ini kalau semua sudah bosan ngomongin itu. Yang datang hanya 43 dari 120-an anak. Sebagian besar nggak ngerti kenapa musti masalah ini yang diangkat, secara masih banyak hal lain yang lebih perlu dibicarakan, seperti expo himpunan nanti November. Diskusi pun berjalan alot sampai akhirnya seseorang cukup cerdas untuk menanyakan inti dari kumpul angkatan ini.

“Apakah kita harus seragam agar bisa kompak? Bisakah kita tetap kompak walaupun tampilan kita beragam?”

Mulai dari sini, kayaknya aku mau break dulu nyumpahin kumpul angkatan nggak guna tadi. Aku tertarik mengomentari pertanyaan “penting” tadi itu dulu.

Pertanyaan itu memang susah dijawab. Seperti menjawab pertanyaan, “Lebih dulu ayam apa telur”, kedua jawaban valid. Baik ayam maupun telur adalah jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu, bila dilihat dari sudut pandang tertentu.

Ya, keseragaman memang bisa membuat kita kompak. Karena kita merasa satu. Satu keluarga. Satu visi. Satu keinginan. Ekstremnya, satu tubuh. Mungkin itulah dasar pemikiran para penggiat komunis-sosialis di luar sana. Masuk akal sebenarnya, kalau ditilik lagi.

Sayangnya, itu nggak mungkin terjadi. Di Al-Qur’an disebutkan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Itu artinya kita memang diciptakan berbeda. Dan, menyeragamkan sesuatu yang dari lahirnya sudah berbeda itu nggak mungkin. Itu artinya mengubah aspek lahiriah maupun batiniah agar menjadi satu hal yang sama. Suatu hal yang kayaknya nggak mungkin dilakukan tanpa agresi atau tekanan, dan kedua hal itu menyalahi hak asasi manusia.

Pemecahannya simpel, sebenarnya. Manusia tinggal menerima fakta kalau masing-masing dari mereka itu berbeda. Dan mereka juga harus meyakini kalau perbedaan dibutuhkan agar semuanya bersatu dalam harmoni. Saling menyeimbangkan. Saling membantu. Saling melengkapi. Dengan begitu, bukan tak mungkin kekompakan yang solid dan hakiki akan tercapai.

Masalahnya sekarang, sulit sekali membuat manusia menyadari hal penting itu. Manusia punya ego, selalu merasa dirinya (atau sukunya, atau bangsanya, atau apapun yang ia banggakan dan kaitkan dengan dirinya) paling hebat, paling agung, atau semacamnya. Hal itu membuatnya kesulitan menerima pendapat dari sudut pandang lain mengenai masalah yang sama. Belum lagi penyakit xenofobia (takut sama orang asing) yang bikin kita berprasangka yang bukan-bukan terhadap orang asing (atau tepatnya orang yang tak terlalu kita kenal). Okelah, berhati-hati boleh, tapi tidak berlebihan, apalagi sampai menyakiti hati orang itu.

Balik lagi ke masalah kumpul angkatan, ada satu hal lagi hal yang ingin aku soroti di sini: tradisi. Yup, salah satu alasan mengapa rancangan itu di-voting ulang adalah karena tidak mengikuti tradisi yang berlaku sebelumnya. Dan hal itu berujung pada masalah “seragam-dan-kekompakan” tadi (tentu saja di sini konteksnya kekompakan antar-angkatan).

Aku sendiri bukannya tidak setuju dengan tradisi. Tradisi adalah kekayaan imateril, sesuatu yang harus dijaga dan diturunkan pada generasi penerus. Tapi, zaman sudah berubah sekarang. Kita sudah dituntut untuk memilih mana yang paling sesuai dengan tuntutan zaman. Dan, kalau inovasi menawarkan kelebihan-kelebihan sementara tradisi tidak memberi nilai tambah, kenapa juga maksa ikut tradisi? Seharusnya malah tradisi itu kita beri inovasi sehingga makin bisa bertahan melawan kerasnya zaman. Betul nggak?
Akhirnya kumpul angkatan berakhir dengan voting ulang (walaupun ketua angkatannya nggak setuju sama sekali). Dan hasil yang dituai sama dengan hasil voting sebelumnya, walaupun kali ini beda tipis. Syukurlah, akhirnya masalah ini selesai juga. Udah bosen nih tiap ngumpul ngomongin itu melulu.

Cheers!

Friday, August 22, 2008

Bandung, Truly a Creative City?

Ada yang berbeda di daerah Dago selama dua bulan terakhir ini. Empat huruf raksasa berwarna-warni didirikan di perempatan Dago-Tamansari, empat huruf yang kalau dibaca berbunyi “DAGO”. Bukan hanya itu. Terdapat juga instalasi-instalasi unik di berbagai sudut kota, seperti susunan pot dalam rak di bekas pasar balubur, atau susunan botol minuman bekas di kolong jembatan Pasupati. Lalu ada KickFest, yang sukses bikin saya diledek paman saya karena tak tahu apa yang bikin jalan dari Gasibu ke Talaga Bodas macet total (dan saya menyesal tak tahu ada KickFest karena saya ingin beli jaket distro).

Ternyata, semua itu adalah rangkaian dari Helarfest 2008, sebuah rangkaian festival (30+ festival, tepatnya) yang dijadwalkan akan berlangsung selama dua bulan (Juli-Agustus). Seperti dikutip dari situs www.helarfest.com, helarfest “aims to cultivate the emerging practice in contemporary creative culture both in local and global context”. Helarfest juga membawahi berbagai macam aspek kreatifitas, seperti musik (indie, jazz), seni rupa (instalasi, pameran lukisan), keilmuan (astronomi), desain (distro), film, dan kultur budaya. Seperti yang saya baca di perempatan jalan Dago tadi, helarfest seakan merupakan upaya Bandung untuk mendeklarasikan dirinya sebagai “Creative City”.

Dan, otak kreatif nan kritis saya mulai jalan, mempertanyakan pernyataan yang saya baca itu. Dengan atau tanpa adanya helarfest, benarkah Bandung adalah kota kreatif?

Untuk menjawab pertanyaan itu, saya bertanya pada empat responden yang tinggal di bandung sekaligus berkecimpung di (atau berkaitan dengan) industri kreatif. Sebut saja A, B, C, D. A adalah seorang mahasiswa pascasarjana di Fakultas Komunikasi sekaligus penyiar di salah satu radio Bandung. B adalah pengarang buku bestseller yang memenangi penghargaan literasi tertinggi di Indonesia. C adalah mantan dosen ilmu komunikasi sekaligus penyiar radio yang kini menjadi pembaca berita di salah satu TV kabel. D adalah lulusan sekolah tinggi seni yang kini menekuni berbagai workshop penulisan. Dan, keempatnya setuju kalau bandung adalah kota kreatif. Tapi, ketika saya bertanya “mengapa”, mereka memberikan alasan-alasan sebagai berikut:

A: “Yaa... kita lihat saja industri musik. Musisi-musisi terkenal seperti Trie Utami, T-Five,dan lainnya itu berasal dari Bandung.”

B: “Ya, Bandung itu kota kreatif. Karena saya melihat beberapa komunitas-komunitas di Bandung yang kreatif. Sebut saja Ranger Bastards, LFM.”

C: “Iya, Bandung gudangnya creative. Karena sejarah Bandung sebagai parijs van java lengkap dengan bukti otentik kawasan braga-asia afrika. Kedua, banyaknya creative talents dari Bandung seperti musisi, seniman, dan pekerja seni di layar kaca/lebar. Ketiga, ada institusi di bidang seni dan kreativitas seperti FSRD ITB, STSI, Enhai (kuliner), dan sekolah tinggi seni musik bandung (ada gitu?-pen).”

D: (tidak memberikan alasan yang jelas-pen)

Dari situ (dan dari pernyataan beberapa dari mereka), saya menyimpulkan kalau mereka mendefinisikan Kota Kreatif sebagai “Kota yang penduduknya orang-orang yang kreatif, yang dipenuhi ide-ide kreatif dan menghasilkan industri kreatif yang sukses.” Pernyataan terakhir itu saya tambahkan karena ada salah satu surat kabar menulis salah satu parameter ke-kreatif-an Bandung adalah banyaknya distro di dalamnya.

Yah... saya tak bisa bilang saya tak setuju. Karena, definisi saya mengenai kota kreatif agak berbeda dengan simpulan tersebut. Tepatnya, simpulan tersebut terasa kurang lengkap apabila saya bandingkan dengan simpulan versi saya.

Setiap kali saya mendengar frasa “Creative City”, saya membayangkan sebuah kota yang begitu uniknya sampai-sampai penduduknya terilhami dan menjadi kreatif. Saya membayangkan kota yang memiliki sentuhan kreatif kaum muda yang inovatif tapi tak mengganggu kultur tua yang tak kalah indahnya. Saya membayangkan kota yang mengakomodasi ke-kreatif-an penduduknya, walaupun tetap membatasinya dalam korodur-koridor tertentu.

Dan, tampaknya Bandung masih belum sampai ke tahap itu. Tepatnya, kaum-muda-kreatif Bandung sepertinya harus mengusahakan langkah ke sana sendirian, karena para petinggi Bandung terlihat lebih sibuk mengurusi hal lainnya. Persib, misalnya. Atau pembangunan mall yang mengorbankan tembok sepanjang Jalan Siliwangi (mudah-mudahan ini hanya isu yang takkan terealisasikan).

Mudah-mudahan, dengan adanya helarfest 2008 ini, Bandung bisa menjadi kota kreatif yang menelurkan banyak sekali industri kreatif. Kalau saja Bandung bisa menjadi kota kreatif bertaraf internasional, bukankah itu berarti ekstra devisa bagi negara? Karena itulah, mari galakkan energi dan karya kreatif dan buat Bandung semarak dengan kreativitas kita!

P.S.: Baru nyadar, bahasaku di posting ini baku banget ya? Well... kalau ada yang mau komentar soal Bandung adalah kota kreatif, silahkan tinggalkan komentar di postingan ini J

Sunday, August 17, 2008

Iseng... Dare To Try?

Eh, para orang Bandung, pada tahu iklan Axe segede-gede gaban di persimpangan Dago-Diponegoro, kan? Itu lho, yang sebelahan sama iklan Wall's Vienetta yang bikin ngiler itu tuh... Atau, kalau mau gampangnya, cari aja perempatan yang ada DSE Factory outlet, Plasa Dago, dan Kimia Farma.

Bukan mau ngomentarin bintang iklannya (yang nggak tahu kenapa bikin mata seger pas ngeliatnya), tapi nomor telepon yang ditunjuk si bintang iklan lewat kartu reminya.

Pertanyaannya adalah: ada yang udah pernah nelepon ke nomor itu?

Soalnya temenku pernah, dan ternyata nomornya nyambung, lho! Tentu saja dia langsung tutup karena takut.

Nah, tertarik mencoba? Siapa tahu ternyata si bintang iklan Axe sengaja mempromosikan nomor teleponnya. Siapa tahu saja cowok iseng yang berani akan mendapatkan hati si gadis cantik (atau dampratan sang bapak). (:P) Karena aku baik, aku kasih deh nomor teleponnya: 0818999293.

Dare to try? Hehehe...

Tujuh Belasan...

Di hari ini, ada yang berbeda. Hari ini adalah satu-satunya hari di mana aku dibangunkan oleh lagu keras yang diputar di jalan depan rumah. Bukan sembarang lagu, pula. Lagu itu adalah lagu Hari Merdeka.

Yup. Today is Indonesian Independence day, the day that Ir. Soekarno declares our independence from those who colonize us. Today is the day that we stand up for the first time as an independent country (and without the right regulation too at first).

Dan, hari seperti ini identik dengan tiga hal: libur, upacara bendera, dan lomba-lomba khas tujuh belasan. Iya, kan?

Kalau masalah libur, wajarlah. Hari ini kan hari sakral bagi warga Indonesia. Hari ini kan musti diperingati dengan penuh kesungguhan, dan nggak mungkin itu terjadi kalau warga Indonesia harus bekerja atau sekolah di hari ini, kan? (Backsound: bilang aja pengen liburan)

Upacara juga, standar lah. Toh, waktu sekolah berseragam tuh setiap hari Senin kita harus ikut upacara bendera, kan? Dan, di hari sakral ini, seluruh instansi seolah berlomba-lomba mengadakan upacara bendera. Bahkan warga RT 01 RW 02 (which is my home) pun mengadakan upacara bendera di jalan depan rumah. Sempat diajak ikut upacaranya, sih. Tapi… malas ah. (:P)

Nah, yang ketiga ini yang bikin penasaran: lomba-lomba tujuh belasan. Walaupun sekarang ada lomba-lomba yang lebih “wajar” seperti lomba futsal dan lomba bulu tangkis, tetap saja aku penasaran sama lomba-lomba yang unik-unik dan khas-tujuh-belasan macam panjat pinang dan makan kerupuk. Kenapa harus lomba-lomba itu? Apa maknanya? Kenapa tata caanya harus seperti itu? Sumpah, aku penasaran banget. (Biasa, otak kelebihan nutrisi akibat dipakai tidur melulu pas liburan. Pas kuliah nanti, pasti nggak akan kepikiran hal kayak gini)

Jadi, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, aku ingin membahas dan menelaah (cuih, bahasanya) satu persatu lomba-lomba yang diadakan itu. Tentu saja telaahnya akan dangkal, ngaco, dan kadang-kadang so-out-of-the-world. So, don’t take it seriously, ok?

(Catatan: karena nggak terlalu up-to-date soal lomba-lomba tujuh belasan, mungkin ada beberapa lomba yang tertulis di sini namun tak lagi dilakukan di dunia nyata. Maklum, otak angkatan tua. Hehehe…)

Panjat Pinang

Ini adalah lomba paling standar yang muncul di acara tujuh belasan. Pasti tahu dong mekanismenya gimana? Sebuah batang bambu diberdirikan, di atasnya diberi lingkaran dari bambu juga. Di lingkaran itu digantungkan bermacam-macam hadiah, tergantung dana yang dialokasikan pemrakarsa lomba. Paling banter sabun, kaos, atau mi instan karton, tapi aku pernah melihat mini compo ditaruh di situ juga (atau dusnya aja kali ya? Mini compo kan lumayan berat). Dan, batang bambu itu diolesi oli agar licin setengah mati. Intinya adalah, bagaimana caranya mengambil hadiah di atas bambu tersebut.

Kayaknya, dari sekian banyak lomba tujuh belasan, lomba ini yang paling jelas maknanya. Makna utama tentu saja gotong royong, karena batang bambu itu nggak mungkin dipanjat saking licinnya. Panjat pinang juga mengajarkan untuk tahu diri dan posisi; orang berbadan gempal musti tahu diri dan bersedia merelakan bahunya dipijak orang lain, nggak peduli misalnya dia juragan sapi atau ketua RT, misalnya. Panjat pinang juga mengajarkan untuk berpikir cepat dan tahu skala prioritas, karena orang yang sudah di puncak pinang bisa jatuh kapan saja; orang itu nggak boleh ragu-ragu atau dia akan terjatuh dan tidak mendapat apa-apa. Satu makna lagi, yakni melatih kesabaran sang istri, karena celana pendek suami mereka pasti penuh dengan oli yang (kayaknya) susah dicuci. (:P)

Yang bikin aku penasaran, kenapa namanya “Panjat Pinang”? Kenapa nggak “Panjat Bambu”, secara yang dipanjat bukan pinang tapi bambu? Gara-gara itu, saya jadi sempat berpikir kalau pinang adalah sinonim dari bambu sebelum mata pelajaran biologi membukakan mata saya kalau pinang masuk famili kelapa-kelapaan sementara bambu masuk famili rumput-rumputan. (iya, tahu. Emang nggak penting dibahas, sih.)

Balap Makan Kerupuk

Lomba ini adalah lomba yang dulu sering diadakan oleh mama di halaman rumah, dan diadakan bukan pada hari tujuh belasan. Pesertanya tentu saja aku, adik-adikku, dan anak-anak tetangga. Dari segi finansial, lomba ini juga cukup murah. Beli saja seutas rapia dan beberapa kerupuk. Ikat dan gantungkan kerupuk setinggi mulut peserta, dan biarkan mereka berusaha memakannya tanpa menggunakan tangan. Tentu saja semua sudah tahu, kan?

Mengenai maknanya, seorang teman telah menyumbangkan pemikirannya yang berharga pada kita (kita? Lo aja sendiri kaleee). Seperti yang kukutip dari beliau, lomba ini “Mengajarkan para anak-anak untuk hidup sengsara. Kerupuk kan murah, nggak enak, udah gitu dimakannya susah lagi. Intinya, kita harus mau hidup prihatin agar bisa hidup.” (lho?)

Jujur, aku agak kurang setuju akan pendapatnya mengenai kerupuk. Okelah, memang kerupuk kampung itu murah, tapi siapa bilang nggak enak? Kerupuk kampung yang putih berulir dan bahannya dari tapioka itu enak banget kali. Apalagi kalau kecoklatan karena gosong. Pas digigit, hmm... langsung melting gitu deh di lidah! Sensasinya itu lho, nggak ada yang ngalahin, deh!

Kok jadi ngomongin kerupuk, ya? Maaf, maaf, keburu nafsu. (:P)

Saya sendiri punya teori yang sedikit berbeda: lomba ini mengajarkan senam mulut yang berguna bagi para pembicara. Siapa pun yang pernah melakukannya pasti tahu kalau koordinasi bibir, gigi, dan lidah sangat dibutuhkan untuk menarik kerupuk agar mendekat ke mulut peserta. Orang yang sering mempraktikannya dijamin tidak akan keseleo karena kebanyakan ngomong (karena giginya sering mengatup padahal nggak kena kerupuk) dan memiliki lidah yang lentur untuk artikulasi sempurna (karena lidahnya sering liuk-liuk demi mengenai kerupuk yang langsung melting itu). No wonder orang Indonesia jago ngomong, pas kecilnya ikut lomba makan kerupuk, sih.

Balap Karung

Lomba ini juga tipikal lomba yang sering diperlombakan di mana saja kapan saja, nggak harus di acara tujuh belasan. Beberapa orang berusaha paling duluan sampai ke garis finis sementara kakinya (seringnya sih sampai leher) terbungkus karung goni. Tentu saja yang terjadi adalah peserta melompat-lompat lucu dan beberapa kali terjatuh (dan tentu saja ditertawakan penonton).

Aku punya teori tersendiri mengenai asal mula lomba balap karung ini. Ada kemungkinan, lomba ini diprakarsai oleh seorang produsen karung goni terkenal untuk mengiklankan betapa karung goninya kuat dan tahan banting. Yah, lebih kurang kayak Levi Strauss yang mengikatkan celana jeans produksinya ke dua kuda yang dipacu ke arah yang berlawanan. Aku malah bisa memikirkan kalimat iklannya sekarang: “Karung Goni cap Pak Goni! Kuat, bandel, dan serba guna! Bukan sekedar karung beras, tetapi juga cukup kuat untuk jadi kendaraan, bahkan sleeping bag!”

Oke. Aku ngaco.

Lomba ini, kayaknya, memiliki esensi penting di dalamnya: teruslah maju walaupun kakimu terbungkus karung goni. Teruslah bangkit walaupun mukamu terjatuh di kubangan lumpur. Teruslah melompat walaupun sainganmu terpelanting karenanya. Pokoknya, apapun yang terjadi, melajulah ke garis finis!

Satu lagi, lomba ini harusnya diadopsi Rinso karena sejalan dengan tagline iklannya: kalau nggak noda ya nggak belajar. Seringnya sih malah bajunya yang sobek karena terjatuh di aspal. (:P)

Lomba Memindahkan Belut

Dari namanya saja sudah ketebak, kan? Peserta disuruh memindahkan belut dari satu baskom ke baskom lain. Pada tahu belut, kan? Itu lho, ikan yang panjang berlendir kayak ular yang bisa bikin cewek-cewek menjerit-jerit jijik.

Salah satu esensi lomba ini, kayaknya sih, adalah untuk mengingatkan kalau Indonesia adalah negara agraris. Seperti yang (sebagian dari) kita tahu, belut biasa tinggal di sawah dan biasa didapatkan dengan cara ngurek (coba cari di wikipedia atau google kalau nggak tahu apa artinya). Seperti yang kita tahu juga, saat ini jumlah sawah mulai berkurang karena tanahnya dipakai untuk membangun industri. Dan, pembangunan industri berujung pada perubahan kultur budaya desa dan penurunan standar sanitasi lingkungan. Karena itu, stop industrialisasi!

Oke. Aku ngaco lagi.

Ada kemungkinan lomba ini menginspirasi orang-orang barat sana untuk membuat acara Fear Factor. Memegang makhluk licin berlendir yang tak hentinya menggeliat tentu saja menimbulkan sensasi tersendiri, bukan? Dan tampaknya mereka cukup pintar untuk membawa sensasi itu ke tingkat yang lebih tinggi, which is Fear Factor. Karena itu, mari kita perjuangkan hak kita sebagai inspirator utama Fear Factor! (Sori-sori, nggak bermaksud apa-apa, cuma lagi trance aja)

Esensi lain lomba ini adalah untuk mengetahui bagaimana cara memegang belut yang baik yang benar. FYI, belut adalah makanan berprotein tinggi dan bisa diubah menjadi dendeng, abon, atau keripik yang rasanya lezat. Jadi, siapa saja yang berminat menjadi juragan belut bisa menggunakan lomba ini sebagai sarana untuk melatih karyawannya—atau malah menjadikannya tes masuk. Bagaimana, tertarik?

Memasukkan Pensil (atau Paku) ke Botol

Dari namanya saja, lomba ini terdengar begitu mudah. Apa sih susahnya memasukkan paku ke botol? Nah, coba bayangkan bagaimana kalau paku itu diikatkan pada seutas tali, terus talinya diikatkan ke perut sehingga si paku menggantung melewati (maaf) bokong, lalu dimasukkan tanpa bantuan tangan ke mulut botol yang menganga. Masih berpikir lomba ini gampang?

Kalau ditilik, lomba ini memiliki pesan moral yang hampir sama dengan lomba makan kerupuk: belajarlah hidup prihatin. Seperti kita tahu, pada zaman (sebelum sampai) kemerdekaan, keberadaan kloset duduk bisa dihitung dengan jari (atau mungkin malah nggak ada). Orang-orang dulu biasa buang air di jamban berupa lubang di lantai atau bilik bambu di atas kolam kian (mereka jijik nggak ya kalau tahu ikan emas yang mereka makan tuh ternyata makan “kotoran” mereka?).

Karena itulah, lomba itu sengaja dirancang agar orang-orang masa kini mengerti bagaimana rasanya menggunakan kloset jongkok sekaligus melatih mereka agar menemukan posisi yang bagus untuk jongkok dan (maaf) BAB. Sebuah majalah kesehatan pria bahkan mengetengahkan gerakan itu sebagai cara ampuh mengetes kekuatan paha. Tentu saja, mereka tidak menganjurkan kita untuk mengikatkan paku ke perut seperti saat lomba. (:P)

Sebenarnya sih ada lagi lomba-lomba lainnya, namun aku terlalu malas untuk mengulasnya di sini (dasar orang Indonesia). Satu hal yang bisa kutarik dari ulasan ini adalah orang Indonesia suka sekali mempersulit sesuatu. (:P)

Hehe, nggak ding. Piss ah... dan MERDEKA!

Friday, August 15, 2008

(Clueless But Lovable) New Kid on the Gym

Jadi, ceritanya, kemaren tuh minjem majalah fitness tua dari si Bayu. Edisi lama sih, tahun 2003 kalau nggak salah. Tapi di situ ada artikel menarik: “Jadilah Personal Trainer bagi Anda Sendiri!” (or something like that). Ternyata artikel itu berisi panduan latihan yang diambil untuk empat minggu pertama bagi pemula (seperti aku). Jadi, dengan dibakar semangat membara (biasalah, awal-awal gitu), aku memutuskan untuk pergi ke sabuga buat nge-gym (sebodo amat si Iman nggak bisa ikut).

Seperti biasa, kebangun jam enam. Bangun, mandi, dan nyeduh energen. Sengaja nggak sarapan soalnya takut sakit perut (sarapannya dijadikan bekal, sih). Berangkat dari rumah, jalan dulu sampai Jalan Sunda (kayak biasa), itung-itung pemanasan. Naik angkot, turun di Ganeca, dan jalan lintas kampus sampai Sabuga (sempat ketemu anak-anak panitia INKM yang lagi sibuk-sibuknya). Sepanjang jalan, si majalah itu sama sekali nggak masuk tas.

Kenapa aku rela meganging majalah itu sampai gym? Karena ada yang mau aku tanyakan. Salah satu item latihan itu memakai mesin calf-raise. Dan aku nggak tahu mesin calf-raise itu yang mana. Secara emang nggak pernah nge-gym sebelumnya. Jadi, aku mau langsung nanya ke instrukturnya sambil bayar biaya nge-gym (biar nggak diliatin orang gym lain dan akhirnya tengsin).

Niatnya sih gitu. Makanya, sambil nyodorin duit buat bayar, aku langsung todong si instrukturnya. Berikut petikannya (dengan format meniru para blogger profesional macam Mbak Miund dan Mas Radith):

Aku: Mas, kalau latihan yang ini pake alat yang mana ya? (sambil nunjuk latihan yang dimaksud sembari tengsin-tengsin malu-maluin)

Instruktur: (cuek. Nerima duit, trus ambil pulpen) Iya, tunggu ya. Namanya siapa?

Aku: (nutup majalahnya) Ferdy...

Si mas-mas itu pun menulis namaku dengan ekspresi datar dingin tanpa ekspresi (lho?). Aku jadi kikuk, secara aku bingung mau terus SKSD atau nggak. Si mas instruktur nyerahin kunci loker, terus ujug-ujug nanya, “Yang mana latihannya?”

Aku langsung nyodorin. “Yang ini, Mas.” Terus baru nyadar kalau aku nyodorinnya kebalik. Sumpah deh, selama ngbolak-balik halaman majalah itu, aku berdoa semoga nggak ada orang yang datang dan bayar. Untung inget halamannya di mana.

Si mas instruktur ngeliatin latihan yang kumaksud, terus manggut-manggut. “Oh, yang ini. Bisa kok pake mesin yang itu.” Dan dia menunjuk ke suatu arah yang tampak abstrak.

Berhubung kalau aku tanya juga aku nggak akan tahu yang mana mesinnya (secara mesin-mesin di situ two-in-one semua), aku langsung bilang, “Ya udah. Ntar tolong tunjukin aja yang mana, ya? Makasih!” dengan senyum-innocent-anak-19-tahun-yang-bisa-menjinakkan-bapak-bapak-ganas-sekalipun. (:P)

Time is money (or, in this case, health), so I got changed, put my belonging into locker, and stepped into my first training machine: leg press. Masih mengingat prinsip-prinsip yang ditulis di artikel itu: satu set lima belas repetisi, tiap repetisi enam detik, gunakan beban awal yang PALING ringan kalau tidak tahu beban awalnya berapa.

Nah, di sini mulai bingung. Secara di sesi workout-ku yang sebelumnya, aku pake beban yang beratnya dua puluh kilo (sepuluh kiri, sepuluh kanan). Yasud, kadung gengsi, berlatihlah aku pake beban segitu. Kelar dari leg press, sambil ngitung sampai 90 dalam hati (karena di sana ditulis isirahat antar latihan 90 detik), aku pergi ke latihan berikutnya: lat pulldown. Di sini sih nggak ada masalah. Palingan salah ngeset beban sehingga latihan yang niatnya satu set terpaksa dinaikkan menjadi tiga set.

Sembari ngumpulin napas sehabis narik-narik beban dua puluh kilo, si mas instruktur manggil. Dia nunjuk mesin leg press yang (lagi-lagi) ternyata two-in-one.

Instruktur: Pake aja mesin yang ini. Coba lepas joknya (sembari nunjukin bantalan jok yang terpasang di kaki mesin).

Aku: (mulai berjongkok, mencari kenop buat dilepas) Mmm... gimana? Nggak ngerti, mas...

Instruktur: (berjongkok, mencabut jok (gampang banget ternyata!), terus ngotak-ngatik mesinnya. Mendadak mesinnya jadi mirip sama yang di majalah, walaupun nggak tegak) Nah, gini doang, kok.

Aku: (nahan malu) Oke. Makasih! (Sambil mempertontonkan senyum pamungkas)

Oke. Aku ngaku. Aku emang nggak pakar soal ngotak-ngatik gituan. Bahkan (mau ngaku nih) pake treadmil aja nggak bisa karena nggak ngerti komputerisasinya. Kurang clueless apa aku ini, coba?

(Backsound: bilang aja udik)

Habis itu, langsung melesat ke pojok barbel. Jadi, barbel itu adalah batang besi yang di ujungnya dikasih pemberat mirip donat dan ditahan pake baut. Biasanya suka ada orang yang make sebelum aku, jadinya aku tinggal buka dan ganti bebannya. Tapi, kali ini, barbel itu masih teronggok manis di depan cermin. Masih belum dirakit.

Diiringi insting, aku ambil satu batang besi yang paling nggak karatan dan ada ulirnya (logikanya, si baut harus bisa nahan si beban, dan itu nggak mungkin kalau batangnya nggak berulir). Aku seret benda itu ke deket dumbel, tempat beban-beban tiga kilo-an terpasang di dumbel (mirip kayak barbel, tapi lebih pendek). Insting bekerja lagi, dan aku membuka baut di dumbel buat ngambil bebannya. Satu keambil.

Karena aku bekerja dengan prinsip satu-satu, aku pasang dulu si beban itu ke batang barbel. Kan di sana tuh ada cincin besi di ujung ulirannya, aku anggap itu bautnya. Dan, dengan lugunya, aku berusaha membuka cincin besi itu sampai akhirnya nyadar kalau cincin itu dipaten ke batang barbel! Sampai-sampai orang yang lagi bench press di sebelah kasihan melihat aku. Dan, bodornya, dia berusaha membantu dengan melakukan sesuatu yang lain dari niatku semula: ngebuka cincin besi yang (ternyata) dipaten.

Bench-presser: (naro barbelnya) mau dibuka yah mas?

Aku: (gugup) i-iya (masih belum nyadar cincin besi itu dipaten)

Bench-presser: (ngambil dumbel yang bautnya kayak kembang itu. Dia ngambil sesuatu yang keras, terus dipukulin ke bautnya) Nih, mas (sambil buka tuh baut yang curiganya udah bisa dibuka sejak awal)

Aku: Makasih (tengsin, tapi tetap tersenyum. Baru nyadar kalau itu dipaten)

Yah, mas... maaf deh kalau aku mengganggu latihanmu yang berharga. Maklum, anak baru. (:P) Seolah belum cukup, aku nekad masukin mur buat dumbel ke batang barbel. Ya jelas nggak akan masuk, dodol! Si mas bench-presser kali ini nggak ngebantuin. Mungkin dia sibuk bench press kali ya. Dan akhinya si aku menyadari kalau baut buat barbel ada di keranjang merah di bawah rak. Yaelah... ngomong dong dari tadi!

Rasa malu pun ditimpakan pada barbel yang tak berdosa: dipake barbel curl setengah nafsu. Habis itu bench press (sempet nunggu lama karena ngeliat cowok yang malu-malu kucing gitu pakenya; dua repetisi, menghela napas lelah, taro barbel, duduk, celingukan, latihan lagi. Jangan ge-er lah, yang gua lihat tuh mesinnya, kok. Bukan situ) dan dikoreksi pelatihnya (“Batang besinya sejajar dada. Mundur lagi.”). Sembari nunggu bench press, aku sempet-sempetin nyoba sit-up negatif yang pelan tapi melelahkan. Cobain, deh. Habis itu, ada dua item lainnya sampai akhirnya tiba ke item yang ditunggu-tunggu: heel raise!

Dan di sini, aku kembali menjadi si tampan yang clueless. (:P)

Jadi, ceritanya, mesin buat heel raise itu tuh mesin yang sama dengan leg press. Dan mesin itu baru aja dipake ibu-ibu bertato kaki. Aku tahu kalau sandaran kaki buat leg press harus dibuat lurus, tapi nggak tahu caranya karena tadi lebih mikirin cara nyopot jok. Dan, lagi-lagi, aku menjadi objek yang patut dikasihani saat mencoba mencopot baut yang (lagi-lagi) ternyata dipaten ke mesinnya.

Ibu kaki bertato: mau diapain, mas? (tampang prihatin)

Aku: (nggak yakin bisa nerangin) mau dilurusin, Bu.

Ibu kaki bertato: (mulai ngotak-ngatik batang penopang sandaran) mau dimiringin yah, mas?

Aku: (mulai bingung neranginnya gimana) dilurusin, bu. Biar sejajar. (tangan mulai main, meliuk-liuk nggak informatif)

Ibu kaki bertato: begini? (sambil ngotak-atik mesin. Tiba-tiba sandaran kakinya udah lurus)

Aku: Iya, bu (tengsin lagi) Makasih (senyum marketing profesional pun keluar)

Aaaarrrghhh! Aku memalukaaaaan!

Akhirnya workout itu pun diakhiri dengan knee raise dan back up masing-masing empat puluh repetisi (saking kesalnya). Habis itu chit-chat sama mas instruktur. Kita ngomongin banyak hal. Tapi, yang paling nanjleb pas dia bilang, “Crunch aja yang banyak. Yang normal aja.” Buset, jadi dia tahu aku pake sit-up negatif dari tadi! Aku diperhatikan olehnya! (mata mulai berkaca-kaca) Akhirnya SKSD-ku berhasil! Horeee!

Kesimpulannya, workoutku hari ini berantakan banget. Yaiyalah, nggak ngurut soalnya. Harusnya kan dari ujung kaki ke bahu, ini malah loncat-loncat. Mana bingung pula mau nerusin program dari majalah atau program di dinding gym. Tapi, ya sudah. Toh, sekarang aku tahu kalau aku bisa chit-chat sama mas instruktur dan pelanggan tetap gym sabuga. Hehehe...

Yah, seperti janjiku sama mas instruktur: kalau jadwal memungkinkan, aku mau jadi member dan workout tiga kali seminggu. Pokoknya, satu tahun dari sekarang, aku harus punya tubuh bagus!

Semangat!

Wednesday, August 13, 2008

Selamat Jalan Akbar...

Harusnya aku udah tidur jam segini. Apalagi kalau besok aku jadi fitness. Tapi yah, sudahlah. Toh, udah kadung nggak bisa tidur juga…

Jadi, ceritanya, sesaat ketika aku mau tidur (walaupun pastinya nggak akan bisa langsung tidur saat itu juga), Pz nelepon aku. Suaranya terbata-bata gitu. Aku langsung duduk tegak, khawatir. Habisnya, kalau Pz sampai nelepon, apalagi sampai terbata-bata, berarti yang dia sampaikan pasti penting banget.

Aku tanya, ada apa. Dan dia jawab, “Akbar meninggal.”

Sempat speechless selama beberapa saat. “Innalillahi... Kapan meninggalnya?” tanggapku, cukup standar kalau kupikir lagi.

Dan Pz pun bercerita. Tentang kabar itu yang dia terima dari Be’es. Tentang Akbar yang katanya meninggal tadi sore di Cianjur. Tentang keinginannya untuk mengontak Zuhri, adik Akbar, untuk konfirmasi.

Aku langsung menghubungi Reza, juniorku yang juga ikutan Olimpiade Biologi. Dan dia bilang kabar itu benar. Ditambah lagi dengan SMS forward-an dari Farida. Yah... berarti Akbar memang meninggal (walaupun waktu meninggalnya masih simpang siur; ada yang bilang sore, ada yang bilang pagi).

(Menghembuskan napas) Akbar... nggak nyangka banget gua...

(Nostalgic Mode: On)

Pertama kali kenal Akbar waktu kelas satu SMA. Waktu itu persiapan menuju Olimpiade Biologi tk. Wilayah. Aku disuruh tunggu di depan lab biologi, dan di sana ada dia. Kita sempat mengobrol sebelum gurunya datang. Orangnya ramah, ceria, dan baik banget. Dan, uniknya, dia memanggil dirinya sendiri dengan nama, hal yang jarang kujumpai pada cowok.

Waktu itu, kita punya ambisi yang sama: juara olimpiade tingkat internasional, terus masuk FK. Kita sama-sama jago biologi, jadinya sering diikutsertakan dalam lomba-lomba. Dari situ, kita kenal sama Pz dan Nesu, yang juga jago dalam bidang biologi (nggak usah ngeles yah, Pz (:P)).

Aku jadi ingat pas kita ikut lomba berempat. Lomba HBO, kalo nggak salah. Kita berangkat naik mobilnya Elsy ke FK Unpad. Aku sekelompok sama Akbar dan Pz. Pas lomba sesi pertama, kita malah ketawa-tawa sambil ngisiin lembar ujian. Wajarlah kalau kita akhirnya disensiin sama seniornya dan nggak lolos tahap itu. Dan, lagi-lagi kita ngetawain hal itu bertiga (sambil ngeledekin Nesu yang lolos ke tahap berikutnya dan harus pasrah karena didampingi Ibu Budi).

Saking seringnya bareng, kita jadi dekat. Cukup dekat untuk membentuk sebuah geng bernama Penjol. Awalnya dari kumpul-kumpul di rumah Pz (aku nggak ikut waktu itu karena... apa ya... lupa), dan mereka memberiku panggilan yang tak sedap didengar telinga: brojol. Dasar kalian kejaaaam! (:P)

Jadi ingat lagi masa-masa kelas tiga ketika aku hobi saling nyeletuk sama si Akbar (mau ngaku, kadang-kadang aku suka nasteung denger komentarnya yang innocently annoying). Si Pz bahkan bilang kalau aku dan dia sudah kayak anak TK, hobinya berantem mulu (dan aku balas bilang kalau Pz adalah guru TK yang bertugas mendamaikan kami berdua (:P)). Jadi ingat masa-masa ketika Akbar minta aku ikut Tianshi dan jadi downline-nya (padahal harusnya dia yang jadi downline-ku, tapi aku malah nyodorin nama dia ke Araf karena nggak mau join). Jadi ingat suatu sore ketika aku, Nesu, dan Pz dengerin dia presentasi Tianshi, dan Pz melontarkan kritik khasnya yang (lagi-lagi) berbobot dan bikin aku merinding.

Jadi ingat kata-katanya yang intinya ngasih tahu kalau aku sudah keterlaluan sama “dia”. Jadi ingat cita-citanya yang kupikir muluk namun diucapkannya dengan penuh kesungguhan. Jadi ingat keceriaannya, senyumnya, tertawanya, caranya ngeles. Jadi ingat kalau dia pernah nraktir aku dan Pz dengan gaji pertamanya dari Tianshi. Dan Pz bilang dia semangat banget ingin ngajak kami nonton berempat. Jadi ingat kalau pertanyaanku soal mengapa perutnya mendadak buncit hanya ditanggapinya dengan cengangas-cengenges yang memancing jitakan (padahal aku sungguh-sungguh khawatir waktu itu). Jadi ingat kalau dia mendadak menghilang sejak kelulusan dan tahu-tahu aku mendengar kabar kalau dia akhirnya kuliah di FK Unjani.

Dan orang itu kini sudah tak ada. Sudah tak bisa kutemui. Mungkin kini dia sedang dimandikan atau dikafani. Mungkin juga sedang disemayamkan. Mungkin... mungkin...

Dan akhirnya aku menelepon Pz. Kita bicara lama sekali. Dari situlah, aku tahu tujuan utama Akbar masuk Tianshi: ingin bikin rumah sakit gratis.

“Gua prihatin sama pelayanan kesehatan yang minim bagi orang-orang nggak mampu. Karena itu, gua mau ikut Tianshi sampai dapet kapal pesiar. Semua itu mau gua jual dan gua pakai buat bikin rumah sakit. Walaupun gua nggak keterima SPMB FK, gua bakal tetap jadi dokter dan nolong orang,” ucapnya, seperti dikutip Pz.

Dalem. Banget. Sumpah.

Dan orang itu kini sudah tiada.

Bar, sebagai salah satu orang yang kuanggap dekat, aku merasa kehilangan dengan kepergian ini. Namun, yang bisa kulakukan hanya mengucapkan selamat jalan. Kami semua mendoakanmu, Bar. Semoga amal ibadahmu diterima di sisi-Nya dan dosa-dosamu diampuni.

Dan... semoga aku bisa bertemu lagi denganmu di surga-Nya kelak.

Amin.

P.S. : Kok... mata gua jadi panas yah pas ngetik ini? Apa karena Counterpain kena mata? Tapi, kok dada gua ikut-ikutan sesak ya? Tabah, Fer...

P.S. 2 : Kalau ada yang mau ke makamnya, aku ikut ya. Aku ingin mengantarnya pergi kalau bisa, tapi... apa daya...

Tuesday, August 12, 2008

Cinta dan Nafsu

Apakah cinta menjadi ternoda saat nafsu merengkuhnya?

Apakah nafsu menjadi agung saat cinta menyentuhnya?

Apakah cinta adalah nafsu dengan topeng moralitas manusia?

Apakah nafsu adalah salah satu persona cinta?

Kalau begitu, yang mana yang harus kuturuti?

Cinta? Ataukah nafsu?

Wishlist Semester 3

Semester baru… suasana baru… dan, yang paling nyebelin, hasrat baru untuk beli barang-barang baruuuuw! Yah, udah tahu keuangan keluarga lagi tekor begini, entah kenapa malah jadi lapar mata kalau pergi ke mana-mana teh. Hiks, jadi pengen kerja yang lumayan bisa kekerjain buat ngumpul-ngumpul duit. Jadi model, Fer? (teteuuup)
So, untuk sedikit melepaskan unek-unek, mending tulis dulu aja di sini mau apa aja. Siapa tahu ada yang tergugah untuk mendanai mahasiswa tampan, pintar, namun miskin ini. Tul nggak? Hehehe...

Wish number one: electric portable shaver.

Keinginan yang menggebu akan benda ini sebenarnya berawal dari dendam pribadi pada barang bernama pisau cukur. Yup, benda kuning bergagang dan umumnya bermerek Gillete itu. Nggak tahu kenapa, habis cukuran, mukaku selalu kayak habis jatuh di jalan. Pasti kegores di sana-sini. Padahal udah hati-hati banget nyukurnya, pake foam pula (dan si foam itu bikin bercukur jauh lebih sulit). Jadi menyesal kenapa tahun lalu nggak beli aja pas bazaar penyambutan mahasiswa baru, padahal waktu itu lagi banyak duit. Hiks-hiks...

Wish number two: multimedia player

Sebenarnya dulu nggak kepingin banget sama benda ini. Cuma sayang, MP3 player-ku yang dapat dari doorprize ultah Abby tuh sudah rusak. Sama sekali nggak mau nyala. Mungkin karena kuaniaya dengan dipakai full time kali ya. Tadinya sih mau beli yang keren kalau dikalungin, kayak punyanya Minato Arisato di Persona 3. Tapi, udah keliling-keliling BEC dan Be Mall nggak dapet juga. Trus kepikat sama iPod Video, tapi kayaknya kegedean buat ditaro di kantong. Mahal pula. Yah, kalau wish number one nggak kesampaian (atau terbukti kurang relevan), kayaknya duitnya mau dialokasiin buat ke sini deh...

Wish number three: Laptop

For god’s sake, I’m novelist wannabe! Udah berkali-kali aku harus kehilangan ide penting cuma gara-gara nggak punya kertas buat nyatat. Dan lagi, di mana-mana udah ada hotspot kan? Kalau nggak dimanfaatkan kan sayang (:P). Cuma, yah, emang harganya agak mahal. Apalagi yang layarnya 13 inci dan imut-imut. Yah, jadi ajah harus bersabar lagi buat beli barang ini...

Wish number four: gym’s membership card

Bukan cuma kartu anggotanya, lah. Pinginnya sih jadi anggota di gym dekat kampus. Kan lumayan tuh, kalau nganggur bisa lari ke gym. Demi body dan sixpack idaman, hehehe. Tapi yah... pertanyaannya sekarang, bakal nganggur nggak pas kuliah nanti? Secara praktikum lima kali tiga jam perminggu. Itu artinya lima jurnal dan lima laporan. Hiks, time management is a must here...

Wish number five: pocket digital camera

Tujuannya simpel sih: buat ngedokumen hal-hal unik nan menarik plus narsis-narsisan. Siapa tahu bisa dipasang di FS ma FB, trus menarik perhatian para talent scout, dan berujung pada my path of superstardom. Sebenarnya udah ada yang 3,2 megapiksel, tinggal nyari batere rechargeable ma kabel konektor ke komputernya (ada nggak ya di BEC?). Tapi... yah... pengen yang megapikselnya lebih... Yaa... hasil fotonya bisa diotak-atik pake photoshop sih. Which brings us to the next wish...

Wish number six: certificate

Bukan sembarang sertifikat, lah. Aku ingin ngambil satu kursus keterampilan di semester ini tuh. Yang terpikirkan sekarang sih bahasa atau desain grafis. Pokoknya yang bisa menjadi nilai tambah lah. Dan... tampaknya... sertifikat-sertifikat seminar juga bisa membantu tuh. So, aku wajib ikutan kokesma semester ini!

Wish number seven: Brock’s Biology of Microorganism

Buku bible-nya jurusan miktobiologi! Barusan liat di Elvira, harganya 300rb plus-plus. Memang sih diskon sepuluh persen, tapi tetap saja... Moga-moga bisa kebeli deh, soalnya bukunya tinggal
satu lagi di sana...

Wish number eight: Braces + Crown


Perhatikan FS-ku deh. Pasti nggak ada foto diriku tersenyum sambil memperlihatkan gigi. Yupo, gigiku memang berantakan. Dan diperparah lagi dengan potongnya si gigi depan. Sekarang gigi-gigi depanku makin lama makin maju, jadinya sering menggores bibir. Apa daya, Bracer is a must here...

Mmm... apa lagi ya? Aneh memang, keinginan yang banyak mendadak hilang pas mau dituangkan di selembar kertas. Yang jelas sekarang mah pingin mempermak badan biar bisa jadi model :P

Cheers!