Opera Ganesha. Sebuah acara yang membuat penasaran civitas kampus selama seminggu lebih rangkaian Dies Emas ITB. Sebuah even klimaks dari perayaan kedigjayaan kampus ganesha. Sebuah opera luar biasa ber-tagline “Napak Tilas Gajah Kencana Meniti Kala”.
Saat balihonya pertama dipasang di depan gerbang ganesha, saya sudah kebelet ingin nonton. Pasti rame banget, nih. Apalagi setelah mendengar desas-desus dari teman-teman yang bermain peran di sana. Untungnya saya berhasil mencomot satu dari lima tiket yang dikirim ke rumah—walaupun akhirnya yang dipakai cuma tiga tiket (keluh).
Waktu sampai di Sabuga Minggu malam (8/3), saya benar-benar kagum. Disambut oleh resepsionis yang rapi-rapi dalam dandanan serbahitam, saya—dan paman serta bibi saya—digiring menuju lorong berisikan foto-foto. Ada foto kampus masa kini, foto hitam putih yang mungkin diambil saat pemerintahan Soekarno, foto berwarna berisikan orang-orang dengan dandanan eighties… saya ingin melihat-lihat, namun juga tak sabar ingin menonton operanya.
Kami dapat bangku di jajaran tengah, dereta paling depan. Entah beruntung entah sial. Namun aku nggak bisa protes, karena bangku lain yang tak terisi hanya di jajaran samping. Aku jadi ingat akan keluhan temanku yang menyayangkan dirinya tak dapat tiket masuk padahal dia penari.
Pukul tujuh lebih—hampir setengah delapan—acara dibuka. Panggung dipenuhi hiruk pikuk layaknya di peron, didukung oleh layar yang menayangkan gambar kereta api. Ada penjaga peron yang berdiri di tengah, ekspat yang menggandeng istrinya, none belanda yang belanja gulali, tukang sapu, pengemis. Seorang ibu hamil yang ditinggal suaminya hilir mudik di depan bangku penonton, begitu pula seorang penjual balon. Aku kenal ibu hamil dan penjual balon itu, namun sayang aku nggak dapat balon (wkwkwkwkwk).
Narator mengumumkan keberangkatan kereta. Layar menjadi redup, dan menayangkan gambar gajah-gajah tengah berlari. Tampaknya gajah menjadi simbolisme civitas ganesha, atau bahkan ITB itu sendiri, karena sesaat kemudian rombongan penari berkostum kuning dan bertopeng gajah mulai memasuki panggung. Sang konduktor, Purwacaraka, mengangkat batonnya, dan lagu khas orkestra yang membahana pun mengalun memenuhi jagat Sabuga.
Keluhan teman saya pun terjawab. Para penari tidak memerlukan undangan, karena mereka menari sepanjang pertunjukan. Tarian mereka seirama dengan lagu, sesuai dengan tema yang ingin disampaikan konduktor dan narator. Mereka terus menari, kadang lincah, kadang ceria, kadang menghentakkan kakinya penuh amarah. Bagai dikomando oleh lagu, mereka terus bergerak selama scene-scene perlambang perjalanan ITB tersebut.
Berbagai macam musik mengalun, sesuai dengan tema bagian itu. Saat peresmian ITB untuk pertama kalinya, lagu yang dimainkan adalah lagu di panggung broadway yang ceria. Tari kecak dijadikan perlambang masa kelam G30S(PKI), dan para penari menghentakkan kakinya seolah sedang berperang. Ketika datang masa tenang, PSM ITB menyanyikan lagu “Naik Delman” yang diaransemen ulang dan para penari bertingkah bagai anak kecil menari riang. Lagu menegangkan kembali mengalun saat bagian “Menjatuhkan Rezim Soeharto” dan dua barongsai-berkepala-gajah dengan lincahnya berusaha saling menjatuhkan (salah satu gajah berwarna kuning dan lainnya merah, simbolisme?). Dan, untuk melambangkan masa kini yang penuh kreasi, lagu-lagu ceria kembali mengudara dan para penari kembali melakukan tarian-tarian sederhana dan modern. Ada breakdance segala, lho! Dan sumpah, itu keren banget!
Acara akhirnya ditutup dengan gegap gempita. Seluruh pihak yang menjadi tulang punggung acara ini mendapat karangan bunga dari orang-orang penting civitas ganesha. Tampak kepuasan dari mata setiap partisipan, terutama para penari. “Kita latihannya udah lama banget, nggak ada yang mau turun dari panggung,” ujar seorang teman, Inta, yang tampak begitu bahagia. Bravo civitas ganesha! Bravo opera ganesha! Bravo untuk kita semua!
Sunday, March 8, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment