I
Sore hari di kawasan utara Bandung[1] yang begitu tenang. Cercah hangat mentari menyinari alam dengan kehangatan terakhir menuju malam. Burung-burung mulai terbang pulang ke sarangnya yang hangat. Sebuah gedung laboratorium berdiri khidmat di tengah pepohonan. Bebungaan berwarna-warni yang mengelilinginya mengangguk-angguk ditiup angin sepoi yang turut membawa serta wangi bunga ke angkasa.
Sungguh tempat yang nyaman dan tenang, bukan?
Bukan. Sayang sekali.
“Risa, ayo sini. Kembaliin jas lab teteh. Itu inventaris kantor, nggak boleh sampai hilang. Ayo, di mana kamu sembunyiin?”
Perkenalkan. Cewek ini bernama Honey—tapi namanya dibaca “Hani”—dan dia adalah salah satu analis di lab tua ini. Ceritanya, dia mengajak kedua adik kembarnya main ke tempat kerjanya—keputusan yang langsung ia sesali. Dia hendak membuang limbah cair hasil analisis hari ini ketika jas labnya tidak ada di meja lab. Dan kecurigaannya mengarah pada Risa, salah satu adiknya yang punya sense of fashion tinggi untuk anak kelas 4 SD dan ribut terus mau memodifikasi jas labnya.
“Umm... Jas labnya di...” Risa berkata lambat dan takut-takut. Habisnya dandanan Honey mirip guru matematikanya: berkacamata tebal dan rambut diikat kuncir kuda.
“Di mana?” tanya Honey tak sabar. “Risa, kalau nggak ngomong sekarang, nanti teteh doain jodohnya bukan ekspat muda ganteng bin kaya lho. Mau nggak? Nggak, kan? Makanya, ayo ngomong! Ngomong!”
“Teteh kenapa?” tanya Risa polos. “Salah makan obat?”
Grrr. Honey geram. Pura-pura polos lagi nih anak. “Ayo cepetan, Risa! Bentar lagi maghrib! Kantor tutup! Jas labnya ada di—RINO!”
Rino adalah saudara kembar Risa, berwujud anak laki-laki berjas lab kedodoran yang kayaknya terbuat dari karet saking hiperaktifnya. Sekarang dia mulai menggeratak lemari berisi peralatan kaca yang (pastinya) mudah pecah. Honey yakin, kalau sampai salah satu alat di situ pecah, bisa-bisa dia harus kerja seumur hidup di lab ini untuk menggantinya. Segera ia menyimpan limbah di kusen jendela, lalu mengejar Rino.
Risa bersungut-sungut, “Tuh, dia tahu jas labnya dipegang Rino.”
“Teteh, ada akuarium bulat kecil! Buat Rino yaaa?!” ujar Rino sambil mengacungkan tabung kaca bulat dari kotak distilasi set.
Honey panas dingin. Distilasi set itu harganya mahal, dan kalau komponennya satu saja pecah, dia harus menggantikan se-set utuh. “JANGAN, RINOOOO!” teriaknya, agak berlebihan. “KASIHANILAH TETEHMU YANG CANTIK TAPI MENJOMBLO INI!”
Heugh, dasar. Sempat-sempatnya promosi segala lagi. Wajarlah Honey masih melajang, bahkan hampir menyandang predikat jomblo perak. Habisnya... *bip*[2]
Rino tak mendengar curhat colongan tetehnya. Dia malah makin semangat berlari mengitari meja lab. Mungkin di kepalanya terputar lagu Pesawatku[3] karena kini dia mulai merentangkan tangannya.
Risa yang lebih dulu sadar. “AWAS KE...”
Namun terlambat. Ujung tangan Rino mengenai gelas kimia tempat limbah zat yang lalu terguling. Isinya tumpah ke luar jendela.
“...na.” Risa menyelesaikan ucapannya.
Dengan penuh horror Honey mendekati gelas yang terbalik itu. Dia tahu apa yang ada di balik kusen itu: sekuntum mawar. Mawar merah besar yang wangi, dan dia baru mekar tadi pagi. Dengar-dengar, mawar ini kesayangan istri bosnya dan varietas ini harus menjalani serentetan perlakuan karantina sehingga harganya jadi mahal sekali. Dan sekarang—Honey melihat dengan takut-takut—mawar itu belepotan warna karat limbah; beberapa helai kelopaknya gugur.
Mampus.
Honey berbalik menatap Risa dan Rino, wajahnya mirip kepala sekolah mereka yang memang galak. “TUH KAN! UDAH TETEH BILANG JANGAN NAKAL! KALAU TADI ADA YANG PECAH GIMANA? TERUS SEKARANG TANAMANNYA JADI MATI, KAN?”
Kedua adiknya hanya bergeming, sedikit bergidik, dan kayaknya nahan pipis. Dalam keadaan biasa, Honey pasti menyuruh mereka ke kamar mandi, tapi kali ini Honey tidak peduli kalaupun mereka ngompol. Kalaupun beneran ngompol, lumayan ada urea buat besok pagi (lho?). Yang aneh, kedua adiknya sama sekali tidak melihatnya, tetapi ke suatu arah di belakangnya.
Marah karena nggak dianggap, Honey teriak lagi, “Kalian liat ke mana, sih?!”
Alih-alih menjawab, mereka malah menunjuk sesuatu di belakang bahu Honey. Ia berbalik.
Dan tercengang.
Di belakangnya, tepatnya di luar jendela, ada seorang cowok berdiri memandanginya. Cowok berkulit putih, berambut merah, dan bermata hijau. Raut mukanya ingin-tahu-tidak-bersalah khas anak-anak, namun tampangnya sudah lepas ABG, paling tidak. Dia begitu tinggi; Honey sampai harus mendongak untuk menaksir umur dari mukanya. Dan ia telanjang dada, tubuhnya menguarkan harum yang begitu memikat namun tak asing.
“Teteh, mau pipis,” ujar Rino.
Ayam jantan berkokok dari seberang jalan[2]. Honey menelan ludah, membayangkan apa yang tersembunyi[3] di balik kusen jendela. Namun, sekonyong-konyong cowok itu melompat masuk kusen dan memeluknya erat-erat. “Aku sukaaa!” serunya panjang.
“GYAAAAAAA! TOLOOOONG! GUA DIPERKOSAAAA!”