Friday, February 8, 2008

Bulukan Karena Cuti Bersama

Postingan kedua, nih. Sejauh ini belum ada indikasi bakal berhenti nge-blog. Yang ada malah ide tulisan yang mengalir terus kayak banjir. Mudah-mudahan semuanya tertampung dan bisa di-post dengan aman, nggak kayak banjir yang malah meluber dan destruktif sifatnya.

Pembukaan yang aneh... Iya nggak, sih?

Anyway, seperti yang kita tahu, hari ini adalah hari yang tadinya diliburkan dengan alasan “Cuti Bersama”. Seperti yang kita tahu juga, kemarin adalah hari raya Imlek, hari yang pasti dirayakan banyak penduduk Indonesia beretnis Toinghoa. Saya agak bingung, mengapa diterapkan cuti bersama seperti ini? Apakah karena hari ini kebetulan “terjepit” di antara Imlek dan hari Sabtu sehingga dijadikan “Hari Kejepit Nasional” berkedok “Cuti Bersama”? Atau sebab-sebab lainnya?

Yang jelas, saya menyambut gembira hari ini. Mengingat hari Rabu kemarin saya tak ada kuliah, itu artinya saya kembali libur lima hari sejak Rabu sampai Minggu. Wuih...

Tapi, seperti yang kita tahu juga, cuti bersama dibatalkan. Entah oleh siapa. Kakak sepupu saya sampai membatalkan rencananya untuk menginap di rumah orangtuanya—which is the exact home I live in now. Paman saya juga tampak semangat menyambut rapat yang akan diadakan di “mantan-hari-cuti-bersama” ini. Melihat semua hal itu, saya pun termotivasi (cuih) untuk masuk kuliah sepagi biasanya.

Pagi ini saya datang ke kampus seperti biasa. Tetap kepagian. Setengah jam saya menunggu sampai ada seorang teman saya yang menampakkan mukanya ke dalam kelas. Dan yang pertama ia tanyakan adalah, “Fer, beneran hari ini kuliah?”

Saya hanya mengangkat bahu.

Topik itu menjadi hangat dibicarakan ketika teman-teman saya, mahasiswa Fakultas Ilmu Hidup dan Kehidupan universitas Gajah Bertangan Empat, mulai memenuhi kelas. Sampai kelas (seharusnya) dimulai pukul tujuh, kita berspekulasi mengenai perkuliahan hari ini. Dan semuanya sepakat: Dosennya sangat mungkin nggak masuk.

Pukul tujuh. Tak ada yang masuk. Wajar, toh dosen memang kadang terlambat masuk kelas.

Pukul tujuh lewat lima belas. Masih wajar. Beberapa anak mulai gelisah. Saya mencoba bersabar.

Pukul tujuh lebih tiga puluh. Sang ketua kelas baru datang. Anak-anak menyimpulkan kalau sang dosen nggak mungkin masuk setelat ini dan berinisiatif membuat absensi dari kertas binder (yang berasal dari binder saya :p).

Kelas berikutnya tak beda jauh. Sampai pukul setengah sembilan, nggak ada tanda-tanda kedatangan dosen. Anak-anak mulai mengeluh dan menyuarakan betapa beruntungnya anak-anak yang saat itu tidak hadir dan merasakan betapa tidak enaknya menunggu tanpa kepastian. Seorang teman bercerita pada saya tentang betapa malangnya nasibnya hari ini: bangun kesiangan, susah angkot, lari dari gerbang belakang kampus terus naik tangga yang muter-muter bin curam, dan nunggu sampai bulukan.

Ada yang nyeletuk—untuk memperkeruh suasana—kalau semua “Hari Kejepit Nasional” berkedok “Cuti Bersama” dibatalkan. Sayang sekali. Padahal, teman saya melaporkan kalau semester ini bakal diwarnai hari-hari libur yang jatuh pada hari Kamis.

Mungkin yang saya alami ini adalah hal yang lumrah dialami mahasiswa. Mungkin rekan-rekan mahasiswa lainnya, atau yang pernah menjadi mahasiswa, akan mencibir membaca tulisan ini. Mungkin mereka berkata, “Hah, masa yang gini aja lo keluhin? Dulu tuh gua pernah ngalamin yang lebih parah.”

Kalau memang begitu, maaf saja.

Saya cuma penasaran, kenapa pemerintah menerapkan hari ini sebagai hari libur sejak awal tahun lalu tiba-tiba membatalkannya beberapa hari sebelum hari itu? Apa mungkin karena pemerintah merasa kalau Indonesia terlalu banyak liburnya? Kalau memang begitu, apa ini tidak terpikirkan sejak awal, sejak menentukan hari-hari libur? Kalau iya, gawat juga.

Lalu, tentang penghapusan semua “Hari Kejepit Nasional” (kalau itu benar), saya harap bapak-bapak pemegang kekuasaan di atas sana mau memikirkannya lagi. Saya cinta liburan, soalnya. :p

Mengenai dosen saya yang nggak masuk itu, saya nggak ingin mengulasnya di sini. Saya takut mengorek terlalu dalam, karena ini menyangkut nama institusi. Dan lagi, saya belum mau dikenai sanksi atas tulisan saya yang dikerjakan dengan dasar iseng ini. Saya cuma ingin menyatakan, saya tak suka menunggu. Dan satu-dua jam itu bukan waktu yang sebentar.

Yang bikin saya penasaran, apa benar banyak teman-teman Tionghoa kita yang kesal akibat penghapusan “Cuti Bersama” ini? Soalnya saya menjumpai beberapa teman saya yang juga penasaran mengenai hal ini. :p

No comments: