Wednesday, February 11, 2009

Ospek: Rumput Liar Akademisi ITB

Sudah beberapa hari ini ITB mendadak tenar. Namanya—yang memang sudah besar—disebut-sebut di TV dan koran. Namun sayang, bukan karena ITB baru saja mengirimkan kontingen untuk lomba skala internasional atau menjadi tuan rumah suatu seminar bergengsi, melainkan karena kematian salah satu mahasiswanya. Dan ironisnya, kematian mahasiswa itu terkait erat dengan satu kata yang—saya yakin ini benar—menjadi momok bagi para mahasiswa (dan calon-calonnya): Ospek.

Yup. Kegiatan yang telah dinyatakan dilarang diadakan sejak tahun 2005 ini kembali memakan korban. Korbannya adalah mahasiswa dari jurusan berinisial GD. Penyebab kematian diduga akibat turunnya daya tahan karena kelelahan fisik dan lingkungan yang kurang bersahabat. Padahal, mungkin saja dia ada di antara orang-orang berkostum kotak-kotak yang menenteng carrier besar yang kulihat hari Sabtu lalu.

Dan, mirisnya, pemberitaan media massa membuat seolah-olah ITB-lah penyebab kematian korban. Seolah ITB menjadi IPDN masa kini yang melegalkan ospek berbahaya. Padahal saya tahu persis bahwa setiap mahasiswa angkatan 2007—termasuk saya—menandatangani surat perjanjian di atas materai—yang berarti surat tersebut mengandung kekuatan hukum. Surat tersebut menyatakan bahwa siapa pun yang mengikuti ospek—atau kaderisasi atau apa pun namanya—akan mendapat sanksi dikeluarkan dari ITB. Itu berarti, ITB telah melakukan tindakan preventif sebisanya, sehingga agak tidak bijak kalau ITB-lah yang didiskreditkan.

Ospek memang dilematis. Ospek lekat dengan image perpeloncoan, tekanan mental, push-up, marah-marah, luka, dan seabrek hal negatif lainnya. Bahkan kini ospek terkesan sebagai sarana pamer otoritas dan penyiksaan senior pada junior yang dilatarbelakangi balas dendam karena dulu senior juga diperlakukan begitu. Banyak sekali nada miring mengenai keberadaan ospek, mulai dari celetukan kalau ospek harusnya dihapus, keengganan orangtua mengizinkan anaknya ikut ospek, sampai tindakan kampus yang men-DO semua peserta dan panitia ospek.

Namun, di balik semua nada miring itu, mengapa ospek—yang telah berganti nama menjadi kaderisasi—tetap saja muncul bagai rumput liar? Mengapa ketua himpunan dan seluruh perangkat ospek—mulai dari ketua panitia hingga tim pelaksana—rela mempertaruhkan riwayat akademisnya demi acara ini padahal diskors atau DO membayangi mereka? Mengapa tertanam doktrin bahwa mahasiswa harus ikut ospek?

Saya pernah menanyakan hal ini pada senior saya yang angkatan 2003, dan ia menjawab, “Untuk solidaritas.”

Dan, saya setuju dengan jawaban itu.

Saya sudah pernah ikut ospek beberapa kali, dan memang betul apa yang senior saya katakan. Terlepas dari apakah orang Indonesia memang bermental kuda (dipecut baru jalan), masalah dalam ospek telah diset untuk tak bisa dipecahkan sendiri. Di bawah tekanan, para peserta ospek terpaksa bersatu untuk memenuhi tuntutan senior mereka. Dan, tak bisa dipungkiri, setelah dimarahi semalaman pada malam puncak dan akhirnya dinyatakan resmi masuk himpunan/unit, sense of belonging terhadap himpunan/unit itu pun makin tinggi. Peserta merasa, “Oh, inilah rumah gw, yang udah nerima gw apa adanya, bersama teman-teman dan senior yang sevisi dan senada. Gw akan berusaha keras memajukan ini.”

Selain itu, ospek juga menjadi sarana senior untuk mengajarkan skill yang (dianggapnya) berguna untuk kuliah nanti. Hal ini tampak pada ospek jurusan yang terkait langsung dengan alam, seperti Biologi, Tambang, GD, dan jurusan berprefix geo lainnya. Saya sudah mengalami, ketika diospek, saya harus membangun bivak (tenda darurat dari ponco tentara) dan pada akhirnya harus tidur di dalamnya (percayalah, dingin sekali di sana). Dengar-dengar juga, ospek GD mengharuskan pesertanya membawa makanan untuk seminggu, seolah-olah mereka akan bertahan hidup di hutan sana. Latihan fisik dalam bentuk push-up juga secara tak langsung membentuk tubuh pesertanya agar lebih kuat dan tahan banting saat nantinya terjun ke lapangan.

Namun, ospek tetaplah ospek. Yang ditonjolkan adalah senioritas dan pamer kekuasaan. Beberapa jurusan yang tak terjun ke lapangan latah menerapkan kekerasan yang berlebihan. Dengan dalih penurunan nilai dan menjaga solidaritas, kekerasan seolah dilegalkan. Juga prinsip lama yang menyatakan cowok harus tegar dan tahan banting, tak peduli apa pun yang ditimpakan padanya—hal ini tampak di jurusan surplus cowok yang notabene mayoritas di ITB. Tak heran, beberapa jurusan memiliki junior yang labil emosinya, seperti dikeluhkan beberapa teman saya. Atau kasus kematian yang menggegerkan bumi ganesha ini.

Saya bukan orang yang pro-ospek dengan membeberkan hal-hal di atas. Saya hanya membeberkan nilai plus ospek yang, saya pikir, bisa didapat dari kegiatan lain yang lebih manusiawi. Kalau hanya menurunkan nilai dan menciptakan solidaritas, kerja amal atau semacamnya lebih baik ketimbang tindakan absurd yang berisiko tinggi. Dan lagi, orang tua tentu memasukkan anaknya ke ITB dengan harapan anaknya menjadi akademisi, bukan preman. Oleh karena itu, untuk kakak-kakak senior yang berencana mengadakan ospek—atau apapun namanya—saya harap kakak-kakak mau mempertimbangkan tujuan awal diadakannya ospek. Saya harap ospek diadakan murni untuk mempersiapkan adik-adik juniornya menghadapi hidup yang memang keras, bukan menimpakan dendam masa lalu.

Cheers!

1 comment:

Anonymous said...

Ketika manusia dalam tekanan, maka dia akan mencari teman, bergabung dan keluar dari tekanan tersebut. rasa emosional mereka akan terikat satu sama lain karena mereka 1 frekuensi, dan pada akhirnya rasa saling memiliki mereka akan muncul...mungkin itu tujuan dari kk sekalian...
hal ini sangat mirip ketika perang kemerdekaan, mungkin kita perlu perang lagi kali ya :D, karena banyak orang sudah apatis terhadap bangsanya sendiri,:D(maybe)