Seandainya saja mereka tahu apa yang akan mereka hadapi, mereka pasti berharap takkan pernah dilahirkan.
Ruangan itu adalah ruangan terbesar yang pernah ada. Besarnya menyamai seluruh alam semesta—atau mungkin lebih. Ruangan itu didominasi warna putih keemasan yang khas. Arah tidak berlaku di dalamnya: tidak ada rasi bintang, cakrawala, bahkan papan penunjuk arah. Ke mana pun mata memandang, hanya warna putih yang tampak.
Dan ia berdiri di situ, di samping timbunan materi paling campur aduk yang pernah ada.
Jubah keemasannya berkibar dalam keheningan, menutupi tubuhnya dari kepala hingga kaki. Kecuali mukanya, tentu saja. Ia membutuhkan mukanya—dan kelima indera yang tersemat di sana—untuk mewujudkan cita-citanya.
Sebuah citra tergambar di depan matanya—atau di dalam benaknya, ia tak pernah tahu. Citra yang menggambarkan sekumpulan sosok yang sangat dikenalnya: manusia. Citra yang mengingatkannya akan sesuatu yang telah lalu, sesuatu yang ingin ia lupakan.
Dan, di antara kerumunan itu, ia mengenali tujuh sosok bertubuh sehitam arang. Mereka begitu kelam sehingga tampak kontras di antara lautan abu-coklat yang mengelilingi mereka. Tubuh mereka dililiti rantai abu-abu karatan. Mata mereka, yang hanya berupa celah berwarna tanpa bola mata, menggambarkan kesakitan dan kepedihan yang sulit diungkapkan.
Ya, mereka. Aku jadi merasa kasihan pada mereka.
Ia menggelengkan kepalanya keras-keras. Kasihan? Ia seharusnya tidak lagi merasa kasihan. Ia telah membuang perasaan tak berguna itu bersama banyak sekali hal lain dalam dirinya. Rasanya memang aneh, kosong, namun ia seketika terbiasa. Dan lagi, aku harus melakukan itu agar tujuanku tercapai.
Ia menoleh ke arah timbunan materi di sampingnya, yang mengingatkannya akan fondasi sebuah pilar. Sedikit lagi, pikirnya, aku hanya harus bersabar sedikit lagi.
Sudah berapa lama dia berada di kota ini, tidak ada yang tahu. Bahkan dia sendiri pun tidak tahu. Yang ia tahu, ia tak tahu ada di mana ia sekarang.
Kota metropolitan di kala hujan deras yang bagai ditumpahkan dari langit. Jalanan berubah menjadi sungai-sungai berair kelabu, membawa serta serpihan plastik dan kertas yang berasal entah dari mana. Mobil-mobil terperangkap di tengah, melengkingkan bunyi yang membuat telinga siapa pun panas mendengarnya. Langit berubah kelabu, seakan menjadi cermin raksasa yang memantulkan citra kota kelabu tepat di bawahnya.
Dan ia ada di sana. Meringkuk di bawah pohon damar besar di pinggir jalan. Tak peduli kalau ujung jubahnya yang koyak sudah terendam di genangan berbau lumpur dan sayur basi. Tak peduli kalau tetesan hujan dari sela-sela dedaunan tanpa ampun merajam kepalanya. Ia hanya meringkuk, memeluk erat sesuatu di dalam jubahnya bagai ibu melindungi anaknya.
Aku harus melindunginya, ulangnya dalam hati. Aku harus mengembalikannya pada pemiliknya.
“Jadi itu benar? Yang keempat akan datang?”
“Yang keempat sudah datang. Hanya saja, ia masih belum terbangun. Belenggunya terlalu kuat, tampaknya.”
Ia membanting tubuhnya ke kursi empuk di belakangnya. Ketenangan langsung membanjiri tubuhnya, memerangi kegalauan dalam hatinya. Ia benar-benar bersyukur telah menuruti konsultannya: piramida memang bagus untuk meditasi. Reflek, tangannya menarik lepas kacamata hitam yang sedari tadi menutupi wajahnya.
“Odin, dilarang menunjukkan siapa dirimu di dalam Valhalla. Kamu sendiri tahu itu, kan?” wanita di depan mejanya berbicara tajam.
Odin menatap muka wanita itu, yang juga ditutupi kacamata hitam. Ia tersenyum. “Hanya ada kamu di ruangan ini, Freya.”
Freya menatap sosok dewasa namun letih di hadapannya lekat-lekat. “Mengenai yang keempat, apa yang harus kita lakukan?”
“Aku tidak tahu,” Odin berharap suaranya terdengar tegar, “tapi kita harus berusaha untuk tetap hidup.”
Freya mengangguk. “Oh, iya. Satu lagi. Kami telah berhasil menemukan apa yang kamu inginkan.”
“Buku itu?” tanya Odin memastikan.
“Ya,” jawab Freya. “Tim riset dan inteligensi Trias berhasil menemukan suatu sinyal energi yang mungkin saja berasal dari buku itu.”
Gurat kelelahan langsung menghilang dari muka Odin. “Di mana?”
“Soal itu, maafkan kami. Kami tak bisa melacak di mana persisnya buku itu berada. Yang kami tahu, buku itu berada di ‘dunia-yang-satu-lagi’, mungkin malah dekat dengan rumahmu.”
Odin mengangguk takzim. “Kerja kalian bagus. Paling tidak, kita sekarang tahu kalau buku itu ada.” Ia menarik napas. “Tolong kalian cari lokasi buku itu. Kita butuh semua hal yang akan kita butuhkan kalau kita akan berperang dengan ‘mereka’.”