Thursday, July 24, 2008

Putih

Mau bertanya...

Apakah putih itu sebuah warna?
Ataukah tak berwarna?
Atau malah paduan semua warna yang ada?

Kalau begitu...

Apakah putih adalah perlambang kesucian?
Atau malah melambangkan kekotoran?

Jadi...

Apakah putih memang se-"putih" namanya?
atau malah lebih "hitam" dari hitam?

Wednesday, July 23, 2008

Eksotis

Eksotis.

Kalau mendengar kata itu, apa sih yang terlintas di pikiran? Pantai berpasir putih yang dikelilingi nyiur melambai seiring debur ombak? Gadis-gadis berkulit coklat mengilap berbikini cerah? Sebuah pemandangan—atau karya seni—yang meninggalkan jejak tertentu di hati? Hmm... mungkin ya mungkin tidak. Yang jelas, pengertian eksotis sendiri adalah aneh atau asing.

Dalam posting ini, saya ingin mengetengahkan pengertian eksotis menurut ilmu biologi, tepatnya ekologi: suatu spesies yang bukan merupakan spesies asli di wilayah tempatnya tinggal. Spesies eksotik biasanya berasal dari wilayah lain dan terbawa mungkin oleh alam atau (seringkali) manusia. Kalau manusia-lah dalangnya, bisa jadi proses pemindahan wilayah hidup itu dilakukan secara sengaja (karena buahnya mahal dijual atau sebab lainnya) atau tidak sengaja (benihnya tersangkut di baju atau hewannya menyusup masuk kapal).

Sayang sekali, eksotis dalam pengertian biologi tak seindah paragraf kedua postingan ini. Spesies eksotik seringkali dituduh sebagai penyebab rusaknya ekosistem dan punahnya spesies asli wilayah itu. Bahkan, introduksi spesies eksotik seringkali dihindari.

Hal yang masuk akal, sebenarnya. Setiap wilayah memiliki ekosistemnya sendiri-
sendiri. Itu artinya, setiap hewan memiliki mangsa dan pemangsanya sendiri. Selama rantai itu tetap berlangsung, kesetimbangan akan tetap terjaga, dan tak akan ada spesies yang terancam punah.

Masalahnya, setiap kali suatu spesies masuk ke wilayah yang bukan wilayah aslinya, dia akan berhadapan dengan kondisi yang baru sama sekali. Ia akan berusaha masuk rantai makanan yang tadinya tidak mengikutsertakan dia di dalamnya. Lebih parah lagi apabila spesies itu adalah spesies yang mampu berkembang biak secara cepat namun tak memiliki pemangsa yang mampu mengontrol ukuran populasinya. Hasilnya adalah ledakan jumlah spesies eksotik tersebut dan penurunan jumlah asli spesies asli, baik karena dimangsa atau kalah bersaing.

Ada satu kasus menarik yang saya lihat di acara dokumenter. Ada suatu pulau di utara Eropa yang terkenal akan keragaman burungnya. Di sana, banyak sekali jenis burung namun tak ada organisme yang memakan mereka. Walaupun begitu, jumlah mereka tetap seimbang; mereka meregulasi ukuran populasi mereka sendiri. Namun, beberapa tahun berselang, hutan di pulau itu mendadak sunyi senyap; tak ada lagi kicauan burung. Ada apa gerangan?

Ternyata, tersangka utama menghilangnya jumlah burung di pulau itu adalah ular pohon. Mereka menyusup masuk dari tali-temali kapal yang mendarat di pantai pulau itu. Menemukan pulau penuh dengan burung, dan burung-burung itu sama sekali tak takut ular (karena mereka belum pernah melihat ular), adalah keberuntungan tak terduga bagi sang ular. Ukuran populasi mereka di sana pun meledak dahsyat: dari hanya seekor ular betina yang hamil menjadi puluhan ribu ekor hanya dalam beberapa tahun.

Atau, kalau ingin melihat contoh kasus yang nyata, silakan berkunjung ke Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango. Di sana, akan tampak pemandangan “penjajahan” tanaman passiflora terhadap pohon-pohon di hutan. Tanaman itu adalah tanaman asli amerika tropis yang tumbuh pesat di Indonesia. Begitu pesatnya sampai-sampai mereka menutupi tumbuhan inangnya sehingga pohon-pohon itu tak mendapat sinar mentari dan akhirnya mati (passiflora tumbuh merambat, lebih kurang seperti sirih). Begitu pesatnya sehingga pihak taman nasional membolehkan masyarakat mengambili tanaman itu dari lingkungan hutan (entah untuk apa. Buhanya, mungkin?).

Begitu berbahayanya spesies eksotik, mereka bisa “mengubah” kehidupan spesies asli menjadi terdesak dan bahkan punah.

Kalau begitu, bukankah manusia juga merupakan spesies eksotik? Manusia datang ke Bumi (entah dari mana) dan mengubah lebih dari setengah (atau mungkin bahkan tiga perempat) wajah Bumi. Manusia membawa kepunahan bagi beberapa spesies kehidupan dan membuat lainnya sekarat. Sungguh spesies eksotik yang berbahaya.

Menyitir ucapan Drosselmeyer di Princess Tutu: “It is dangerous not to know your place.”

Moral of the story: berhati-hatilah ketika mengunjungi negeri asing. Sebisa mungkin jangan membawa spesies eksotik dari dan ke mana pun. Oh, ya, bagi siapa saja yang berniat memelihara piranha, jagalah agar tidak terlepas di sungai manapun di Indonesia. Riset membuktikan kalau kondisi perairan darat Indonesia sangat kondusif bagi pertumbuhan piranha. Tentu saja kita tak ingin memasukkan musuh dalam selimut, bukan? (Isu ini sudah lama sekali digaungkan, pasti sebagian besar orang sudah mengetahuinya.)

Cheers!

Friday, July 18, 2008

Liburanku yang campur aduk...

Salam,

Hahaha... sudah lama nggak posting blog. Sekalinya posting, isinya nggak penting.

Anyway, ternyata komen paling banyak ada pada posting "Curhat Penyakit"-ku ya... Hahaha, ternyata... Untung saja aku pakai bahasa kiasan di sana. Kalau nggak--dan penyakitku ketahuan--bisa dirajam aku sama dunia :P

Ga ding. Nggak seheboh itu juga sebenarnya. Lagian tugas novelis itu bikin orang penasaran sekaligus mendramatisir suasana kan? Hehehe, berhasil nggak aku?

Jadi, ceritanya, libur dua bulan itu nggak selama kedengarannya. Dua bulan itu pendek banget, apalagi kalau dilalui tanpa planning yang jelas. Buktinya dari sekian banyak rencana yang udah kususun rapi bahkan sejak minggu UAS, beberapa harus di-out gara-gara nggak ada space waktu.

Misalnya saja belajar mobil. Sebelum ini kan pake mobil Ayah. Tahunya pas sebelum liburan mobil itu nabrak (bukan aku yang nabrakin!). Depannya penyok parah sampai harus ke bengkel. Walaupun emang beruntung karena nabrak tembok dan bukannya orang, tetep aja akhirnya aku nggak bisa belajar nyetir. Dan ketika si mobil kelar diperbaiki, ortu sibuk ngurus pendaftaran kedua adikku yang mau masuk SMA dan SMP. Yap, seperti bisa diduga, mobil pun dipegang penuh oleh sang Ayah yang gagah berani dan aku pun tak mengalami kemajuan dalam hal setir-menyetir.

Kedua, belajar gitar. Asalnya semangat coz inget ada gitar tua di gudang. Bodo amat dicoret-coret orang kandang, yang penting masih bunyi. Tapi... harapan tinggal harapan. Pas ditanya ke ortu, mereka bilang tuh gitar tahu udah di mana (kayaknya diambil orang kandang, deh (hus, jangan suudzan ah)). Maksa nyari di gudang saung pun tetap saja nggak ketemu. Malah sempat bertarung hidup dan mati dengan gerombolan semut hitam. Hii...

Hehe... itu mah akunya aja yang males ya? Nggak tahu deh...

Tapi untungnya aku bisa melakukan apa yang sudah kupersiapkan sejak empat tahun yang lalu: SPMB! Walaupun namanya berubah jadi SNMPTN (dan jadi susah ngejanya), teknisnya toh sama aja. Sumpah, perjuangan pisan untuk mendapatkan formulirnya; aku musti ngantri di Mandiri Siliwangi, terus rela nangkring di Mandiri Cihampelas sampai jam dua lebih, habis itu langsung ngacir ke Aula Unpad buat nukerin resi sama formulir. Wuih, pas dapet tuh form, lega banget deh rasanya!

Pasti pada penasaran, ngapain aku ikut SNMPTN segala? Kan aku udah keterima di ITB, yang namanya udah tenar ke lingkup Internasional, dengan IP lumayan pula? YAh, jawabannya simpel sebenarnya: aku nggak mau menyerah sebelum berusaha. Selama tiga tahun di SMA, aku sudah dipersiapkan untuk ikut SNMPTN; guru-guru SMA-ku menyiratkan begitu soalnya. Aku ikut remedial itu, bayar les itu, dipaksa beli diktat matematika dan fisika gara-gara nilai rata-rata melulu. Dan, setelah semua itu tiba-tiba saja aku nggak harus ikut SNMPTN? Emang sih harusnya lega tapi kok kayaknya nggak rela ya?

Hahaha, aneh ya?

Hal lain yang terjadi adalah aku ikut casting! Yups, audisi Ketika Cinta Bertasbih yang santer itu. Awalnya gara-gara si Ayah yang dorong-dorong aku supaya ikut. Yasud, aku beli bukunya supaya tahu seperti apa tokohnya. Menurutku, bukunya kalah bagus ketimbang Ayat-Ayat Cinta; ceritanya kepanjangan, kebanyakan tokoh, dan muter-muter. Tapi... kok... mendadak ingin ikut yah? Sampai-sampai bela-belain ke studio foto buat foto studio (hehehe). Tapi apa boleh dikata, gagal jua. Ternyata bernama-belakang sama dengan aktris serbabisa nggak serta merta bikin aku jadi aktor juga ya? Hehehe... Tapi tetep fun! Apalagi karena aku ketemu teman-teman baru di sana.

Terus, yang menarik lainnya adalah aku ke pantai! Bukan Bali atau Pangandaran sih, yang deket aja: Pelabuhan Ratu dan Ujung Genteng. Ke Pelabuhan Ratu tuh mendadak banget. Tiba-tiba si ayah ngajakin, dan kita pun berangkat naik mobil Kijang pengap tapi lovable itu. Sampai di sana, aku padok kamera HP si adik (2 MP dan jauh lebih bagus dari HP-ku) untuk candid tiap orang dan narsis-narsisan. Asalnya mau nginep di sana (aku rela ditinggal sendiri padahal toh bisa pulang naik bis), tapi ayah dan mama nggak tega. Jadi... pulanglah aku hari itu juga, berbekal kepiting pertama (or kumang) yang diambilin Tisa (dan besoknya mati) dan sekantung pasir hitam etnah buat apa dan akhirnya disapuin dari lantai mobil :P

Yang ke Ujung Genteng lebih gila lagi: tiga hari dua malam! Mana pantainya menggugah naluri biologi-ku pula. Bayangin, pantai berkarang yang penuh makhluk nggak jelas! Ada bulu babi, ikan, dan makhluk-makhluk lainnya yang kayaknya nggak akan ketemu kalau nggak ke situ. Ada lintah laut, cacing panjang, kepiting (hiii). Yodi (adikku yang cowok dan jago menangkap ular) langsung beli serokan dan menangkapi ikan-ikan yang terperangkap di kolam air pasang. Dia dapat banyak ikan: belut laut segede telunjuk, ikan buntal yang menggembung pas ditangkap, ikan scorpio yang cantik tapi beracun (dan siripnya itu utuh lho!), udang karang tanpa capit (ini mah bukan ikan, ya?), bahkan gurita mungil yang warnanya ganti-ganti. Spesial buat gurita, dia harus rela pergi ke pantai malam-malam hanya ditemani lampu blitz HP-ku (dan bikin aku, Ayah, dan Mama deg-degan di cottage).

Karang di Ujung Genteng. Indah kan? Airnya jernih pula...

(Almost) sunset di Ujung Genteng

Hari kedua di sana, aku belajar rule of thumb kalau pergi ke pantai berkarang: flip-flop is a must! Aku memang bawa sendal dari rumah, tapi Tisa (adikku yang bungsu dan perempuan sendiri) meminjamnya tanpa permisi. Aku terpaksa pake sendal Yodi untuk menyusul Tisa di bibir pantai. Saat di sana, Yodi mau pakai sendalnya lagi karena dia lagi-lagi menginjak bulu babi (salah sendiri nggak pakai sendal). Sebagai kakak yang baik, aku memberi sendalku pada Yodi.

Masalahnya, pantai itu makin dekat ke pantai makin banyak bulu babi-nya. Dan mereka cukup cerdas untuk ukuran invertebrata: mereka diam di balik batu karang dan di sela-sela rumput laut. Tersembunyi cukup rapi seandainya nggak diperhatikan. Dan aku harus melalui itu semua tanpa sendal dan tongkat kayu untuk meminggirkan bulu babi. Jadi aku harus jalan super hati-hati. Aku selalu memilih jalan yang tak tergenang air; sekalipun harus, aku memilih jalan yang paling jelas dan bahkan memelototi jalan itu untuk memastikan (dan tetap saja melihat benda kecil berduri di sela-sela karang, hiii...).

Bayangkan berjalan tanpa sandal di tengah makhluk-makhluk itu. Hiii...

Sampai di pantai (yang adalah karang yang tergerus hingga kecil sehingga sakit kalau kena kaki), aku digonggongin anjing. Aku ambil saja karang besar, dan aku lempar-tangkap. Untung saja dia takut.

Aftermath? Jangan tanya. Kaki gua sakiiiit!!!! Walaupun untungnya aku nggak nginjek bulu babi. Yay!

Hari ketiga? Nggak ngapa-ngapain. Cuma packing, check out, membungkusi ikan yang ditangkap Yodi (karena dia nggak rela melepaskan hasil tangkapannya. Terpaksa di rumah harus ada akuarium air asin), dan perjalanan pulang selama lima jam karena harus detour ke Pelabuhan Ratu dulu (sebenarnya ada jalan yang bisa 3 jam sampai, tapi jalannya rusak jadi harus pelan-pelan—dan ujung-ujungnya tetap lima jam sampai Sukabumi). Sepanjang jalan, scene-nya ganti-ganti: kebun kelapa, sawah pinggir pantai, kebun teh, gunung batu yang tandus (yang ditumbuhi bambu kering kerontang), hutan pinus (aneh ya? Hutan pinus pinggir pantai...), kebun coklat, perkotaan. Aku malah sempat lihat jembatan gantung raksasa warna kuning yang (konon katanya) insinyurnya langsung bunuh diri setelah jembatannya jadi (Hiii). Sayang nggak sempat difoto, coz harus sampai ke Sukabumi sore itu juga.


Mau tahu kenapa? Karena Yodi harus masuk boarding school hari itu juga. Dan, percaya tak percaya, semua barangnya belum ada yang siap! Ya baju, ya kemeja, ya sprei, ya tetek bengek lainnya. Dokumen-dokumen macam ijasah dan lainnya malah belum masuk pihak sekolah (karena si Ayah keukeuh persyaratannya harus lengkap dulu baru diserahkan. Padahal, apa sih ruginya nyicil dulu?). Terpaksa si Yodi masuk dengan perlengkapan seadanya (sprei dan bed-cover beda motif, sepatu olahraga butut bekas tanah, dan lainnya) dan ditengok tiga hari kemudian sampai barang-barangnya lengkap. Mudah-mudahan saja dia betah di situ. Berjuang yah, Yod!


Hari-hari berikutnya tak ada yang bisa diceritakan. Just plain, ordinary days. Cuci piring, jemur baju, antar Tisa beli seragam, mengusir kucing tisa dari meja makan (kucingnya lucu lho, heterochromatic: matanya satu kuning satu biru), cari cara supaya si gurita mau makan, menangkap belalang buat kadal si Yodi, menyapu rumah, dan... pulang ke Bandung!


Begitulah. Rasanya liburan kali ini lebih melelahkan. Ya iya lah, kan liburan sebelumnya cuma mondok depan PS2. Tapi liburan yang sekarang lebih menyenangkan! Banyak hal baru yang dilihat dan dirasakan. Mudah-mudahan liburan antar-semester 3&4 bisa meneruskan menyetir, dan liburan kenaikan tingkat bisa dipakai ke Bali (lagipula peliharan Yodi toh sudah entah di mana sekarang :P)...


Cheers!

Tuesday, July 1, 2008

"Nggak. Nggak. Nggak. Ngapain?"

Kalau teman-teman memiliki suatu penyakit yang divonis tak bisa disembuhkan, apa yang akan teman-teman lakukan? Mendadak tuli dengan ucapan sang dokter dan melakukan segala macam upaya untuk menyembuhkannya? Atau menerima dengan pasrah lalu mulai menghitung hari?

Aku ingin tahu. Karena aku baru saja mengalaminya. Dan aku bingung gimana nyikapinnya.

Jadi, ceritanya, kemarin aku mengantar teman ke dokter. Tak perlu kuceritakanlah detilnya gimana, aku nggak mau tragedi postingan “Cinta Laurah” terulang kembali. Ada sih detilnya, tapi kutulis di jurnal yang nggak akan ku-publish. Penasaran? Feel free to ask, since I wont hand it over anyway (teasing tone) :P

Yang jelas, setelah temanku selesai konsultasi, aku iseng-iseng nanya apakah penyakitku bisa disembuhkan. Dan dokter itu bilang nggak bisa. Temanku mengulangnya sampai tiga kali. Dan si dokter keukeuh bilang nggak. Lebih parah lagi, dia bilang, untuk apa disembuhkan? Toh itu bukan penyakit.

Si dokter pun nyerocos, tentang stadium-stadium penyakit yang kuderita. Tentang penyakitku yang treatable tapi sama sekali tak ada kemungkinan sembuh (karena bagi dia penyakitku bukanlah penyakit), itu pun kalau masih stadium awal. Tentang aku yang akan menjalani hidup normal sampai penyakitku mengambil alih diriku di umur 40-50 tahun.

Aku bingung sekarang. Haruskah aku menerima penyakit itu sebagai bagian dari hidupku? Karena, kalau aku berbuat begitu, aku telah menjebloskan diri ke jurang gelap tanpa dasar. Tapi, mendengar tenaga ahli seperti dokter mengatakan kalau aku tak bisa (tak perlu, malah) disembuhkan, aku jadi bertanya-tanya, untuk apa aku menyia-nyiakan uang, waktu dan tenaga untuk sesuatu yang tak mungkin? Treatment itu pastilah mahal, dan aku masih butuh biaya untuk kuliahku dan lain-lainnya. Dan lagi, aku tidak mau memberitahu orang tuaku mengenai penyakitku ini. Biarlah aku sendiri yang tahu, karena aku tak mau membuat beban pikiran mereka tambah berat.

Hmm... pusing ya? Tau ah. Lillahi taala aja kayaknya. Tapi, bagi yang berniat komentar, silakan. Aku benar-benar butuh masukan, soalnya.

Cheers!

PS. :Buat orang kepercayaanku yang satu itu, makasih banyak udah meneriaki aku malam itu. Nanjleb sih, tapi aku tahu kamu peduli dan khawatir padaku. Terima kasih, ya!