Tuesday, July 1, 2008

"Nggak. Nggak. Nggak. Ngapain?"

Kalau teman-teman memiliki suatu penyakit yang divonis tak bisa disembuhkan, apa yang akan teman-teman lakukan? Mendadak tuli dengan ucapan sang dokter dan melakukan segala macam upaya untuk menyembuhkannya? Atau menerima dengan pasrah lalu mulai menghitung hari?

Aku ingin tahu. Karena aku baru saja mengalaminya. Dan aku bingung gimana nyikapinnya.

Jadi, ceritanya, kemarin aku mengantar teman ke dokter. Tak perlu kuceritakanlah detilnya gimana, aku nggak mau tragedi postingan “Cinta Laurah” terulang kembali. Ada sih detilnya, tapi kutulis di jurnal yang nggak akan ku-publish. Penasaran? Feel free to ask, since I wont hand it over anyway (teasing tone) :P

Yang jelas, setelah temanku selesai konsultasi, aku iseng-iseng nanya apakah penyakitku bisa disembuhkan. Dan dokter itu bilang nggak bisa. Temanku mengulangnya sampai tiga kali. Dan si dokter keukeuh bilang nggak. Lebih parah lagi, dia bilang, untuk apa disembuhkan? Toh itu bukan penyakit.

Si dokter pun nyerocos, tentang stadium-stadium penyakit yang kuderita. Tentang penyakitku yang treatable tapi sama sekali tak ada kemungkinan sembuh (karena bagi dia penyakitku bukanlah penyakit), itu pun kalau masih stadium awal. Tentang aku yang akan menjalani hidup normal sampai penyakitku mengambil alih diriku di umur 40-50 tahun.

Aku bingung sekarang. Haruskah aku menerima penyakit itu sebagai bagian dari hidupku? Karena, kalau aku berbuat begitu, aku telah menjebloskan diri ke jurang gelap tanpa dasar. Tapi, mendengar tenaga ahli seperti dokter mengatakan kalau aku tak bisa (tak perlu, malah) disembuhkan, aku jadi bertanya-tanya, untuk apa aku menyia-nyiakan uang, waktu dan tenaga untuk sesuatu yang tak mungkin? Treatment itu pastilah mahal, dan aku masih butuh biaya untuk kuliahku dan lain-lainnya. Dan lagi, aku tidak mau memberitahu orang tuaku mengenai penyakitku ini. Biarlah aku sendiri yang tahu, karena aku tak mau membuat beban pikiran mereka tambah berat.

Hmm... pusing ya? Tau ah. Lillahi taala aja kayaknya. Tapi, bagi yang berniat komentar, silakan. Aku benar-benar butuh masukan, soalnya.

Cheers!

PS. :Buat orang kepercayaanku yang satu itu, makasih banyak udah meneriaki aku malam itu. Nanjleb sih, tapi aku tahu kamu peduli dan khawatir padaku. Terima kasih, ya!

4 comments:

Rikianarsyi said...

jadi intinya kamu mau pasrah? mau meng-tuhan-kan omongan si 'dokter' itu? terserah, sih. Tapi pz cukup tau kalo kamu ternyata gampang nyerah, kamu nganggep berat suatu hal yang butuh sugesti positif kamu, dan kamu nggak percaya sama diri kamu.

Ferdy Sechan said...

Hmm...
What do we have here? Psikologi kebalikan, eh? Maaf, aku nggak mempan dibegitukan...
Kalau pun ternyata yang tersirat adalah yang tersurat, berarti kamu harus baca lagi postingku itu.
That's all I have to say. Thanks for commenting, anyway.

A-We said...

Fer, somehow gw ga ngerti pemikiran lo deh. Tapi kalo emang itu penyakit lo ga mau heboh2kan, mending lo lupain kt si dokter aja. Lagian lo sendiri yg bilang kan? Semuanya itu Lillahi ta'ala..

Ficky said...

hahaha...Ferdy...Ferdy...akhirnya mengungkap juga! Yah...beginilah nasib jadi alien di tengah hegemoni manusia!Bagun saja dari tidur! Apa susah? Atau mau terus bermimpi?