Wednesday, July 23, 2008

Eksotis

Eksotis.

Kalau mendengar kata itu, apa sih yang terlintas di pikiran? Pantai berpasir putih yang dikelilingi nyiur melambai seiring debur ombak? Gadis-gadis berkulit coklat mengilap berbikini cerah? Sebuah pemandangan—atau karya seni—yang meninggalkan jejak tertentu di hati? Hmm... mungkin ya mungkin tidak. Yang jelas, pengertian eksotis sendiri adalah aneh atau asing.

Dalam posting ini, saya ingin mengetengahkan pengertian eksotis menurut ilmu biologi, tepatnya ekologi: suatu spesies yang bukan merupakan spesies asli di wilayah tempatnya tinggal. Spesies eksotik biasanya berasal dari wilayah lain dan terbawa mungkin oleh alam atau (seringkali) manusia. Kalau manusia-lah dalangnya, bisa jadi proses pemindahan wilayah hidup itu dilakukan secara sengaja (karena buahnya mahal dijual atau sebab lainnya) atau tidak sengaja (benihnya tersangkut di baju atau hewannya menyusup masuk kapal).

Sayang sekali, eksotis dalam pengertian biologi tak seindah paragraf kedua postingan ini. Spesies eksotik seringkali dituduh sebagai penyebab rusaknya ekosistem dan punahnya spesies asli wilayah itu. Bahkan, introduksi spesies eksotik seringkali dihindari.

Hal yang masuk akal, sebenarnya. Setiap wilayah memiliki ekosistemnya sendiri-
sendiri. Itu artinya, setiap hewan memiliki mangsa dan pemangsanya sendiri. Selama rantai itu tetap berlangsung, kesetimbangan akan tetap terjaga, dan tak akan ada spesies yang terancam punah.

Masalahnya, setiap kali suatu spesies masuk ke wilayah yang bukan wilayah aslinya, dia akan berhadapan dengan kondisi yang baru sama sekali. Ia akan berusaha masuk rantai makanan yang tadinya tidak mengikutsertakan dia di dalamnya. Lebih parah lagi apabila spesies itu adalah spesies yang mampu berkembang biak secara cepat namun tak memiliki pemangsa yang mampu mengontrol ukuran populasinya. Hasilnya adalah ledakan jumlah spesies eksotik tersebut dan penurunan jumlah asli spesies asli, baik karena dimangsa atau kalah bersaing.

Ada satu kasus menarik yang saya lihat di acara dokumenter. Ada suatu pulau di utara Eropa yang terkenal akan keragaman burungnya. Di sana, banyak sekali jenis burung namun tak ada organisme yang memakan mereka. Walaupun begitu, jumlah mereka tetap seimbang; mereka meregulasi ukuran populasi mereka sendiri. Namun, beberapa tahun berselang, hutan di pulau itu mendadak sunyi senyap; tak ada lagi kicauan burung. Ada apa gerangan?

Ternyata, tersangka utama menghilangnya jumlah burung di pulau itu adalah ular pohon. Mereka menyusup masuk dari tali-temali kapal yang mendarat di pantai pulau itu. Menemukan pulau penuh dengan burung, dan burung-burung itu sama sekali tak takut ular (karena mereka belum pernah melihat ular), adalah keberuntungan tak terduga bagi sang ular. Ukuran populasi mereka di sana pun meledak dahsyat: dari hanya seekor ular betina yang hamil menjadi puluhan ribu ekor hanya dalam beberapa tahun.

Atau, kalau ingin melihat contoh kasus yang nyata, silakan berkunjung ke Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango. Di sana, akan tampak pemandangan “penjajahan” tanaman passiflora terhadap pohon-pohon di hutan. Tanaman itu adalah tanaman asli amerika tropis yang tumbuh pesat di Indonesia. Begitu pesatnya sampai-sampai mereka menutupi tumbuhan inangnya sehingga pohon-pohon itu tak mendapat sinar mentari dan akhirnya mati (passiflora tumbuh merambat, lebih kurang seperti sirih). Begitu pesatnya sehingga pihak taman nasional membolehkan masyarakat mengambili tanaman itu dari lingkungan hutan (entah untuk apa. Buhanya, mungkin?).

Begitu berbahayanya spesies eksotik, mereka bisa “mengubah” kehidupan spesies asli menjadi terdesak dan bahkan punah.

Kalau begitu, bukankah manusia juga merupakan spesies eksotik? Manusia datang ke Bumi (entah dari mana) dan mengubah lebih dari setengah (atau mungkin bahkan tiga perempat) wajah Bumi. Manusia membawa kepunahan bagi beberapa spesies kehidupan dan membuat lainnya sekarat. Sungguh spesies eksotik yang berbahaya.

Menyitir ucapan Drosselmeyer di Princess Tutu: “It is dangerous not to know your place.”

Moral of the story: berhati-hatilah ketika mengunjungi negeri asing. Sebisa mungkin jangan membawa spesies eksotik dari dan ke mana pun. Oh, ya, bagi siapa saja yang berniat memelihara piranha, jagalah agar tidak terlepas di sungai manapun di Indonesia. Riset membuktikan kalau kondisi perairan darat Indonesia sangat kondusif bagi pertumbuhan piranha. Tentu saja kita tak ingin memasukkan musuh dalam selimut, bukan? (Isu ini sudah lama sekali digaungkan, pasti sebagian besar orang sudah mengetahuinya.)

Cheers!

No comments: