“Ular melingkar-lingkar di pagar”
Kalimat itu (which is the title of this posting) sangat tongue-twisting. Nggak percaya? Coba sebutin dua puluh kaliiii aja. Kalau nggak keserimpet, cobain seratus kali. Pokoknya cobain sampai lidah berasa terlilit (ceritanya mau keukeuh sumeukeuh :P). Atau mau versi Bahasa Sundanya yang lebih tongue-twisting? Here it is: “oray mapay areuy”. Tah, mangga dicobian. Pasti yang bukan orang sunda bakal lebih kebelibet, karena ada vokal “eu” yang dibacanya khas sunda pisan :P
Yah, niat awalnya bukan bikin posting yang tongue-twisting kok. Tenang aja. Yang mau kubahas di posting ini adalah binatang yang namanya muncul di dua kalimat itu. Pada tahu, kan?
Yup, ular. Atau oray. Atau snake. Atau binatang itu disebut dalam entah bahasa apa.
Jujur, aku suka banget ular. Ada yang pernah menonton topeng monyet? Nah, believe it or not, yang kutunggu dari sebuah pertunjukan topeng monyet bukan monyetnya, melainkan ular yang pasti muncul sebagai penutup show. Malah, di suatu kasus, aku pernah nangis-nangis karena mau ular punya si pawang monyet (bayangkan, padahal aku masih TK kecil waktu itu!). Mungkin itu bisa menerangkan betapa aku suka ular.
Sepanjang aku tumbuh dewasa, beberapa kali aku dibelikan ular oleh ayah (yang kayaknya suka juga memelihara binatang yang tak dipelihara orang banyak). Ada dua ekor ular piton sepanjang tiga meter. Baik sih, jinak (atau itu karena mulutnya dilakban, yah? Kasian kau, ular). Tapi, baunya itu, nggak nahan. Mungkin karena makanannya daging kali ya? Terus ada ular sanca batik sepanjang lenganku, diurus adikku yang entah kenapa jago banget nangkapin ular. Ada yang takut ular? Jangan main ke kamarnya, karena di situ berjejer toples berisi hasil tangkapannya, ular-ular berwarna kelabu atau bercorak loreng yang tak jelas berbisa atau tidak.
Dan, dari situlah, ide untuk bikin posting ini bermula.
Beberapa hari lalu, saat aku masih di Sukabumi, adikku menangkap seekor ular. Dan, ular itu disimpan begitu saja di aquarium di kamarnya, tanpa tutup. Aku, yang ngeri melihat binatang itu menjulur keluar dari aquarium, langsung memanggil ayah. Timbullah kericuhan malam itu (dan malam itu lagi mati lampu!) yang intinya perjuangan adikku memasukkan ular itu ke toples, hanya diterangi lilin!
Ular, seperti juga kupu-kupu, gajah, merak, rusa, dan kita, adalah binatang. Makhluk hidup. Ciptaan Tuhan. Mereka makan, hidup, bernapas, berkembang biak. Semua ciri-ciri makhluk hidup melekat dalam diri seekor ular.
Lalu, mengapa orang-orang takut pada mereka? Mengapa beberapa orang bahkan tak sanggup melihat gambarnya, atau malah melihat karikaturnya pun menjerit?
Banyak jawaban akan terbit dari pertanyaanku itu. Aku tahu. Tapi, aku akan ambil satu jawaban yang paling umum sekaligus logis: karena ular berbisa, dan bisanya mematikan.
Kalau begitu, pertanyaannya kuganti: mengapa ular berbisa?
Kalau menurutku, jawabannya adalah karena hanya itulah caranya melindungi diri.
Coba ditelaah lagi. Ular tidak punya tangan atau kaki, sehingga tidak mampu mencakar atau menendang. Tubuhnya hanya berupa selang pendek, beberapa begitu tipis sehingga diinjak saja hancur. Dengan tubuh seperti itu, bagaimana bisa dia mempertahankan diri seandainya ia tak punya bisa? Kalau ular-ular tidak beracun, aku yakin tidak akan ada binatang bernama ular di dunia ini saat ini; mereka punah pastinya.
Oke, aku tahu ada ular-ular yang tidak berbisa. Tapi, ular-ular itu punya senjata lain di tubuhnya: badannya yang besar dan berat. Ular sanca, atau piton, bisa tumbuh sampai bermeter-meter, kan? Karena itulah mereka tak berbisa (dan karena itulah ayah berani membelikannya untukku dan adikku).
Sebenarnya, ular itu binatang paling malang sedunia. Seperti yang kukatakan tadi, mereka hampir tak bisa melindungi diri. Satu-satunya senjata mereka adalah taring, itu pun tersembunyi di dalam mulut mereka. Ular juga binatang yang paling realistis, kalau tak mau dibilang pengecut. Mereka akan melarikan diri ketika melihat makhluk asing, dan hanya menyerang jika terpaksa. Beberapa ular malah mati setelah meracuni binatang lain dengan bisanya, membuat mereka lebih memilih kabur ketimbang berperang.
Dalam beberapa hal, sikap itu pengecut. Dalam kasus lainnya, sikap itu patut ditiru.
Karena itulah, melalui postingan ini, aku ingin mengajak pembaca blog ini untuk tidak membunuh setiap ular yang kebetulan lewat di depan kita. Percaya deh, mereka lebih takut pada kita ketimbang kita takut pada mereka. Dan, asalkan diberi kesempatan, mereka akan menjauh dari kita sejauh mungkin. Kalau diserang, mereka mungkin akan menyerang balik, dan seseorang mungkin akan teracuni. Benar, kan?
Cheers!