Thursday, December 18, 2008
Jatinenjer?
Yup, bener. Itu adalah inggris-isasi dari "Jatinangor".
Hwehehehe, garing yak?
Sebenarnya sih agak nggak tertarik juga bahas ini. Tapi, setelah baca blog seseorang, jadi deh tertarik.
Begini ceritanya. Aku kuliah di kampus yang letaknya di utara Bandung, tepatnya di Dago. Kalau dibandingin sama kampus lain, kampusku ini lahannya memang sempit. Kerasa banget kok, soalnya aku selalu kesulitan nemuin ruangan buat kuliah tiap awal semester pasca-TPB (halah, sok tua, padahal baru setahun lepas TPB). Lagian, memang sih kerasanya kampusku memang sempit. Mungkin dari situ terbit wacana untuk melebarkan kampus.
Masalahnya, letak kampusku di tengah kota. Diapit pemukiman, pasar, dan kawasan wisata belanja Dago. Kalau diperlebar lahannya, agak susah cz pemukimannya permanen semua. Kalau harus beli lahan... kayaknya kampusku nggak punya dana buat itu. Cara termudah memang nyari lahan lagi (atau sukur-sukur kalau ada kampus tua yang sudah nggak kepakai) lalu bikin gedung kampus baru di situ.
Itulah yang (kayaknya) dilakuin kampusku. Dan lahan yang bersangkutan ada di Jatinangor. Tepatnya di Unwim (Universitas Winaya Mukti).
Awal wacana ini aku tahu dari petugas perpustakaan yang setiap minggu ke rumah buat ngedata bukunya paman. Waktu lagi makan siang, tiba-tiba aja dia nanya kalau "Benarkah fakultas bisnis kampusku bakal dipindah ke Unwim?" Yah, aku jawab aja nggak tahu, karena itu memang hal baru. Lalu, pas malamnya (atau beberapa hari setelahnya), aku konfirm ke si paman (yang kebetulan dekan fakultas itu). Dan beliau bilang, "Baru wacana, kok."
That's why, after that, I haven't give it much thought.
Lalu, tiba-tiba aja buletin kampus mengangkat isu heboh: beberapa fakultas direncanakan dipindah ke Unwim. Dan, selain fakultas pamanku, fakultasku juga dipindah ke situ. Katanya sih bakal digabung sama salah satu fakultas di sana (referensi: ayzholic).
Wow. Kampusku jadi jauh. Jauh dari rumah. Jauh dari gramedia. jauh dari mana-mana. Dan yang terpenting, nggak bisa nebeng si paman untuk ke kampus.
Hehehe...
Jujur, aku sih berharap kabar burung ini nggak bener. Biarlah fakultasku tetap di Dago dan ungsikan fakultas lain ke sana. Walaupun okelah, pemindahan kampus ke jatinangor membuatku lebih mudah mengeceng anak-anak Psikologi Unpad (keukeuh) dan memang anak-anak kampusku cenderung mengeceng cewek-cewek Unpad. Tapi... aku kayaknya nggak mau tinggal di Jatinangor. Jatinangor kan jauh, panas, terisolir pula. Nggak ada gramedia, nggak ada palasari, nggak ada togamas... (yeah, what a geek I am).
Intinya, aku berharap nggak pindah kampus. Beneran dah, Dago is the best! Walaupun suka macet pas malam minggu, angkotnya nge-charge gila-gilaan, dan banyak pengamen yang nanyi "Seribu ajah", aku cinta Dago!
Hehehe, cheers!
Monday, December 15, 2008
Indonesiasi Inggis?
Lalu, pas masuk halaman pertama FS, agak bingung juga karena semuanya jadi berbahasa Indonesia. Mungkin bagus tujuannya, supaya orang Indonesia lebih ngerasa "at home". Tapi tetep aja ngeganggu, terutama karena penerjemahan yang ngaco bin asal.
Dan yang paling ngganggu adalah ini:
Ada Komplikasi
[Tempat, kota]"
Lalu mulai bertanya, "Terjemahan aslinya apa, kalau gitu?"
Dan... bengong. Yap, terjemahan yang tepat apa ya? Nggak mungkin "Ada Komplikasi", soalnya artinya jadi jauh banget. "Membingungkan"? Kayaknya kurang tepat juga. "Sulit diungkapkan"? Ini yang paling tepat kalau dilihat dari ruh kata, namun beda jauh dengan kata aslinya dalam bahasa inggris.
Kalau begitu, jadi bertanya-tanya, apakah sekuat itu pengaruh bahasa inggris sebagai bahasa global di Indonesia, ya? Apakah aku mulai tertular virus "Cinta Laura"?
Cheers!
Friday, December 12, 2008
Relativitas dan Relativisme
Karena, menurutku, dunia ini tidak memiliki itu. Kalaupun ada, dunia ini terlalu banyak dipenuhi hal-hal yang relatif sehingga keberadaannya tersamarkan.
Untuk jadi bahan renungan saja, pada tahu semut, kan? Binatang yang terkenal dengan kerja keras, kegesitan, dan kerjasama. Tentu binatang itu patut ditiru, kan? Nah, suatu ketika, Ayah berkata, "Kita hidup jangan menjadi seperti semut."
Aneh bukan? Ya, aku heran. Begitu juga bibiku, yang sangat memahami Al-Qur'an dan langsung berkata, "Tapi semut itu binatang yang patut ditiru, lho! Mereka kan gigih, kuat, kerja sama pula. Bahkan satu surat dalam Al-Qur'an didedikasikan untuk mereka."
Ayahku mengangguk waktu itu. Lalu dia menambahkan, "Iya sih. Tapi semut itu menimbun makanan tanpa habis-habisnya. Hampir setiap saat dia menimbun kekayaan. Padahal belum tentu habis dimakannya. Jadi manusia pun jangan seperti itu, selalu menimbun harta dan mengejar dunia."
Aku mengangguk paham. Okelah, aku sudah belajar sedikit biologi untuk tahu bagaimana sistem hirarki dalam kerajaan semut. Tapi, dilihat dari segi itu, ucapan ayah ada benarnya. Semut terkenal menimbun makanannya. Beberapa semut menimbun daun untuk tempat tumbuh jamur makanan mereka, namun aku tak yakin semua semut melakukan hal itu.
See? Just a simple opinion changed one's point of view. Yang tadinya semut adalah binatang yang baik dan patut ditiru, berubah menjadi semut adalah binatang yang kikir serta bakhil dan tak patut ditiru.
Betapa cepatnya citra dan persepsi berubah. Semua serba relatif.
Yang paling terasa adalah ketika terjadi sebuah peristiwa. Apabila setiap orang yang terlibat--baik itu saksi, korban, maupun pelaku--diminta bercerita tentang peristiwa itu, penceritaan mereka pasti beda. Mungkin sama dari segi "apa-sih-yang-terjadi" namun berbeda dari segi "mengapa-hal-itu-terjadi". I know, coz I've been there. And it somewhat funny if I recalled how the four of us end up blaming others, making the story seems weirder and weirder till I call it quit.
Yah... what do you think? Is it useless to search for absolute truth in this world? What is absolute, anyway?
Somehow, aku jadi salut sama polisi, jaksa, hakim, dan orang-orang semacam mereka yang bertugas menegakkan keadilan. It must be tough for them...
Monday, December 8, 2008
Kursi Neraka
Kecuali mungkin kursi yang menjadi bintang utama postingan ini.
Semua orang di dunia ini--paling nggak di Indonesia--pasti pernah pergi ke Mall, kan? Tentu tahu kursi pijat otomatis yang suka ada di tiap mall. Yang pramuniaganya suka ngasih kesempatan undian, terus mendadak ujiannya "kena" dan kita boleh bawa barang yang kita "kena" itu dengan seabrek persyaratan yang intinya nyuruh kita beli di situ. Biasanya ayah suka memanfaatkan kesempatan "trial" itu untuk dipijat gratis. Dan gw... jujur aja... menatap iri. Kayaknya enak deh dipijat kaya gitu.
Dan tadi, gw akhirnya mendapat kesempatan untuk mencoba si kursi itu...!
Ceritanya begini. Hari ini Idul Adha (sekalian mau ngucapin Selamat Idul Adha buat yang merayakan, hehehe), dan biasanya perayaan Idul Adha di keluarga gw lebih singkat ketimbang Idul Fitri. Karena acara kelar jam 3, orang tua ngajak jalan. Ya sudah, berangkatlah kami ke BSM tercinta karena paling dekat sama rumah...
Nah, di BSM, ayah yang lagi sakit punggung langsung mencari kursi pijat dengan harapan dikasih kesempatan trial (walaupun pasti akhirnya nggak beli). Gw, yang menganggur, akhirnya bersandar di palang pembatas sambil membaca bukunya Benny and Mice yang Jakarta Atas Bawah (gw rekomen banget deh!). Salah satu pramuniaganya nyadar, dan manggil gw supaya duduk di dalam tokonya. Lalu, karena nggak ada kursi di situ, si mbak menor berambut bob (halah) itu berkata, "Ya udah, duduk di sini aja, Mas," sambil menunjuk si kursi pijat.
Gw menatap si Mbak. Serius nih?
Tatapan si Mbak seolah berkata, "Iya. Ayo cepet, udah nggak tahan nih..." (Emangnya apaan?)
Ya sudah. Jangan salahkan gw kalau akhirnya kenapa-napa. Gw pun akhirnya duduk di kursi pijat. Si mbak itu mulai menekan-nekan tombol di pegangan kursi.
Dan siksaan itu pun dimulai.
Feeling gw mulai nggak enak pas sandaran kursi itu mendadak merebah dan muncul benda-benda gaib seukuran bola pingpong yang muncul dan bergerak-gerak mistis. Si Mbaknya dengan enteng berkata, "Nyantai aja, Mas. Kan lagi dipijet. Ayo, sandaran ke kursinya."
Gw ketawa getir. Bola-bola sialan itu bikin gw susah nyandar. Dan, entah karena gw yang terlalu tinggi atau kursinya didesain untuk orang yang pendek, tuh bola-bola akhirnya menggesek-gesek tulang belikat gw, bikin gw nggak nyaman. Seakan nggak cukup, kaki gw dibelit sesuatu yang bergerak-gerak kayak ular. Betis gw dipencet sampai keras banget, bikin kram. Gw punya dugaan, tuh alat harusnya nangkring di belakang lutut, bukan di betis gw.
Mungkin menyadari penderitaan gw, mbak-mbak itu berkata, "Merem aja, Mas. Biar rileks."
Oke, gw mencoba merem. Cukup membantu sih. Tapi... cobaan berikutnya datang... dalam bentuk si Mbak itu! Dia ngajak ngobrol gw, nanya-nanya hal penting yang seharusnya dia nggak usah tahu. Berikut petikan wawancara yang gw anggap paling dodol.
Mbak Pramuniaga (PR): Mas dari mana?
Gw: Sukabumi, tapi sekarang di Bandung.
MP: Oooh... kuliah di mana?
Gw: ITB.
MP: D3 apa S1?
Gw: (menatap pramuniaga dengan heran) S1.
*Selama gw kuliah di ITB, belum pernah gw denger kampus gw buka D3. Dan gw yakin itu udah common knowledge.
MP: Masih lama dong... Beasiswa ya?
Gw: Nggak kok. SPMB
*Oke, gw bohong. Soalnya kalau gw bilang gw dari USM, makin mungkinlah kita diporotin sama tuh pedagang.
MP: Wah, keren ya! Saya dulu ikut SPMB nggak masuk-masuk lho...
GW: . . . (silence)
MP: Oh iya, mas kok tinggi sih? Gen, ya?
Gw: Mmm... iya sih... (nggak tahu harus gimana)
MP: Oooh... mungkin karena itu saya pendek ya? Tapi... nggak ah. Kakak saya tinggi-tinggi kok...
Gw: (masih speechless)
MP: Nggak enak lho, punya tubuh pendek. Kan susah tuh kalau mau ambil-ambil barang. Kira-kira kenapa tuh ya, Mas?
Gw: Yaa... mungkin karena gen juga kali. Yang turun gen pendeknya...
MP: (Ketawa garing)
Dan, akhirnya, dia nyentuh gw! Okelah, dia udah kelihatan SKSD banget sama gw, tapi kali ini agak... wow. Dia megang-megang tangan gw, lho! Sampai hampir ngeremes segala. Seakan itu belum cukup, dia mulai megangin paha gw. Untung saja, di saat itu, waktu pijat gw habis dan perhatian si Mbak beralih ke kontrol si kursi.
Seharusnya gw nggak bersyukur. Ternyata kursi neraka itu dinyalain lagi sama si Mbak-nya. Dan gw harus "menikmati" pijat neraka itu lagi selama 15 menit ke depan.
Akhirnya, gw tahu, ternyata semua itu adalah akal-akalan pramuniaga di sana untuk menahan gw dan orangtua gw agar tidak pergi sebelum membeli. Kita sempat berdebat alot dulu sebelum akhirnya berhasil membebaskan diri. Habis itu, kita cepet-cepet keluar dari BSM karena mau pulang--dan akhirnya balik lagi karena mau makan.
Dan, in the end, gw bertanya-tanya, "Adakah orang yang mau membeli kursi neraka itu?"
"Atau gw-nya aja yang terlalu ndeso sehingga malah sakit badan setelah pake itu?"
Cheers!
Thursday, December 4, 2008
Kami Scientist Sejatiii
Seorang scientist diharapkan mampu menemukan hal-hal baru atau inovasi,
Setting: Di Lab Instruksional, lagi bosen ngedengerin presentasi penelitian entah kelompok berapa.
Pemeran: Gw, GA, AP (figuran)
AE (Atau entah siapa): Eh, produk kewanitaan artinya apa sih?
(Semua cowok di
GA: Produk buat wanita? Kayak kosmetik gitu…
Gw: (Mendapat wangsit) Atau… produk berjenis kelamin wanita!
(GA cengo, tampaknya mulai menyadari bakat alam gw sebagai scientist)
Gw: Iya! Tahu nggak, ada suatu hipotesis yang menyatakan bahwa seluruh makhluk di dunia ini, baik hidup maupun mati, memiliki jenis kelamin, lho… Makanya, produk kewanitaan adalah produk yang memiliki sifat wanita, bahkan berjenis kelamin wanita!
GA: Oh, iya ya Fer? (Matanya mulai jelalatan) Kalau begitu… (Matanya mulai menumbuk kursi lab—yang kayaknya mulai panas dingin coz ngerasa bakal dizalimi) kursi ini apa jenis kelaminnya?
Sekedar info, kursi di lab kami adalah kursi yang tersusun atas kayu bundar di atas rangka besi melingkar. Dudukan si kursi—which is kayu bundar—biasanya ada lubangnya. Sementara kaki kursi wujudnya ujung pipa besi yang ada karetnya. Kenapa juga gw ngasih tahu ini? Well, ntar lo bakal tahu sendiri lah.
Gw: (Mulai menatapi kursi) Hmm… kayaknya nih kursi jantan deh, GA…
GA: Kenapa jantan?
Gw: Lo liat bagian bawahnya deh. Itu kan bagian khas yang menunjukkan kejantanan. Wkwkwkwkwk…
GA: (sempat terpukau) Nggak juga kali, Fer. Lihat dudukannya deh. Itu kan ada lubang-lubangnya. Berarti kursi ini betina.
Gw: (Manggut-manggut) Hmmm… berarti ini makhluk jenis kelaminnya apa, dong? Masa biseksual?
AE: (nimbrung) Lagi ngapain sih kalian…
Gw: Ini, lagi menentukan jenis kelamin kursi. Dia tuh jantan tapi juga betina, soalnya punya dua kelamin berbeda…
AE: (Geleng-geleng )
GA: (Menemukan postulat baru) Atau mungkin… dia ini bersimbiosis!
Gw: Oooh, kayak Lichen? Nah, menurut saudara GA, yang mana dari dua organisme ini yang bertindak sebagai alga dan yang mana yang bertindak sebagai jamur?
GA: (sok serius mengamati kursi) Hmm… kayaknya yang bawah sebagai jamur, dan yang atas sebagai alga…
Gw: Tapi… makhluk ini tidak bisa berfotosintesis dong? Okelah. Sekarang… tipe simbiosis seperti ini namanya apa? Mutualisme? Komensalisme? Soalnya, gara-gara bersimbiosis, mereka malah nggak bisa kawin…
GA: Ooh… berarti ini bentuk simbiosis baru. Mereka berdua dirugikan dengan hubungan ini, tapi menguntungkan orang lain…
Gw: (menatap GA dengan haru) Oooh… luar biasa,
Whehehehe… begitulah. Rekan sejawat gw di mikrobiologi telah menemukan simbiosis jenis baru. Hebat,
Anyway, akhirnya gw berhasil menemukan jenis kelamin kursi. Kalau ditilik dalam bahasa arab, kursi termasuk dalam benda jantan. “Tapi… kalau gitu… gimana mereka bisa kawin ya?” (keukeuh)
Cheers!
Nomor Rumah
Kemarin, gw iseng-iseng mengingat-ingat kehidupan gw sejak pindah (baca: numpang) ke
Dan, sesuatu itu adalah... (Jengjengjengggg)
Nomor Rumah
Yup, gw serius. Nomor rumah adalah hal yang sangat berarti bagi gw. Bahkan, bisa dibilang, itu adalah kemewahan yang baru bisa gw kecap setelah gw pindah ke Bandung. There’s a story behind that, of course.
Awal-awal gw tinggal di Sukabumi, gw ngontrak di rumah Ibu Camat (entah nama aslinya siapa, pokoknya gw panggil beliau itu). Rumah kontrakan gw itu di belakang rumah besarnya Ibu Camat. Gw masih inget, gw sering main ke rumah besar itu, apalagi karena anaknya Ibu Camat punya banyak sekali majalah Bobo. Hwehehehe...
Terus, pas gw kelas 3 SD, gw pindah rumah. Yup, rumah yang fotonya ada di blog ini. Gw masih inget, gw resmi pindah ke rumah itu setelah keluarga besar mengadakan trip ke Ujung Genteng dan di sana gw sempat melihat jasad orang yang tenggelam. Waktu itu, kamar gw di atas, dan otomatis gw nggak bisa tidur semalaman.
Rumah baru gw benar-benar menyenangkan. Nggak terlalu besar tapi lapang. Arsitekturnya unik dan cenderung castle-like. Ada menara jam-nya segala, lagi. Ditambah lagi halamannya luas dan semi-hutan, cocok buat pecinta alam kayak gw dan dua adik gw. Yang kurang dari rumah gw cuma satu: nomor rumah.
Hal yang wajar, sebenarnya. Lahan tempat rumah gw didirikan tadinya adalah lahan kosong semi-hutan yang digunakan penduduk untuk buang sampah (saking banyaknya sampah, terpaksa seluruh lahan ditimbun tanah). Lalu, tiba-tiba ruamh gw berdiri di situ, mengakibatkan nomor rumah selanjutnya bergeser satu (kayak domino). Mungkin karena males ngurus atau apa, akhirnya rumah gw tetap tak bernomor.
Dan efeknya baru kerasa ketika gw mendaftar di SMP (atau SMA) atau berniat ikut lomba tertentu. Di setiap formulir pasti ada kolom alamat, kan? Kan nggak lucu kalau gw nulis nama jalan rumah gw (yang masih belum jelas hingga sekarang) di situ? Terpaksa gw akalin dengan nulis nomor RT dan RW-nya juga, membuat alamat rumah gw jadi panjang.
Ketika gw di Bandung, gw seneng banget. Pasalnya, rumah paman gw tentu ada nomornya, kan? Wuih, rasanya kayak apa aja. Setiap ada formulir atau pengumpulan data buat database angkatan, dengan bangga gw tulis nomor rumah paman gw. Ada kepuasan tersendiri waktu gw nulis angka belasan itu. Akhirnya gw punya nomor rumah jugaaa! batin gw dalam hati.
Norak ya? Hehe, biarin.
Akhirnya, beberapa bulan yang lalu, rumah gw dapat kehormatan dikasih nomor juga. Yup, akhirnya gw punya nomor rumah gw sendiri! Dan angkanya bagus, lagi (menurut gw). Hwehehehe... (mulai norak-norak nggak jelas)
Cheers!